Negeri Terperangkap Asap
IMF dan berbagai penelitian lain menyatakan, pihak yang paling terdampak kerusakan lingkungan dan krisis iklim mereka yang miskin. Persoalannya, apakah solusi yang ditawarkan sudah adil bagi seluruh warga masyarakat ?
Rapat terbatas terkait polusi udara digelar di Istana Merdeka pada 14 Agustus 2023. Sebelumnya dikabarkan bahwa Presiden mengalami batuk hingga empat minggu belum mereda sehingga dokter kepresidenan menduga ini disebabkan polusi udara.
Tidak dapat dimungkiri bahwa akhir-akhir ini negeri kita tengah dikepung asap. Asap muncul di mana-mana. Setiap kota memiliki sebab yang berbeda, mulai dari akibat pembakaran dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), kendaraan berbahan bakar fosil, kebakaran hutan, hingga pembakaran sampah. Asap beracun muncul dari berbagai area. Istana Negara pun tidak luput dari dampaknya. Berbagai reaksi pun muncul untuk mengatasi polusi udara.
Dua tahun sebelumnya, 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat melalui putusan Nomor 374/Pdt.G/LH/ 2019/PN Jkt.Pst menyatakan bahwa Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Kesehatan melakukan perbuatan melawan hukum berkaitan dengan penanganan polusi udara. Namun, para tergugat merespons dengan mengajukan banding untuk membatalkan putusan.
Kini, sepertinya alam kita sudah bisa menyuarakan dirinya sendiri kepada pihak yang berwenang, bahwa lingkungan hidup kita sudah tidak baik-baik saja.
Terperangkap asap
Buruknya udara di Jakarta sudah lama dikeluhkan. Tahun 1990, Program Lingkungan PBB (UNEP) menyatakan, dari 20 kota megapolitan di dunia, salah satu kota yang kualitas udaranya buruk adalah Jakarta. Oleh IQAir, sejak Mei 2023 Jakarta juga dimasukkan sebagai sepuluh kota paling tercemar di dunia. Penyebab buruknya kualitas udara masih jadi perdebatan.
Laporan penelitian Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta bersama Vital Strategies tahun 2020 mencatat lima sektor penyumbang polusi udara DKI Jakarta, yakni sektor transportasi, industri manufaktur, industri energi, pusat komersial, dan perumahan.
Terdapat 14 PLTU yang jaraknya hanya sekitar 100 kilometer dari pusat Jakarta.
Meski tidak dinyatakan sebagai penyumbang terbesar, menurut Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), PLTU salah satu yang paling signifikan menyumbang pencemaran udara di Jakarta. Terdapat 14 PLTU yang jaraknya hanya sekitar 100 kilometer dari pusat Jakarta. Enam PLTU untuk kebutuhan umum, sisanya untuk mendukung operasionalisasi pabrik sejumlah perusahaan.
Di Bandung, kota metropolitan yang jaraknya sekitar 150 kilometer dari Jakarta, sejak 19 Agustus 2023, beberapa titik di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti yang menjadi andalan masyarakat Bandung dan sekitarnya untuk menampung sampah mengalami kebakaran. Luas yang terbakar dalam sepekan mencapai 80 persen dari 25 hektar luas keseluruhan TPA.
Memadamkan api di tumpukan sampah yang sudah beroperasi sejak 2006 itu tentu tidak mudah. Tumpukan sampah tersebut mengandung gas metana dengan jumlah yang tidak terkira, sebagaimana gas metana yang juga terkandung di bawah lahan gambut di Sumatera atau Kalimantan.
Masih pada bulan Agustus, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga meluas di sejumlah wilayah Indonesia. Menurut data BNPB, per 13 Agustus 2023, karhutla menjadi penyumbang tertinggi dari 38 bencana yang terjadi di Indonesia.
Karhutla tersebar di beberapa provinsi, seperti Aceh (40 titik), Jawa Tengah (23 titik), Kalimantan Tengah (17 titik), Jawa Timur (12 titik), Kalimantan Barat (12 titik), Kalimantan Selatan (12 titik), Kepulauan Bangka Belitung (12 titik), Jawa Barat (10 titik), Jambi (8 titik), Kepulauan Riau (8 titik), Sumatera Utara (6 titik), Kalimantan Utara (5 titik), Riau (4 titik), Kalimantan Timur (3 titik), Sumatera Selatan (3 titik), dan Banten (1 titik).
Banyaknya jumlah titik karhutla yang terekam ini belum mewakili keseluruhan kejadian karena, di beberapa wilayah seperti di Aceh, kebakaran di lahan satu hektar biasanya tidak dilaporkan. Tidak dilaporkannya kejadian kebakaran itu mengindikasikan bahwa bencana kebakaran di wilayah tersebut sudah menjadi hal berulang yang normal. Normalisasi kebakaran ini tentu berbahaya mengingat seriusnya dampaknya terhadap kesehatan lingkungan.
