Indonesia tidak cukup hanya menambah situs ”geopark”. Kita perlu perlindungan kawasan, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan untuk mempertahankannya. Peran KNGI sebagai orkestrator sangat vital.
Oleh
RAMA PERMANA
·2 menit baca
Ilustrasi
Awal September ini, kawasan Kawah Ijen diresmikan menjadi UNESCO Global Geopark (UGGp) terbaru. Kini, Indonesia sejajar dengan Jepang yang sama-sama mempunyai 10 situs UGGp, setelah China (41), Spanyol (16), dan Italia (11). Namun, apa pentingnya sejumlah geopark (taman bumi) di Indonesia ini dan bagaimana kita menjaganya?
Pertama, geopark mencerminkan kekayaan lanskap alam suatu negara. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mendorong kebanggaan masyarakat kepada lingkungan. Melalui rasa bangga, masyarakat sekitarnya diharapkan lebih kuat menghadapi persoalan terkini. Contohnya, bagaimana mengelola sumber daya, mengantisipasi perubahan iklim, dan mengurangi risiko bencana.
Kedua, geopark juga mengafirmasi keunikan budaya lokal. Mekanisme pengajuan UGGp mensyaratkan komitmen, kemitraan, dan dukungan politik pemerintah daerah. Dengan demikian, pendekatan bottom-up yang diberikan UNESCO memberdayakan pemangku kepentingan setempat agar terlibat langsung.
UNESCO Global Geopark dapat dianalogikan seperti etalase perbendaharaan alam dan budaya dunia. Sesuai dengan RPJMN 2020-2024, Indonesia berencana mengajukan dua situs lagi dari Kalimantan Selatan dan Jawa Timur. Selain itu, potensi geopark Indonesia masih bisa bertambah dari daerah lainnya.
Meningkatnya jumlah geopark penting sebagai cerminan kekuatan budaya dan masyarakat lokal kita yang diakui dunia. Banyaknya kuantitas ini juga bisa menunjukkan kontribusi dan komitmen Indonesia dalam menjaga lingkungan alam global.
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Wisatawan menikmati pesona kawah Gunung Ijen yang berada di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Kamis (2/6/2022). Selain api biru, Taman Wisata Alam Kawah Ijen juga menawarkan atraksi kegiatan sublimasi belerang dan panorama pegunungan.
Tidak permanen
Satu hal penting yang harus dipahami, predikat UGGp ini tidak kekal. Penetapan suatu kawasan menjadi UGGp hanya berdurasi empat tahun untuk kemudian dievaluasi ulang. Jika tidak lagi memenuhi kriteria, maka akan diberikan kartu kuning untuk perbaikan selama dua tahun. Contohnya, Geopark Toba Caldera di kawasan Danau Toba yang didorong untuk meningkatkan kegiatan edukasi berbasis riset. Kawasan tersebut terancam dikeluarkan dari daftar UGGp (kartu merah) jika tidak kunjung ada perbaikan.
Artinya, Indonesia tidak cukup hanya menambah situs geopark. Kita perlu perlindungan kawasan, edukasi, dan pembangunan berkelanjutan untuk mempertahankannya. Pasalnya, menjaga alam yang juga destinasi pariwisata tentu lebih sulit. Lantas, bagaimana kita bisa menjaganya?
Predikat UGGp ini tidak kekal. Penetapan suatu kawasan menjadi UGGp hanya berdurasi empat tahun untuk kemudian dievaluasi ulang.
Akses wisatawan
Selain merawat geopark dalam aspek lingkungan, mengatur aktivitas wisatanya juga tidak kalah penting. Pengelolaan akses di dalam dan menuju geopark merupakan dua hal dasar yang tidak terpisahkan.
Satu, pengelolaan akses di dalam. Situs geopark memiliki kerentanan sebagaimana wisata alam dan budaya pada umumnya. Mendatangkan terlalu banyak wisatawan justru kontraproduktif, bahkan cenderung destruktif.
Geopark bukanlah tempat untuk sekadar mendatangkan wisatawan sebanyak-banyaknya, melainkan tempat berinteraksinya wisatawan dengan bentang alam dan budaya yang berkelanjutan. Pengelola berwenang perlu tegas membatasi kapasitas daya tampungnya (carrying capacity). Jika tidak, geopark tidak hanya rentan terhadap kerusakan ekologi, tetapi juga keretakan sosial, seperti terjadi di Geopark Leiqiong, China (Xiao dkk, 2023).
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Figo (22), pilot paralayang, meliuk-liuk di kawasan Geopark Ciletuh-Palabuhanratu, Desa Ciemas, Kabupaten Sukabumi, Kamis (4/8/2022).
Dua, akses menuju ke sana. Transportasi rendah emisi hendaknya diprioritaskan. Tempat wisata utama perlu dilengkapi transportasi massal yang mudah diakses dan menarik. Contohnya, inovasi seperti kereta panoramic patut diapresiasi. Namun, rute wisata perlu diperbanyak karena destinasi yang terjangkau kereta atau bus masih sedikit. Dengan begitu, emisi per kapita perjalanan wisatawan bisa diredam.
Infrastruktur transportasi massal perlu ditempatkan dekat dengan destinasi, misalnya stasiun, halte, atau parkir bus (insentif). Sebaliknya, parkir kendaraan pribadi perlu dijauhkan dari pusat destinasi (disinsentif). Adapun sepeda dan kendaraan listrik bisa menjadi opsi di sekitar geopark.
Studi transportasi pariwisata di Barcelona menunjukkan, manajemen akses mobilitas wisatawan menjadi kuncinya (Domènech dkk, 2023). Jika transportasi pendukung geopark tidak ditata ulang, wisatawan akan kembali memilih kendaraan pribadi—pilihan transportasi yang paradoksal untuk mengunjungi tempat wisata alam.
Regulasi geopark pertama kali diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2019 tentang Taman Bumi. Peraturan turunannya kemudian ditetapkan mulai dari Komite Nasional Geopark Indonesia (KNGI), sektor perencanaan, energi, dan pariwisata. Namun, belum ada payung hukum khusus dari sektor transportasi meskipun persoalan akses wisatawan cukup krusial.
Peran KNGI sebagai orkestrator sangat vital dalam pengelolaan lintas kewenangan ini. Semoga kemitraan yang baik dengan pemerintah daerah dan unsur masyarakat setempat dapat menjaga semua geopark. Pada akhirnya, Taman Bumi adalah sarana untuk mewariskan alam dan budaya yang masih terjaga bagi anak cucu kita, bukan alam yang berpolusi, ataupun budaya yang terdistorsi.
Rama Permana, Kandidat Doktoral Bidang Transportasi Pariwisata di Bournemouth University, Inggris; Anggota Kluster Transport DoctrineUK