Kita Perlu Berhati-hati dengan ”Social Commerce”
Cara-cara pemasaran yang digunakan ”social commerce” sangat mungkin mengelabui publik dan para penjual. Publik akan mudah tergiring untuk membeli produk tertentu karena tergoda dengan penjualan yang fantastis.

Andreas Maryoto
Heboh sukses penjualan melalui platform media sosial (social commerce) tentu saja membuat orang ngiler untuk terjun ke bisnis melalui platform ini. Salah satu kabar menyebutkan, seorang pesohor sampaimendapat sekian miliar rupiah untuk penjualan dalam sekian jam.
Orang berusaha untuk mempelajari dan mengikuti cara-cara mereka. Konsumen pun merasakan kemudahannya untuk membeli. Apalagi, barang terpampang nyata sehingga secara visual mereka mudah tergoda untuk membeli. Meski demikian, kecurangan mudah sekali muncul dalam bisnis ini.
India adalah salah satu negara yang telah lama menggunakan platform media sosial untuk berdagang. Sebuah lembaga yang bernama LocalCircle pada 2019 mengadakan survei terhadap 26.000 responden. Mereka menemukan sekitar 46 persen telah mengalami penipuan ketika membeli barang di platform media sosial. Penggunaan media sosial untuk berdagang ini memang masih menggunakan cara lama, yaitu pembeli percaya begitu saja dengan yang ditawarkan di media sosial. Meski demikian, data tersebut tetap menarik dan perlu menjadi dasar bagi kita untuk waspada.

Fenomena itu juga terjadi di Asia Tenggara. Menurut Statista berdasarkan survei pada 2021, penipuan paling umum yang dialami masyarakat Asia Tenggara saat berbelanja di media sosial adalah penipuan produk. Sebanyak 70 persen populasi yang disurvei mengalami penipuan itu.
Bentuk penipuan lainnya adalah sebanyak 13 persen responden mengalami penipuan kartu pembayaran saat berbelanja di media sosial. Beberapa waktu lalu, Pemerintah Indonesia juga telah merespons kekhawatiran ini. Otoritas melihat potensi penipuan memang ada dan bersiap melakukan perubahan aturan.
Riset yang dilakukan sejumlah peneliti di Malaysia yang dimuat di jurnal International Journal of Business and Technology Management pada Juni lalu menyebutkan, perkembangan penipuan belanja daring telah meluas di Malaysia dan belahan dunia lainnya seiring dengan semakin populernya e-dagang. Malaysia dikenal memiliki banyak pembeli daring dan dianggap sebagai negara, kota, atau wilayah yang berisiko tinggi terhadap penipuan daring.
Dari riset para peneliti itu disebutkan, baru-baru ini penipu memanfaatkan lanskap media sosial baru yang dikenal sebagai social commerce, yang peraturannya lebih sedikit dibandingkan situs belanja daring legal. Tren ini telah menciptakan banyak peluang bagi para penipu untuk mencuri data dan uang konsumen. Berbeda dengan penipuan belanja daring tradisional, penipuan ini melibatkan pencurian data yang dapat menimbulkan konsekuensi serius bagi korbannya.
Studi mereka mengkaji bagaimana konsumen mengungkapkan informasi pribadi mereka selama belanja daring melalui platform social commerce. Penelitian ini dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap delapan informan yang pernah mengalami penipuan belanja daring.
Studi tersebut menemukan bahwa platform social commerce telah memengaruhi kontrol diri konsumen yang lemah dan mudah sekali dalam mengungkapkan informasi pribadinya karena platform tersebut dianggap dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen. Namun, hal ini memberikan ruang bagi penipu untuk memanipulasi konsumen dan menjebak mereka melalui aktivitas social commerce.
Riset lainnya yang dilakukan Yurika Yakimin dan Fariza Rusly mengungkapkan, meskipun dampak positif dari berbelanja di platform jejaring sosial telah mendapat banyak perhatian dalam literatur, dampak negatif dari jenis perdagangan ini masih belum dieksplorasi.

Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki (tengah) dalam jumpa Pers seusai rapat bersama Kementerian dan Lembaga dengan tema ”Penanganan Konten dan Penjualan Impor Pakaian Bekas Melalui E-Commerce, Market Place, Social Commerce, dan Media Sosial”, di Kantor Kementerian Koperasi dan UKM, Jakarta, Kamis (6/4/2023).
Baca Juga: Menimbang Larangan Berdagang di Media Sosial
Dampak negatif itu terlihat dari prevalensi kejahatan dunia maya, khususnya yang terkait dengan penipuan pembelian daring telah meningkat pesat. Untuk mengatasi kesenjangan ini, riset mengeksplorasi kasus penipuan pembelian daring terkait dengan belanja di platform media sosial, karakteristik demografi korban, dan dampak finansial penipuan terhadap korban. Selain itu, tulisan ini juga mengeksplorasi strategi untuk memitigasi kasus penipuan.
Data dikumpulkan dari pengguna jejaring sosial melalui survei daring. Temuan menunjukkan bahwa hampir 7 puluh persen responden saat ini menggunakan platform jejaring sosial untuk berbelanja. Saat penelitian, Facebook menjadi platform paling populer. Dari mereka yang menggunakan social commerce, sebanyak 24 persen mengaku pernah menjadi korban penipuan pembelian. Mayoritas korban adalah perempuan berpendidikan tinggi, berpenghasilan menengah, dan sudah menikah, berusia antara 26 tahun dan 35 tahun. Dalam hal dampak finansial, sebagian besar korban kehilangan hampir 400 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 1,3 juta.
Para pengelola platform media sosial tentu akan membantah semua itu dengan mengatakan bahwa mereka sudah memiliki ”jaring pengaman” untuk membuat transaksi terbebas dari penipuan. Sistem mereka jauh lebih canggih dibandingkan social commerce model lama. Mereka bisa mengamankan mulai dari mulai sistem pembayaran, keaslian pemilik akun, kepastian barang, kepastian pengiriman, dan lain-lain. Akan tetapi, klaim berlebihan dari para penjual yang bisa menghasilkan transaksi miliaran rupiah memunculkan tanda tanya.
Klaim tersebut terlihat terorganisasi dengan baik. Setidaknya penjual yang muncul pasti penjual yang terpilih, alias bukan penjual acak yang tiba-tiba bisa menjadi penjual yang jagoan dalam sekejap. Penjual ini juga memiliki nama di dunia maya yang dengan mudah mendulang perhatian audiens. Nama tenar dan angka-angka yang fantastis menjadi bahan yang mudah viral di dunia maya. Akankah fenomena ini merata di setiap pemilik akun?
Pengorganisasian yang baik sangat mungkin didukung oleh ”mesin algoritma” yang bisa membuat jangkauan akun penjual yang terorganisasi itu makin jauh. Mesin ini juga bisa dengan mudah mendekatkan penjual dengan pasar potensial. Semua bisa dilakukan dengan sangat mudah ketika platform memang menghendaki semua ini terjadi. Secara profesional tentu bisa dilakukan dengan cara pemilik akun membayar, tetapi lebih dari itu dukungan dari platform itu sendiri akan membuat akun-akun tertentu memiliki jangkauan yang sangat akurat dan sangat jauh.

Berbagai produk UKM berpotensi memiliki pasar dengan menggandeng bisnis perhotelan. Dari produk oleh-oleh hingga produk kebutuhan sehari-hari untuk mendukung pelayanan jasa perhotelan dapat dipasok oleh para pelaku UKM. Smesco Indonesia menggandeng PT Jaya Hotel Lestari atau jejaring Episode Hotel dengan menandatangani nota kesepahaman di Tangerang, Banten Sabtu (13/8/2022).
Apabila semua ini benar, otoritas perlu memonitor dan mengawasi kemungkinan terjadinya penipuan. Cara-cara pemasaran yang digunakan sangat mungkin mengelabui publik dan para penjual. Publik akan mudah tergiring untuk membeli produk tertentu karena tergoda dengan penjualan yang fantastis (meski tak jelas seberapa besar riil penjualannya), tetapi menggunakan cara-cara yang tidak etis.
Para penjual sangat mungkin terdorong untuk melakukan transaksi di platform tersebut, tetapi sebenarnya mereka tak akan sehebat para penjual yang terorganisasi seperti di atas. Aktivitas ini sekadar menguntungkan platform karena lalu lintas menjadi ramai.
Perang platform memang sedang terjadi. Sayang sekali di antara mereka ada yang bertindak tidak terpuji. Para pemilik UKM-lah yang mungkin akan menderita karena aktivitas seperti itu malah membuyarkan konsentrasi mereka untuk membuat produk yang bagus dan menjualnya.
Sikap pemerintah dalam melindungi UKM tentu ditunggu. Pemerintah juga perlu memastikan pembeli terlindungi dengan mendapatkan barang yang sesuai dengan yang diinginkan. Otoritas pengawas transaksi keuangan juga perlu memastikan semua transaksi sehingga terhindar dari transaksi ilegal ataupun untuk pencucian uang. Sebaliknya, klaim transaksi yang besar diharapkan memudahkan aparat pajak untuk mengecek kebenaran transaksi tersebut.