Idealnya, pendidikan kita membutuhkan pelajaran filsafat secara utuh. Namun, kalau itu terlalu kompleks, kita mulai dengan pelajaran logika. Dengan demikian, kita akan terhindar dari kekeliruan logika berpikir.
Oleh
HERIBERTUS JANI
·4 menit baca
SUPRIYANTO
Ilustrasi
Artikel Haryatmoko yang berjudul ”Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi” (Kompas, 10/8/2023) mengingatkan kita bahwa logika sebagai sebuah sistem berpikir adalah bagian tak terpisahkan dari keseharian. Pemaparannya relevan dengan situasi aktual yang sedang terjadi di masyarakat. Contoh-contohnya pun sederhana sekaligus familiar karena diambil dari segala macam hiruk-pikuk dan kasak-kusuk yang sedang menjejali benak publik Tanah Air belakangan ini. Logika dibuat benar-benar dekat, menyentuh pengalaman konkret harian masyarakat.
Logika sejatinya memang urusan sehari-hari. Selama manusia berpikir dan berbahasa, selama itu juga logika berperan dan diperlukan. Sayangnya, tak semua orang peduli, bahkan termasuk mereka yang bertugas mengurus rupa-rupa kebijakan publik alias yang punya kuasa mengatur hajat hidup orang banyak. Tak ketinggalan mereka yang menjadi idola masyarakat luas, yang pikiran dan laku tindaknya digandrungi; mereka yang hari ini kita sebut influencer (pemengaruh). Setali tiga uang, media-media publik ugal-ugalan menerabas prinsip-prinsip logika atas nama clickbait (umpan klik).
Begitulah, logika seperti tak punya tempat di jagat publik kita. Dan, alangkah celakanya, sebagai rambu-rambu berpikir, logika bahkan absen dari ruang pendidikan formal. Di tengah kian merebaknya berita-berita bohong dan gencarnya strategi, banyak influencer mengeksploitasi psikologi massa untuk tujuan memperkaya diri; di tengah makin mudahnya masyarakat dibentur-benturkan satu sama lain dengan narasi-narasi palsu untuk berbagai kepentingan, pendidikan kita tak juga beranjak mengambil langkah preventif.
Malah di era digital ini, orang-orang terdidik yang merupakan kelompok melek teknologi bahkan dijuluki digital native justru menjadi sasaran empuk berbagai propaganda yang menyesatkan dan menghancurkan.
Pada 2011, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) dalam buku terbitannya yang berjudul Teaching Philosophy in Europe and North America memperlihatkan bagaimana gairah negara-negara Eropa, seperti Perancis, Italia, Jerman, Inggris, dan Austria, menempatkan filsafat sebagai pelajaran penting di sekolah. Gairah serupa menggeliat di belahan utara benua Amerika, khususnya di Amerika Serikat dan Kanada. Bahkan, di Amerika Serikat sudah muncul gagasan philosophy for children sejak era 1970-an.
Entah disengaja atau tidak, hingga kini kurikulum pendidikan kita tidak pernah memprogramkan adanya mata pelajaran khusus untuk logika atau filsafat secara umum. Ada sebagian argumen yang mengatakan bahwa kita tak membutuhkan pelajaran filsafat atau khususnya lagi logika sebab sudah terimplisit dalam setiap bidang ilmu. Misalnya, saat belajar ilmu eksakta, sebenarnya orang sedang diarahkan untuk berpikir terstruktur dan sistematis sebagaimana hukum-hukum eksakta bekerja.
Saat belajar ilmu sosial juga secara tak langsung orang dituntun untuk berpikir dengan alur logis melalui kejelian menarik benang merah antara apa yang tertulis dalam teori dan fenomena yang terjadi dalam masyarakat, atau kemampuan menghubungkan data yang berserak dalam masyarakat menjadi sebuah kesimpulan atau dalil. Demikian juga ilmu bahasa punya logikanya sendiri sehingga niscaya membentuk alur logika orang yang mempelajarinya.
Argumen-argumen tersebut memang benar, tetapi mengandung kelemahan. Betul bahwa ilmu pengetahuan dikonstruksi dalam alur logika yang runut dan ketat, tetapi proses pembelajaran atas ilmu tidak otomatis menularkan sistem logika tersebut kepada pembelajarnya. Semua tergantung dari bagaimana proses belajar berjalan atau metode pembelajaran yang digunakan.
Pembelajaran dengan gaya menghafal tentu mustahil meninggalkan jejak alur logika dalam kepala si pembelajar. Hampir sama mustahilnya dengan pembelajaran bergaya indoktrinasi. Tidak ada proses pembentukan logika dalam penjejalan ilmu secara indoktrinatif. Yang ada hanyalah si pembelajar menerima secara pasif sambil mengamini semua informasi yang diterima.
Apalagi kalau pembelajaran itu hanya fokus pada ketuntasan materi. Yang dikejar adalah proses transfer seabrek materi sesuai target waktu, bukan pembentukan alur berpikir yang tertata. Sayangnya, model-model pembelajaran ini mendominasi jagat pendidikan kita sekian lama.
Pembelajaran dengan gaya menghafal tentu mustahil meninggalkan jejak alur logika dalam kepala si pembelajar.
Lebih jauh dari itu, ada pula penolakan logika secara total. Musababnya, sebagai bagian inheren dari filsafat, logika dianggap berbahaya karena berpotensi memeriksa segala hal secara kritis, termasuk proposisi-proposisi dogmatis agama dan nilai-nilai yang sudah mapan dalam masyarakat.
Dengan kata lain, logika atau filsafat secara umum dianggap racun yang bisa menggerogoti legitimasi berbagai tatanan sosial yang sudah tersusun rapi. Malah, filsafat tak jarang diposisikan vis a vis dengan agama hingga berujung pada tudingan filsafat sebagai penyulut ateisme dan penghancur moral bangsa. Padahal, begitu banyak tokoh bangsa kita yang menggumuli filsafat dengan tekun tanpa tercerabut dari akar agamanya.
Konservasi masyarakat minus logika
Boleh jadi memang selain alasan-alasan di atas, secara lebih mendasar absennya logika sebagai sebuah ilmu berpikir kritis merupakan konsekuensi dari terwarisnya mental feodal masa lalu yang selalu menginginkan eksisnya masyarakat patuh.
Boleh jadi juga masyarakat yang tidak kritis sengaja dipelihara untuk berbagai kepentingan. Sebab, sebut saja dalam bidang politik, propaganda-propaganda busuk cenderung ditelan bulat-bulat sebagai kebajikan oleh masyarakat yang tidak sanggup berpikir kritis. Segala tipu daya aktor-aktor ekonomi juga dengan mudah diterima, bahkan disyukuri sebagai ’nikmat dan berkah kemajuan’ oleh masyarakat minus logika. Demikian pun retorika-retorika dalam balutan kata-kata indah akan disanjung sebagai pencerahan meski tanpa data.
Saat bersamaan mengakar juga kebiasaan berbagai pranata sosial yang dengan trik-trik agitatif menggiring anggotanya pada ketaatan buta, atau menebar ancaman agar segala hal diterima dengan penuh keyakinan tanpa sikap kritis. Pintu diskusi ditutup rapat-rapat, akal sehat dibunuh perlahan-lahan secara masif.
Sementara di sisi lain, sekelompok orang tertentu memosisikan diri sebagai ahli dan memonopoli kebenaran. Kondisi seperti ini terus dikonservasi hingga menempatkan masyarakat sebagai kelompok yang gampang dikibuli dan dieksploitasi. Fenomena-fenomena tersebut jelas memperlihatkan indikasi masyarakat minus logika sengaja ’diternakkan’ untuk kepentingan kelompok-kelompok tertentu.
Logika mencerdaskan dan menyatukan
Hal yang sungguh dikhawatirkan dari fenomena-fenomena tersebut adalah pembodohan dan pemecah-belahan akan selalu langgeng. Masyarakat gampang dibuai sehingga selamanya menjadi ’sapi perah’ dari kelompok-kelompok tertentu. Masyarakat juga dengan begitu mudah diadu domba untuk kepentingan atau keuntungan pihak tertentu.
Bagaimana kita bisa mewujudkan cita-cita luhur negara ini untuk ’mencerdaskan kehidupan bangsa’ kalau potensi untuk berpikir disabotase secara sistematis. Bagaimana pula membumikan ide ’persatuan Indonesia’ kalau di sana-sini masyarakat begitu mudah dikibuli dan dikipas-kipasi dengan berbagai propaganda yang memecah belah.
Kita butuh pelajaran logika diajarkan sejak dini. Sekurang-kurangnya kita bisa mengidentifikasi mana pernyataan-pernyataan yang merupakan bentuk kekeliruan logika berpikir (logical fallacy). Dengan demikian, tidak semua informasi diterima begitu saja dengan yakin sebagai kebenaran sekalipun informasi itu diterima dari orang-orang yang kita junjung setinggi langit.
Demikian juga, pemahaman mengenai logical fallacy membuat setiap orang tidak mudah mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang cacat secara logika. Segala bentuk ujaran kebencian berbasis sentimen emosional akan dapat diminimalisasi kalau setiap orang paham rambu-rambu berpikir yang diajarkan dalam logika.
Idealnya memang pendidikan kita membutuhkan filsafat secara utuh. Namun, kalau itu terlalu kompleks, kita mulai dengan pelajaran logika.