Para calon pemimpin bangsa, baik legislatif maupun eksekutif, ramai-ramai menunjukkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh besar baik secara langsung maupun simbolik.
Oleh
ALISSA WAHID
·4 menit baca
HERYUNANTO
Alissa Wahid
Putri Ariani. Nama Indonesia yang sedang ramai dibicarakan di seluruh dunia karena performanya di ajang America’s Got Talent2023. Gadis muda ini mulai membuat gempar setelah ia mendapatkan golden buzzer saat audisi dari Juri Simon Cowell yang terkenal kritis dan keras.
Tidak hanya suara merdunya, atribut Putri membuatnya istimewa: gadis berjilbab yang difabel, dua atribut yang hampir tidak ada di panggung America’s Got Talent. Sejak audisi itu, Putri menjadi ikon Indonesia. Ia diundang menyanyi pada Upacara Peringatan Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-78 Indonesia di Istana Merdeka. Profilnya diulas di mana-mana. Ia pun disebut sebagai nama yang mengharumkan bangsa.
Orang Indonesia beramai-ramai meninggalkan komentar di akun platform Youtube yang memuat penampilan Putri. Mereka membanggakan keindonesiaan Putri, seakan-akan Indonesia adalah pemilik Putri dan dengan demikian, mereka pun pemilik Putri. Kadang juga seakan-akan dengan menjadi saudara sebangsa, mereka pun ikut menjadi seistimewa Putri. Oh ya, saya kenal dengan Putri. Ia bersekolah di tempat yang sama dengan anak-anak saya: Tumbuh High School Yogyakarta. Hebat ya saya?
Fenomena ini sangat lumrah terjadi. Tidak hanya pada bangsa kita karena ini memang karakteristik dasar manusia. Ini sering dipelesetkan oleh para stand up comedian dengan sarkasme seperti ”pak jenderal calon presiden itu sepupunya tetangga ibu angkatnya bapak teman sekos adik saya lho” seakan-akan derajatnya ikut naik bersamaan dengan asosiasi ini.
Hanya saja, di Indonesia terasa jauh lebih kuat, barangkali karena kita adalah bangsa yang senang berinteraksi. Kecintaan kita pada bangsa ini memang hampir tak terkalahkan. Kita berbangga saat Alan Budikusuma dan Susi Susanti membawa bendera Merah Putih berkibar dan lagu ”Indonesia Raya” membahana di Olimpiade 1992 (dan tidak mau tahu bahwa di masa Orde Baru itu, sebagai WNI keturunan, mereka kesulitan mengurus KTP). Kita berbangga dengan pembukaan Asian Games 2018 yang luar biasa dengan penampilan Tari Rato Jaroeh Aceh-nya. Kita juga berbangga dengan berbagai acara pertemuan tingkat tinggi para kepala negara yang dihelat Indonesia seperti rangkaian acara G20 dan KTT ASEAN yang baru berlalu.
Kebanggaan pada atribut orang lain atau sesuatu ini sejatinya merefleksikan kebutuhan untuk mengangkat diri sendiri, dalam hal ini dengan kekuatan yang berada di luar diri sendiri. Manusia memang perlu memberi makan egonya, salah satunya berupa pengakuan akan kekuatan (power) kediriannya.
John French and Bertram Raven pada tahun 1959 menelurkan teori tentang kekuatan diri, terutama dalam konteks kepemimpinan. Menurut mereka, terdapat lima basis kekuatan diri, yaitu legitimate (dari jabatan), coercive (dari kemampuan menghukum), reward (dengan kemampuan memberi balasan), expert (dari keahlian yang dimiliki), dan referent power (dari kepribadian yang berintegritas atau karismatik).
Belakangan, ditambahkan dua tipe kekuatan lain, yaitu information power dan connection power. Information power merujuk pada kekuatan yang didapatkan dari pengetahuan yang dimiliki dan menjadi sangat penting dalam abad teknologi informasi. Sementara connection power adalah kekuatan yang didapatkan dari koneksi dengan seseorang atau sesuatu yang lebih besar sebagaimana contoh-contoh sebelumnya.
Menariknya, kekuatan koneksi dengan ”meminjam kredibilitas” seseorang atau sesuatu sekarang juga mulai menjamur di panggung politik kita. Para calon pemimpin bangsa, baik legislatif maupun eksekutif, ramai-ramai menunjukkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh besar baik secara langsung maupun simbolik, mulai dari kampanye verbal sampai simbol berupa benda milik sang tokoh yang dihadirkan. Seakan-akan kedekatan tersebut membuat mereka memiliki kredibilitas setara atau setidaknya selaras dengan sang tokoh.
Yang menyedihkan, meminjam kredibilitas tokoh bagi para kontestan politik ini sering kali hanya sebatas gimmick. Tidak dengan menunjukkan laku yang diilhami keteladanan sang tokoh yang dirujuk. Tidak juga dengan menjaga warisan perjuangan sang tokoh, jika tokoh yang bersangkutan telah wafat. Akhirnya, para tokoh bangsa yang mulia ini diperlakukan hanya sebagai komoditas biasa, atau properti panggung.
Alih-alih membangun kredibilitas dengan expert atau information power, atau bahkan referent power, para kontestan berlomba-lomba menunjukkan kedekatan dengan tokoh. Bahkan, kadang dengan memutarbalikkan fakta tentang sang tokoh, seperti dialami Gus Dur yang nama dan gambarnya digunakan di mana-mana oleh orang-orang yang ibaratnya tak menoleh saat ada kelompok masyarakat adat diintimidasi atau kelompok minoritas agama dihalangi beribadah, yang notabene adalah perjuangan Gus Dur yang paling menonjol.
Saat ini, yang paling ramai adalah meminjam kredibilitas Presiden Jokowi. Berbagai baliho, poster, celoteh para pendengung di media sosial, dan kisah-kisah yang dibisikkan dari mulut ke mulut beredar kencang, untuk menunjukkan betapa besar dukungan Pak Jokowi kepada mereka. Mungkin karena para kontestan ini sadar bahwa rakyat kita memang masih patriarkal dan berada di fase mengelu-elukan figur.
Bila nanti pemilihan presiden telah usai dan kita sudah punya presiden terpilih, kemungkinan sebagian besar baliho-baliho kontestan pilkada pun akan berganti wajah sang terpilih, meninggalkan wajah yang sekarang dielu-elukan.
Sebetulnya, ini justru menunjukkan kelemahan power para kontestan tersebut sehingga kita harus meminjam kekuatan orang lain. Kekuatan pribadi para pemimpin ini justru terkaburkan, tertutup oleh kekuatan Pak Jokowi. Atau jangan-jangan memang ini yang diinginkan?