Bermain-main dengan Metonimia
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa ”metonimia” berasal dari bahasa Yunani Kuno, ”meto” (perubahan) dan ”anoma” (nama). Majas perbandingan ini sering dipergunakan dalam keseharian kita.

Metonimia berasal dari bahasa Yunani Kuno, meto (perubahan) dan anoma (nama). Majas perbandingan ini, sadar atau tidak sadar, digunakan dalam keseharian kita.
Sejak duduk di bangku sekolah, kita sudah diajari guru bahasa tentang majas metonimia. Kata Kamus Besar Bahasa Indonesia, metonimia adalah majas yang berupa pemakaian nama ciri atau nama hal yang dikaitkan dengan orang, barang, atau hal sebagai penggantinya.
Dengan parafrasa yang lain, metonimia adalah majas perbandingan yang menjelaskan suatu hal dengan kata lain yang memiliki hubungan erat dan sudah diakui masyarakat. Majas ini menggunakan suatu label, ciri khas, atau merek dagang untuk menggambarkan sesuatu.
KBBI memberi contoh berikut: ia menelaah Chairil Anwar. Contoh lain adalah olahragawan itu hanya mendapat perunggu. Pada contoh pertama, yang ditelaah sesungguhnya adalah karya (dari) Chairil Anwar. Adapun pada contoh kedua, sesungguhnya yang didapat oleh si olahragawan adalah medali (berjenis) perunggu.
Terkait dengan kata metonimia, sudah jadi pengetahuan umum bahwa metonimia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yakni meto dan anoma. Meto berarti ’perubahan’ dan anoma berarti ’nama’.
Yang jadi catatan, ada banyak yang menyamakan antara majas dan gaya bahasa. Kedua istilah ini sesungguhnya berbeda. Dalam bahasa Inggris, majas berpadanan dengan figure of speech, sedangkan gaya bahasa berpadanan dengan style. (Lihat tulisan Shintya, ”Samakah Majas dengan Gaya Bahasa?”, di laman Kantor Bahasa Babel.)
Berikut penggunaan majas metonimia yang disampaikan dalam bentuk cerita. Mudah-mudahan pembaca dapat menangkap pemakaian metonimia yang dalam cerita ini ditulis dengan karakter miring. Kata-kata lain yang semestinya ditulis miring karena merupakan kata-kata percakapan, misalnya, dalam tuturan ini ditulis tegak.
Dari odol hingga chiki
Pagi ini bapak terlihat lebih bersemangat dari biasanya. Keluar kamar dengan bersiul adalah tandanya. Hatiku pun ikut girang.
”Dul, odol habis nih. Tolong ambil yang baru,” teriak bapak dari kamar mandi.
Setiap kali bangun pagi, bapak memang langsung menuju kamar mandi, bersih diri, tak lupa gosok gigi pakai pepsodent, merek kegemarannya. Beliau sangat disiplin merawat diri. Saya pun bergegas mengambil pasta gigi dimaksud.
Beberapa menit kemudian, bapak keluar dari kamar mandi. Beliau tampak segar. Sebelum beranjak ke dapur untuk menyeduh kapal api favoritnya, bapak terlebih dulu mengelap bata superempuk yang sudah lama jadi andalannya menemani jalan pagi. Sarung kesayangan pun sudah melingkar di pinggul. ”Siap-siap,” katanya.
Kemudian, ia melangkah ke dapur, mengaduk kopi kesukaan, menyambar sebatang sunpride, dan meluncur duduk di teras sambil membaca Amanat Hati Nurani Rakyat.
Kopi masih setengah habis, bapak melipat koran Kompas yang dibacanya, beranjak mengambil sandal andalan, lalu merapikan gajah duduk-nya. Setelah siap, bapak malah berteriak memanggil saya. ”Dul, panaskan honda-nya. Tolong antar ke pasar!”
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F19%2F50f81c5c-5718-41ee-82d6-0a81113ee8ce_jpg.jpg)
Berita utama harian Kompas, 20 Mei 1998, berjudul ”Pak Harto: Saya Kapok Jadi Presiden”.
Wah, tumben nih enggak jalan kaki. ”Siap, Pak.” Tak lama, kami sudah berkendara mengarah ke pasar. Motor dua tak ini masih saja enak dipakai, awet. Asal enggak lupa isi oli samping, pasti lancar.
Sampai di pasar, aku lihat bapak langsung menuju warung langganan. Rupanya pisang sebuah belumlah cukup. Dipesannya semangkuk indomie rebus dan segelas aqua. Sambil menunggu pesanan siap, bapak mulai mengobrol ngalor-ngidul dengan pengunjung lainnya. Obrolan pasar.
Baca juga: Penerapan Kata ”Sebuah” untuk Semua Benda
Laki-laki ternyata suka gibah juga. Terdengar mereka seru bercerita tentang tetangga kami, Pak Mahdun, yang sekitar dua minggu lalu pergi berhaji naik garuda. ”Wah, bagaimana rasanya naik pesawat berjam-jam, ya? Apa enggak bosan?” kata Cing Mamat, pemilik kios daging yang kebetulan sedang mampir ngopi pagi itu.
”Kalau aku sih pasti bosan. Mending bawa kijang, bisa mampir-mampir.”
”Pakai mobil? Memangnya ke Bekasi,” sahut Kang Dudi, juragan cabai. Tawa pecah di kalangan itu. Pembicaraan pun makin melantur.
Semangkuk mi instan berhias sayuran plus telur dan segelas air putih akhirnya tersaji di hadapan bapak. Ia lalu menambahkan sedikit bangau. Kegemaran bapak memang sedikit unik. Bagaimana, ya, rasanya mi rebus dikecapin? Obrolan pun terjeda sekitar 15 menit saking lahapnya bapak menyantap hidangan itu.
Selesai beramah-tamah dan sarapan, bapak pamit kepada teman-temannya. ”Yuk, Dul, kita mampir beli chiki buat Denok. Biar sesekali jajan, enggak mengapa,” ujarnya. Denok, yang disebut bapak itu, adalah anak Atun, putri bapak yang tengah mengembara.
Saya pun lalu menstarter yamaha force-1 segera setelah bapak mengomando.
Tepat di depan pasar terdapat ruko penjual pompa air. Bapak menepuk pundak saya dan minta menepi. Ia teringat harus membeli komponen mesin pompa air sebagai pengganti alat serupa yang sudah rusak. Dasar bapak, dia lebih suka mengerjakan sendiri alih-alih mempekerjakan ahlinya.
”Pak, ada klep buat sanyo?” Beberapa saat kemudian, pekerja toko kembali dengan membawa barang yang dimaksud.
”Lho, bukan yang ini, Pak!” Bapak menjelaskan bahwa bentuknya sedikit lebih lebar dari yang dibawa si pekerja toko.
”Wah, kalau untuk sanyo sih yang ini, Pak.” Bapak dan pekerja toko terlihat bersitegang.
Saya lalu buru-buru menengahi. ”Maaf Mas, pompa air kami mereknya santuy, bukan sanyo.”
Sambil geleng-geleng, pekerja toko lalu mengambilkan komponen yang dimaksud. Setelah membayar, kami pun melanjutkan perjalanan. ”Pak, enggak semua pompa air mereknya sanyo,” kataku. Bapak tertawa.
Aku memarkir motor di depan kios Mpok Inah. Bapak langsung mengambil beberapa bungkus makanan ringan. Ada potato, krispi, dan oreo. ”Lah, mana chiki-nya, Pak?”
”Lho, lha ini, kan, chiki, Dul!” Aku senyum sendiri.
Mpok Inah menimpali sembari tertawa ngakak, ”Susah Dul, orang lama, ya, kayak gitu.”
Generalisasi
Sampai di rumah, aku langsung selonjoran. ”Senang banget si Denok, ya, Dul. Dapat banyak jajanan dia, he-he-he.”
Aku diam saja dan mengambil buku yang ada di rak buku milik Atun, adikku. Lah, penginnya baca yang ringan-ringan, malah ketemu istilah ”generalisasi”. Itu lho, ungkapan yang meluas, atau mengalami perluasan makna. Dari yang biasanya digunakan untuk hal tertentu, sekarang digunakan secara lebih umum.
Generalisasi adalah ungkapan yang mengalami perluasan makna. Dari yang biasanya digunakan untuk hal tertentu, sekarang digunakan secara lebih umum.
Ah, makin pusing aku. Putri Bapak yang satu ini memang berat sekali bacaannya. Itulah sebabnya, Atun sangat bersemangat menempuh pendidikan di jurusan bahasa dan pariwisata. Biar enggak seperti kakaknya yang kerjanya sekarang jadi sopir angkot jurusan Pasar Cijeruk-Perumnas Gili pergi-pulang.
Kangen aku sama si Atun. Sejak dia berlayar dengan sebuah kapal pesiar, jarang kami bersua. Si Denok pun jadi jarang bertemu ibunya, sementara sang ayah entah di mana rimbanya. Itulah sebabnya, Denok dititipkan kepada kami, aku, bapak, dan ibu. ”Aku pengin nabung, biar jadi sultan. Meski enggak punya kerajaan, minimal kayak sultan andara-lah,” ucap Atun sebelum berangkat berlayar.

Para penumpang kapal pesiar Diamond Princess yang berlabuh di Pelabuhan Yokohama, Jepang, berdiri di balkon kabin mereka, Senin (10/2/2020).
”Duul… kamu pakai rugos ibu enggak? Kemarin ada di sini, kok sekarang hilang, ya?” teriak ibu dari dapur.
”Dimainin Denok ’kali, Bu,” jawabku sekenanya.
Si Denok memang lagi senang-senangnya bereksperimen. Semua perkakas dapur ibu ditempeli huruf gosok. ”Biar enggak ketukar,” kata Denok suatu hari.
Terkadang, saking kreatifnya, Denok mewarnai kuku jarinya pakai tipp-ex. Lalu, setelah cairan pengoreksi itu mengering, dia mulai menorehkan aneka warna di bidang putih bagai kanvas mini itu. Terlihat senang sekali.
Aku lalu menghampiri bapak yang sedang asik membrasso kepala sabuknya yang terbuat dari logam kekuningan. Setelah mengoleskan cairan pengilap logam dengan rata, bapak menunggu hingga sedikit mengering lalu mengelapnya menggunakan kain putih halus. Hasilnya, wow, mengilap! ”Awas lho Pak, simpan yang benar. Kalau sampai Denok tahu, bisa digosok semua tuh boneka dia,” kataku mencandai bapak.
Matahari mulai beringsut, aku beranjak dari teras meninggalkan bapak yang masih asik sendiri dengan sejumlah benda logam kesayangan dan brasso-nya. Aku mengantuk. Aku menuju kamar dan rebahan. Mencoba memejamkan mata barang satu-dua jam, siapa tahu mimpi ketemu metromini, eh, metonimia, dan si generalisasi.
Teguh Candra L, Penyelaras Bahasa Kompas