Sejumlah calon politisi mengikuti kursus kilat seni peran. Bukan untuk main film, melainkan agar dapat tampil meyakinkan di hadapan para calon pemilih mereka.
Oleh
GUNAWAN RAHARJA
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Keramaian di rumah produksi film besar di kawasan Jakarta Selatan. Beberapa kru berkumpul karena ada beberapa film yang siap proses shooting. Di salah satu sudut, dua orang berbicara dengan intonasi yang menggebu-gebu. Keduanya dikenal sebagai acting coach (pelatih peran) beberapa film besar yang melibatkan aktor-aktor senior.
Acting coach adalah salah satu profesi penting dalam industri film yang bertugas memberikan pemahaman peran dan dramaturgi kepada para pemeran dalam sebuah produksi film. Proses tersebut penting karena film tidak hanya memperlihatkan visual yang bagus dan cerita yang menarik, tetapi juga interaksi dramaturgi di antara para pemainnya dalam memainkan tokoh-tokoh dengan karakter yang berbeda.
Baca Berita Seputar Pilkada 2024
Pahami informasi seputar Pilkada 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Keduanya bercerita tentang apa yang mereka lakukan beberapa bulan terakhir ini. Tidak berkaitan dengan film sama sekali, tetapi masih berkutat dengan dunia seni peran. Aktivitas mereka—dan para acting coach lainnya—ternyata bertambah menjelang Pemilu 2024.
Menurut mereka, pekerjaan baru itu ternyata menarik. Bagaimana melatih orang yang sama sekali tidak pernah belajar tentang seni peran atau bahkan sama sekali tidak berminat pada seni peran, tetapi harus bisa berperan.
Jika dalam sebuah proses kreatif film, proses membentuk pola keaktoran membutuhkan waktu yang lama. Hal tersebut ternyata tidak berlaku bagi kursus kilat bagai para calon politisi ini. Yang mereka butuhkan adalah dalam waktu yang sesingkat-singkatnya seorang calon politisi harus mampu berbicara di depan publik dengan cara yang meyakinkan, menarik, dan membuat publik percaya dengan narasi apa pun yang mereka katakan.
Penjenamaan politik
Edward Aspinall mengatakan, sistem pemilu proporsional yang dipakai sejak Pemilu 2009 membuat proses penghitungan suara dilakukan secara terbuka dengan pola penghitungan suara terbanyak. Akibatnya, persaingan antarcalon anggota legislatif lebih transparan dan memunculkan pola baru dalam proses pemenangan pemilu. Sistem ini memberikan banyak kontribusi terhadap calon anggota legislatif untuk melakukan kampanye independen (Edward Aspinall, 2014).
Salah satu cara mereka untuk memasarkan diri adalah dengan blusukan kepada calon konstituen dari pintu ke pintu. Partai politik tetap memegang peranan sebagai motor penggerak organisatoris agar setiap calon masih dalam koridor kebijakan partai.
Inilah kunci dari pencitraan politik, di mana seorang calon anggota legislatif harus mampu menampilkan diri sebagai sosok yang meyakinkan dari berbagai segi, bagaimana mereka mengolah kata dan tata personalnya. Menurut Loran Downer, inilah yang kemudian disebut sebagai konsepsi political branding(Loren Downer, 2016).
Mereka harus bisa menjadi seorang petani yang berlepotan dengan lumpur sawah, menggendong bayi seumuran anak balita, dan ’ngopi’ di komunitas gen Z.
Sosok politisi tidak lagi harus serba serius dan kaku. Juga tidak harus selalu identik dengan hal yang berbau intelektual dan selalu politis. Mereka juga harus mampu mengapresiasi perubahan teknologi dan peradaban, khususnya jika mereka akan mendekati target calon pemilihnya. Mereka harus bisa menjadi seorang petani yang berlepotan dengan lumpur sawah, menggendong bayi seumuran anak balita, dan ngopi di komunitas gen Z. Bahkan, kalau perlu mereka hadir di skena musik kekinian meskipun bisa jadi mereka tidak mengenal sama sekali genre musikalnya.
Pada titik inilah, tingkat pemahaman mereka untuk melakukan transformasi perilaku per sektoral dilakukan. Semudah secara fisik mengubah gaya bicara, style baju, dan berbagai cara lain untuk memahami calon konstituennya. Mereka harus mengerti berbagai perubahan tersebut dan beradaptasi.
Pemeranan diri
Calon politisi adalah sosok multifacet. Mereka harus mampu memperankan diri dalam berbagai posisi dan keadaan, mempunyai tingkat adaptasi yang cepat dan apresiatif. Perubahan peran dalam berbagai karakter ini hanya bisa dipelajari dalam konsep seni peran.
Salah satu tokoh dan pembaharu teater dan seni peran modern, yaitu Konstantine Stanislavsky. Ia mengatakan bahwa laku keaktoran identik dengan identifikasi psikhologis.
Dalam salah satu tulisannya yang berjudul The Method, ia menjelaskan bahwa akting adalah menanamkan keyakinan kepada publik penonton bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah kebenaran. Seorang aktor harus memiliki keyakinan untuk membuat penonton percaya bahwa ada identifikasi antara tokoh yang dimainkan dan respons publik penonton.
Upaya pragmatis ini memang dilakukan karena ’acting’ adalah bagian dari sebuah rencana besar calon politisi untuk meraih kekuasaan.
Seni peran adalah eksplorasi imajinasi. Hal itu dipakai oleh aktor untuk mendekati perasaan karakter dari tokoh yang akan dilakoninya sehingga menempatkan dirinya dalam situasi si tokoh. Ada proses ketika aktor memahami sisi realitas hidupnya dan pengalaman diriya untuk ditransformasikan ke dalam kehidupan dan karakter tokoh yang dimainkannya.
Hal itulah yang dipahamkan kepada para calon politisi dalam konteks pemeranan diri, yakni bagaimana mereka harus menempatkan dirinya dan mengadaptasi sikap dan perangai publik yang dipercaya akan menjadi bagian penting calon pemilih yang akan memilihnya sebagai politisi (anggota legislatif). Mereka harus mempunyai karakter yang unik dan berbeda dengan kontestan lainnya, tetapi mampu menyatu dalam berbagai kelompok tanpa kehilangan keunikannya.
Para acting coach ditugaskan untuk memberi penegasan hal penting tersebut sehingga para calon politisi ini seakan-akan dengan mudah malih rupa (berubah) dari karakter satu karakter yang lainnya. Ketika berada di sebuah kelompok masyarakat tertentu, maka dengan mudah mereka akan melakukan adaptasi dan modifikasi. Dalam sepersekian detik, mereka juga akan melakukan perubahan lain lagi jika sudah berada di komunitas yang berbeda.
Jika para aktor melakukan latihan tersebut selama berbulan-bulan, para politisi akan melakukannya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Upaya pragmatis ini memang dilakukan karena acting adalah bagian dari sebuah rencana besar calon politisi untuk meraih kekuasaan. Hal tersebut berbeda dengan keutamaan dari para aktor yang memang bertujuan mendapatkan respons estetika dari publik penikmatnya.
Dalam sebuah wawancara dengan USA Today (2012), aktor Clint Eastwood yang merupakan pendukung Partai Repubik mengatakan bahwa ketika seorang aktor sekaligus menjadi politisi, mereka hanya membutuhkan keahlian lain sebesar 15 persen. ”Politisi selalu berhadapan dengan kebijakan yang dikomunikasikan kepada publik. Seumur hidupnya seorang aktor selalu mengabdi kepada publik (penontonnya),” katanya.