Di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dikenal sebagai inisiator bank sampah di Indonesia, saat ini justru sedang terjadi darurat sampah. Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) Piyungan yang menjadi tempat pengelolaan sampah terakhir dari tiga kabupaten/kota di Yogyakarta (Sleman, Bantul, Yogyakarta) ditutup, sebagaimana imbauan surat Sekretaris Daerah DIY Nomor 658/8312.
Penutupan TPST ini berakibat pada banyaknya tumpukan sampah di sudut-sudut jalan raya, tanah kosong, hingga ruko kosong di Yogyakarta. Untuk mengatasi tumpukan sampah, sebagian masyarakat memilih membakar sampahnya tanpa memikirkan dampak dari tindakan tersebut. Tidak hanya menyebabkan asap dan udara menjadi beracun, menurut Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Yogyakarta, pembakaran sampah ini juga memicu lima peristiwa kebakaran lahan lainnya.
Begitu banyak kejadian di beberapa wilayah di Indonesia yang secara tidak langsung menjadikan Indonesia terperangkap asap. Asap hasil pembakaran ini menghasilkan konsentrasi partikulat hingga PM 2,5 dan dioksin yang tak mampu menembus lapisan atmosfer sehingga akan terhirup kembali oleh kita.
Asap hasil pembakaran ini menghasilkan konsentrasi partikulat hingga PM 2,5 dan dioksin yang tak mampu menembus lapisan atmosfer sehingga akan terhirup kembali oleh kita.
Solusi bagi kesenjangan ekologi
Menghirup udara bersih seharusnya gratis dan dijamin oleh negara. Namun, saat ini hanya mereka yang bisa membeli air purifier yang merasakannya.
Sebagaimana dinyatakan Dana Moneter Internasional (IMF) dan berbagai penelitian lain, pihak yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan dan krisis iklim adalah mereka yang miskin. Persoalannya, apakah solusi yang ditawarkan sejauh ini sudah adil bagi seluruh masyarakat?
Salah satu sektor yang sering dipersalahkan ketika terjadi pencemaran udara adalah transportasi. Hal ini tidak salah karena sektor ini penyumbang penting pencemaran udara. Untuk mengatasi, solusi yang ditawarkan adalah beralih ke kendaraan berbasis listrik. Apakah kendaraan listrik pribadi adalah jawaban?
Sebagaimana diketahui, untuk membuat bahan baku kendaraan listrik ataupun nonlistrik, bahkan sepeda, diperlukan suplai dari sektor petrokimia. Selama bahan baku kendaraan masih ada yang berasal dari petrokimia dan bahan bakar kendaraan listrik berasal dari batubara, bahan bakar fosil masih akan terus menghasilkan emisi gas rumah kaca yang mengepung kita.
Badan Energi Internasional (IEA) dalam laporan bertajuk ”Oil 2013: Analysis and Forecast 2028” juga memperkirakan bahwa, berdasarkan kebijakan pemerintah saat ini dan tren pasar, permintaan minyak global akan meningkat sebesar 6 persen pada 2022 dan 2028, mencapai 105,7 juta barel per hari. Peningkatan ini didukung oleh kuatnya permintaan minyak bumi dari sektor petrokimia dan penerbangan.
Belajar dari penanganan polusi di China, selama lima tahun pemerintah Beijing sudah menutup empat PLTU dan mengganti 24.000 ketel uap berbahan bakar batubara dengan energi bersih.
Pemerintah Indonesia menargetkan mencapai emisi nol bersih pada 2060. Salah satu kendala untuk bisa dicapainya lebih cepat target tersebut adalah karena pemensiunan dini PLTU membutuhkan dana sangat masif. PLTU masih menyumbang 67 persen lebih pembangkitan listrik di Indonesia.
Belajar dari penanganan polusi di China, selama lima tahun pemerintah Beijing sudah menutup empat PLTU dan mengganti 24.000 ketel uap berbahan bakar batubara dengan energi bersih. Penggunaan batubara untuk pemanas dan memasak skala rumah tangga juga dilarang. Selain itu, Pemerintah China juga mengganti 2,1 juta kendaraan berpolusi tinggi dengan kendaraan listrik.
Kendaraan pribadi baru pun dibatasi dan dua ribu industri berskala besar yang mencemari udara dihentikan. Hasilnya, selama lima tahun Beijing mampu mengurangi 39 persen emisi.
Langkah cepat dan strategis perlu segera dilakukan pengambil kebijakan. Para calon pemimpin mendatang juga harus menjadikan isu lingkungan hidup dan krisis iklim sebagai prioritas dalam program pembangunan mereka.
Mengingat kelompok miskin adalah yang paling rentan terdampak, setidaknya penyediaan lingkungan hidup yang layak tak membebani masyarakat dua kali lipat dengan penyakit-penyakit berbahaya akibat polusi udara.
Baca juga : Pasang Surut Penanganan Polusi Udara Jakarta
Retno Suryandari Peneliti Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta