Kini tengah merebak ujaran seseorang yang memerahkan telinga dan membuat jengah banyak orang. Padahal, semua bahasa menempatkan manusia sebagai makhluk mulia dengan adab yang disematkan dalam penggunaannya.
Oleh
KURNIA JR
·2 menit baca
Menjelang pemilihan umum, ujaran adalah komoditas komersial. Nilainya makin diperhitungkan dengan dukungan teknologi informasi digital, yang secara praktis mengendarai wahana media sosial dan praktik demokrasi yang, dalam kasus nasional, sangat eksesif.
Bermodal pengikut besar dan popularitas masif, seseorang yang bukan apa-apa bisa menjadi pelantam suara satu kutub atau kelompok politik untuk menghantam lawan. Sudah nyaris satu dekade suasana politik nasional dilanda ekses dari kebebasan berekspresi.
Tidak butuh waktu lama, unggah-ungguh dan etika melontarkan ujaran dihabisi oleh politikus, acapkali dengan memanfaatkan corong tim sorak (buzzer). Perilaku di dunia politik demikian masif meracuni komunikasi sehari-hari di media sosial yang sangat luas cakupannya atas berbagai kelas sosial masyarakat Indonesia.
Para leluhur mewariskan bahasa simbol melalui daun, bunga, pantun, elegi, hingga banyolan demi adab dan martabat diri.
Sejalan dengan rendahnya kadar pendidikan etika di sekolah, kian profannya suasana di lembaga-lembaga pendidikan berbasis keagamaan, yang ditandai dengan berbagai kasus kriminal kekerasan hingga pembunuhan dan seksual, mungkin bisa dikatakan hancur sudah benteng fundamental kebahasaan kita dalam arti pragmatis, yang ditandai dengan rusaknya adab berbahasa.
Berseliweran tiap saat di media sosial kata-kata makian yang kasar dan menghina, merendahkan, hingga menghancurkan kehormatan orang lain.
Adab
Yang tengah merebak kini ujaran seseorang yang memerahkan telinga dan membuat jengah banyak orang. Andai ujaran itu hanya berisik di tingkat tim sorak, mungkin dampak etisnya masih dapat dilokalisasi. Yang jadi soal, ujarannya segera ditangkap dan dibela secara masif oleh tokoh-tokoh politik senior yang seharusnya jadi benteng bagi terejawantahkannya etika dalam berpolitik.
Di era ini, sepatutnya politikus senior mafhum bahwa inilah periode transisi kemudi bahtera bangsa dari tangan generasi terdahulu kepada generasi milenial yang masih butuh bekal fundamental, khususnya adab. Adab inilah jimat pamungkas bangsa yang tengah berjuang melawan hasrat bertengkar di dalam rumah sendiri dengan sanak-saudara sendiri.
Bahasa terutama adalah media fundamental dalam peradaban manusia. Di level dasar memudahkan segala urusan. Ketika satu (dialek) bahasa bersua dengan dialek lain hingga bahasa-bahasa lain, diperlukan peran perumus struktur linguistik hingga sarjana bahasa formal. Melampaui itu semua bahasa menempatkan manusia sebagai makhluk mulia dengan adab yang disematkan dalam penggunaannya.
Akhir-akhir ini, seakan-akan kita dipaksa jengah untuk mengingatkan tentang sopan santun dalam berbahasa lantaran bengisnya para penyokong ujaran kebencian yang dibela oleh para tokoh partai politik. Kita dipaksa lupa bahwa para leluhur mewariskan bahasa simbol melalui daun, bunga, pantun, elegi, hingga banyolan demi adab dan martabat diri. Bahkan kini para seniman seperti tinggal memilih, tergulung arus materi atau terpaksa menyingkir ke gurun antah-berantah.
Lepas dari semua aspek itu, senantiasa kembali kepada manusia sendiri yang, konon, diisyaratkan dalam agama bisa meraih kedudukan sebagai khalifah di muka bumi. Apakah janji kepemimpinan itu pantas bagi manusia yang membuang adab, bahkan dalam bertutur kata?