Empat tahun, 2022 hingga 2025, jadi momentum emas bagi negara-negara berkembang agar aspirasi mereka terakomodasi di G20. India menjaga kontinuitas positif itu.
Oleh
REDAKSI
·1 menit baca
Ketika tongkat keketuaan G20 beralih dari Italia ke Indonesia pada 2022, saat itulah suara negara-negara berkembang memperoleh amplifikasi lebih luas. Di tengah tekanan keterbelahan dunia akibat invasi Rusia ke Ukraina awal tahun itu, Indonesia menuntaskan tugas keketuaan dengan pujian.
Tak hanya menghasilkan Deklarasi Bali dan sejumlah pertemuan penting, termasuk antara Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden China Xi Jinping, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 tahun itu juga memberi ruang lebih lebar bagi aspirasi negara-negara berkembang.
”Membuka kunci lebih luas investasi bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah serta negara-negara berkembang lainnya melalui berbagai inovasi sumber pembiayaan yang lebih besar, termasuk mengatalis investasi pihak swasta, guna mendukung pencapaian (program-program) SDG,” demikian, antara lain, tercantum dalam Deklarasi Bali.
Amplifikasi suara-suara negara berkembang—yang kerap diistilahkan dengan sebutan ”Global South”—berlanjut saat keketuaan G20 beralih ke India tahun ini. Hal itu ditegaskan Perdana Menteri India Narendra Modi dalam artikelnya yang dimuat harian ini, Kamis (7/9/2023), dua hari jelang KTT.
”Perubahan pola pikir harus dikatalisasi oleh G20. Hal ini terutama diperlukan dalam konteks pengarusutamaan aspirasi yang terpinggirkan di negara-negara berkembang, negara-negara Selatan, dan Afrika,” tulis Modi di Kompas.
Pemberian ruang lebih besar bagi negara-negara berkembang diwujudkan KTT tahun ini dengan memasukkan Uni Afrika (UA) sebagai anggota tetap ke-21 forum G20. Isu-isu negara-negara berkembang juga mendapat porsi penting.
Masalah keamanan pangan dan energi, dua sektor yang paling memukul negara-negara berkembang menyusul perang di Ukraina, hingga desakan reformasi lembaga-lembaga keuangan internasional, diarahkan untuk ”memperluas representasi dan suara negara-negara berkembang”. Isu-isu penting negara berkembang lainnya, yang diakomodasi KTT G20, juga mencakup energi alternatif, seperti hidrogen, efisiensi sumber daya, dan kerangka kerja untuk infrastruktur publik digital.
Suara negara-negara berkembang tak akan mendapat perhatian sebesar ini andai G20 berada di luar keketuaan ”Global South”. Bukan rahasia, seperti kita catat tahun lalu saat Indonesia jadi ketua G20, ada kecenderungan negara-negara maju memanfaatkan G20 untuk kepentingan geopolitik mereka.
Seperti Indonesia, India mengembalikan khitah G20 menjadi forum kerja sama ekonomi global dalam spirit multilateralisme. Momentum ”Global South” ini berlanjut setidaknya hingga 2025. Dua tahun ke depan, keketuaan G20 beredar di dunia selatan, secara berurutan di Brasil dan Afrika Selatan.
Momentum itu perlu dimaksimalkan untuk menancapkan posisi negara-negara berkembang di G20 sebelum keketuaan G20 beralih ke tangan AS pada 2026.