Social commerce menjadi fenomena mutakhir. Penjualan barang melalui platform media sosial terbukti efektif.
Oleh
RICO USTHAVIA FRANS
·5 menit baca
STEFANUS OSA TRIYATNA
Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki dalam acara Rapat Forum Ekonomi Digital Kominfo IV dengan tema “E-Commerce” yang diselenggarakan Kominfo di Grand Hyatt Jakarta, Senin (4/4/2022), mengemukakan, produk UMKM lokal semestinya bisa membanjiri platform e-dagang.
Minggu lalu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengusulkan pelarangan Tiktok sebagai tempat berjualan. Alasannya, platform tersebut telah melakukan monopoli lewat konsep social commerce dengan kemampuannya mempengaruhi pengguna untuk berbelanja daring hingga melakukan penjualan dan pembayaran di dalam platform yang sama.
TikTok memang telah menjadi media sosial yang mendunia. Pada April 2023, TikTok memiliki 1,09 miliar pengguna global, tumbuh 12,6 persen dibanding tahun sebelumnya. Indonesia berada di urutan kedua dengan pengguna 113 juta per April 2023, sedikit di bawah Amerika Serikat dengan pengguna 116,5 juta.
Aplikasi video pendek yang diluncurkan pada 2016 ini awalnya hanya merupakan ajang para remaja untuk menunjukkan kemampuan berjoget. Namun, kini TikTok sudah bermetamorfosis menjadi platform dengan konten dan fitur yang bervariasi mulai dari berita, gaming, edukasi, tinjauan produk, sampai dengan social commerce melalui fitur TikTok Shop dan TikTok Live-nya.
Semuanya dilakukan secara instan berdasarkan impulse buying alias tanpa rencana dan tak cukup pertimbangan.
Pada Agustus lalu, dokter Richard Lee, seorang dokter ahli kecantikan, mengklaim omzet Rp 40 miliar dari hasil berjualan di TikTok Live selama 24 jam. Memang social commerce Tiktok Shop sangat ampuh. Bagi yang belum pernah menggunakan TikTok, bayangkan nyamannya menonton video tentang suatu produk dan kita bisa langsung membelinya tanpa harus pindah platform.
Hal ini sebenarnya sudah dilakukan oleh beberapa stasiun TV dengan acara review produk dan belanja melalui telepon. Namun dengan platform TikTok, pengalaman menonton dan berbelanja sampai dengan pembayarannya itu bisa dilakukan dengan mulus. Tidak ada waktu lagi untuk berpikir ulang. Semuanya dilakukan secara instan berdasarkan impulse buying alias tanpa rencana dan tak cukup pertimbangan.
Para penjual di TikTok pun dapat menjual secara live kepada ribuan bahkan jutaan pemirsa yang sudah disaring sesuai dengan minatnya oleh mesin kecerdasan buatan milik TikTok. Mereka tidak perlu lagi memilih target pemirsa seperti pada saat memasang iklan di sosial media seperti Facebook atau menggunakan Google Ads. Saat ini marak juga penyelenggara fasilitas TikTok Live yang menyediakan tempat dan prasarana untuk melakukan live streaming bagi para penjual.
ALIF ICHWAN
Petugas Bea Cukai memeriksa barang di gudang PT Uniair Indotama Cargo. Sebelumnya Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki bersama Menteri Perdagangan, Agus Suparmanto, melepas ekspor perdana produk UKM (Usaha Kecil Menengah), IKM (Industri Kecil Menengah) Indonesia ke China melalui layanan Pusat Logistik Berikat (PLB) e-commerce, di kawasan industri dan perdagangan Marunda Center, Bekasi, Kamis (19/12/2029).
TikTok mengincar pasar Indonesia yang berkontribusi lebih dari setengah pasar e-commerce Asia Tenggara karena memiliki kelas menengah terbesar ke-empat di dunia. GMV (Gross Merchandize Value) atau nilai transaksi barang di TikTok Shop Indonesia sepanjang 2022 senilai 2,5 miliar dollar AS.
Tahun ini, targetnya naik dua kali lipat menjadi 5 miliar dollar AS atau lebih kurang Rp 75 triliun. Pada Juni lalu, CEO TikTok, Shou Zi Chew, mengunjungi Jakarta dan menjanjikan investasi 10 miliar dollar AS atau lebih-kurang Rp 148 triliun dalam 5 tahun ke depan.
Rencana pelarangan TikTok sebagai gabungan media sosial dan e-commerce menarik untuk ditelaah. Salah satu spekulasi yang beredar, rencana tersebut dipicu oleh kekhawatiran para pemain e-commerce tradisional yang mulai merasakan dampak dari TikTok Shop. Dengan konsep social commerce terpadu, potensi TikTok Shop tak bisa diremehkan.
TikTok mengincar pasar Indonesia yang berkontribusi lebih dari setengah pasar e-commerce Asia Tenggara karena memiliki kelas menengah terbesar ke-empat di dunia.
E-Commerce di Indonesia memang masih didominasi oleh Shopee dan Tokopedia yang masing-masing menguasai 36 persen dan 35 persen,. Adapun Bukalapak dan Lazada masing-masing mengambil porsi 10 persen. Namun, TikTok Shop yang baru diluncurkan di Indonesia dua tahun lalu, telah berhasil menempati posisi kelima dengan pangsa pasar 5 persen, mengalahkan Blibli dengan pangsa pasar 3-4%.
Menurut survei Cube Asia, di Indonesia, Thailand, dan Filipina, pembelanjaan pengguna Shopee turun 51 persen. Sementara di Lazada, angkanya turun 45 persen karena alokasinya pindah ke TikTok Shop.
SALOMO TOBING
Rico Usthavia Frans
Jika platform e-commerce tradisional masih harus bergantung pada diskon dan insentif untuk mendapatkan dan menjaga basis pengguna, TikTok sudah memiliki basis pengguna yang besar dan captive karena komunitas media sosialnya. Secara bisnis model, TikTok Shop juga berani menerapkan komisi penjualan 1 persen hingga 4.3 persen, tergantung jenis produknya.
Misalnya digital produk, dikenakan komisi sebesar 1 persen. Adapun untuk produk elektronik sebesar 1,9 persen, produk makanan sebesar 2,7 persen, dan produk apparel dan non-apparel sebesar 4,3 persen. Hal ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kemampuan TikTok untuk membuat keuntungan.
Alasan pelarangan karena TikTok melakukan monopoli karena menggabungkan sosial media dan e-commerce pun dapat diperdebatkan. Saat ini Shoppe sudah memiliki fitur Shopee Video dan Shopee Live. Sementara Tokopedia memiliki fitur Feed yang mirip dengan fitur TikTok Shop dan TikTok Live.
Apakah semua platform itu akan dilarang karena menggabungkan fitur media sosial dan e-commerce?
Bedanya, TikTok berangkat dari media sosial video pendek baru merambah ke e-commerce. Sebaliknya, Shopee dan Tokopedia berangkat dari e-commerce lalu menambah fitur sosial media dalam bentuk video pendek dan live streaming. Facebook, Instagram, serta WhatsApp pun memiliki fitur e-commerce mereka sendiri. Apakah semua platform itu akan dilarang karena menggabungkan fitur media sosial dan e-commerce?
Beberapa waktu lalu beredar kabar bahwa TikTok akan meluncurkan Project S di mana TikTok akan memanfaatkan informasi tentang barang-barang yang viral dan laku dijual untuk membuat dan menjual sendiri barang-barang tersebut secara regional. Pihak TikTok telah membantahnya.
Jika spekulasi tersebut memicu kekhawatiran dampaknya terhadap UMKM sehingga social commerce TikTok harus dilarang, maka standar yang sama haruslah diterapkan bagi para pelaku e-commerce yang lain. Tokopedia, Shopee, Lazada, dan Buka Lapak juga memiliki informasi yang serupa dan berpotensi melakukan hal yang sama.
Seyogianya kita memisahkan antara permasalahan kemampuan bersaing UMKM domestik untuk memproduksi barang-barang dan e-commerce sebagai platform penjualan. Inisiatif agar UMKM mampu memproduksi barang-barang seperti China harus direncanakan, diimplementasikan, dan dikawal dengan baik. Kalau hanya melarang kanal penjualannya saja, maka dampaknya hanya sementara dan tidak akan berkesinambungan.
Menurut Pak Teten, langkah pelarangan ini mencontoh AS dan India. Namun demikian, pelarangan TikTok di India yang dilakukan pada 2020 didasari kekhawatiran bahwa TikTok akan memberikan data yang dikumpulkan kepada pemerintah Cina. Pelarangan itu juga diterapkan bagi 53 aplikasi lainnya dari Cina. Hal serupa sedang diupayakan oleh AS.
Namun karena adanya The First Amendent yang menjamin kebebasan berpendapat, sampai saat ini pelarangan hanya bisa dilakukan di lingkungan pemerintah, tidak bisa sampai melarang warga negara secara umum. Rasanya kekhawatiran tersebut bukanlah alasan yang relevan untuk melarang TikTok melakukan social commerce.
Namun negara memang biasa melakukan perlindungan terhadap pemain lokal walaupun definisi pemain lokal dan global semakin kabur.
Di sisi lain, keberadaan social commerce akan bermanfaat bagi konsumer. Semakin banyak pilihan semakin baik daripada hanya dimonopoli oleh beberapa platform e-commerce tradisional saja. Persaingan dan perang harga yang terjadi akan menguntungkan konsumen dan memacu bisnis untuk lebih kompetitif.
Dalam konteks pasar bebas, posisi TikTok sebagai pelaku social commerce saat ini sangat kuat. Namun negara memang biasa melakukan perlindungan terhadap pemain lokal walaupun definisi pemain lokal dan global semakin kabur. Semoga pemerintah bisa mengambil langkah yang strategis dan praktis yang bermanfaat dalam jangka panjang terkait social commerce ini.
Rico Usthavia Frans, anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society