Setelah bertemu Penasihat Keamanan Nasional AS Jake Sullivan di Malta, Menlu China Wang Yi terbang ke Moskwa. China memainkan pendulum antara AS dan Rusia.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
AFP/RUSSIAN FOREIGN MINISTRY
Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov (kedua dari kiri) menggelar pertemuan dengan Menlu China Wang Yi (ketiga dari kanan) di Moskwa, Rusia, Senin (18/9/2023).
Hanya berselang beberapa jam setelah pertemuan lebih dari 12 jam dengan Jake Sullivan di Malta, Wang Yi segera terbang ke Moskwa, Rusia. Di negeri ini, ia singgah empat hari. Hari Senin (18/9/2023), ia bertemu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov. Selasa, ia membahas ”keamanan strategis” dengan Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Nikolai Patrushev.
Agenda diplomatik Wang bertemu pejabat-pejabat penting AS dan Rusia dalam waktu berdekatan itu disusul dengan pertemuan diplomatik lainnya di New York, AS. Menlu AS Antony Blinken bertemu dengan Wakil Presiden China Han Zheng di kantor Perwakilan Tetap China untuk PBB.
Melihat intensitas pertemuan diplomatik, yang melibatkan para pejabat teras tiga negara adidaya (AS-China-Rusia), jelas semua itu bukan pertemuan-pertemuan biasa. Ibarat memainkan bidak catur, negara-negara besar tersebut tengah menyusun langkah-langkah demi mengegolkan kepentingan masing-masing dengan mencari titik temu di antara mereka.
AFP/POOL/JULIA NIKHINSON
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken (kiri) dan Wakil Presiden China Han Zheng berjabat tangan dalam pertemuan mereka di New York, AS, Senin (18/9/2023), menjelang sidang Majelis Umum Ke-78 PBB.
Di Malta, selain membahas hubungan bilateral, Wang dan Sullivan mengangkat isu-isu global dan kawasan, termasuk perang Rusia-Ukraina, situasi Asia-Pasifik, dan krisis Taiwan. Terkait perang di Ukraina, menurut pejabat senior Gedung Putih, Sullivan mengingatkan Wang agar China tidak berupaya memasok senjata ke Rusia.
Terkait perang Rusia-Ukraina, meski diamati Barat dengan penuh curiga, China berupaya memainkan posisi di tengah. Dalam pernyataan resmi, Beijing menegaskan, kedaulatan dan integritas teritorial semua negara harus dijaga, tetapi keprihatinan terkait keamanan semua pihak harus juga diperhatikan serius. Dari pernyataan itu, Beijing ingin dilihat membela Kyiv, tetapi juga ingin keprihatinan Moskwa tidak diabaikan.
Namun, ada kecurigaan di Barat, Beijing lebih condong pada Moskwa. Beberapa hari sebelum Rusia menginvasi Ukraina, Presiden Rusia Vladimir Putin berkunjung ke China, bertemu Presiden Xi Jinping. Keduanya meneguhkan kemitraan ”tanpa batas”. Maret lalu, giliran Xi menyambangi Putin di Moskwa, menegaskan Rusia adalah pilihan strategis China. Oktober mendatang, Putin kembali bertandang ke Beijing.
AP/SPUTNIK/KREMLIN POOL PHOTO/SERGEI KARPUKHIN
Presiden China Xi Jinping (kiri) berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan di Kremlin, Moskwa, Rusia, 20 Maret 2023. Putin akan berkunjung ke China, Oktober mendatang.
Dalam pertemuan Wang Yi-Lavrov, kemitraan strategis dua negara diperkokoh. Beijing menyebut lawatan Wang ke Rusia bagian dari mekanisme konsultasi keamanan strategis kedua negara meski tidak ada komitmen—setidaknya dalam pernyataan resmi—saling membela pertahanan masing-masing.
Diplomasi segitiga (AS-China-Rusia) itu memperlihatkan kendali yang dipegang Beijing. Satu momen yang ditunggu banyak pihak, yakni peluang pertemuan Xi dan Presiden AS Joe Biden. Santer beredar kabar, keduanya diupayakan bertemu di KTT APEC di San Francisco, AS, November 2023.
Andai terwujud, itu bakal jadi pertemuan pertama Xi-Biden setelah pertemuan di Bali, November 2022. Sampai hari ini, pertemuan di Bali tersebut dijadikan fondasi bagi kedua negara adidaya itu meredakan ketegangan di antara mereka.