Kolaborasi dan gotong royong landasan penting untuk mewujudkan agenda keberlanjutan serta penanggulangan perubahan iklim. Indonesia berpeluang untuk menggiring dunia menuju solusi yang berpijak di atas keadilan bersama.
Oleh
LUHUT BINSAR PANDJAITAN
·4 menit baca
Ada sebuah pepatah Bugis, Mali siparappe, rebba sipatokkong, malelu sipakainge. Padaidi padaelo, sipatuo sipatokkong, yang artinya ”Jika hanyut saling mengaitkan (menolong), jika tumbang saling menegakkan, jika lupa saling mengingatkan. Seia-sekata saling membantu dan saling memajukan”.
Pepatah ini menjadi sangat relevan pada saat dunia sedang berada di tepi jurang bencana perubahan iklim yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan akibat aktivitas manusia.
Kolaborasi dan gotong royong adalah landasan penting untuk mewujudkan agenda sustainability (keberlanjutan) serta penanggulangan perubahan iklim, termasuk komitmen net zero yang diproyeksikan pada tahun 2060.
Indonesia berpeluang untuk menggiring dunia menuju solusi yang berpijak di atas keadilan bersama mengingat Indonesia kaya akan sumber daya alam, seperti mineral penting dan potensi energi baru dan terbarukan.
Potensi penyimpanan karbon Indonesia juga cukup besar mengingat luasnya hutan tropis dan hutan bakau di negara ini. Selain kolaborasi, kunci dari keberhasilan pencapaian target iklim dan keberlanjutan juga tergantung dari strategi kita mengatasi tantangan mahalnya pembiayaan untuk mendorong keberlanjutan, penyediaan teknologi yang mumpuni, dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Agenda ISF
Melihat berbagai persoalan itu, Indonesia berinisiatif menyelenggarakan Indonesia Sustainability Forum (ISF) pada 7-8 September 2023 di Jakarta.
Acara ini tidak hanya menjadi ajang bagi Indonesia untuk menunjukkan keseriusan dan komitmen dalam agenda keberlanjutan, tetapi juga langkah strategis untuk memosisikan diri sebagai titik temu global bagi para pemimpin dunia.
ISF dihadiri oleh pembicara tingkat tinggi dari pemerintah, seperti Presiden RI Joko Widodo dan Perdana Menteri Papua Niugini James Marape. Pun akan hadir pemimpin organisasi multinasional, bisnis, organisasi masyarakat sipil, dan pemimpin asosiasi yang akan mendiskusikan katalisator utama dan peluang dalam dekarbonisasi dan ekonomi berkelanjutan.
Pada kesempatan ini juga Presiden Jokowi memberikan pidato yang menekankan pentingnya pertumbuhan dan keberlanjutan bagi Indonesia.
Potensi penyimpanan karbon Indonesia juga cukup besar mengingat luasnya hutan tropis dan hutan bakau di negara ini.
Meskipun optimisme menyelimuti ISF, Indonesia saat ini tetap menghadapi dilema. Indonesia berambisi menjadi negara maju sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045. Belajar dari negara-negara maju, industrialisasi merupakan kunci untuk mewujudkan ambisi tersebut.
Negara maju telah memperoleh manfaat dari penggunaan energi yang notabene telah menikmati kemakmuran hasil industrialisasi dengan energi yang terjangkau, reliable, dan mudah diakses. Ketika Indonesia ingin melakukan hal yang sama, kita dihadapkan pada dampak kerusakan alam, melalui kenaikan emisi yang sebenarnya sudah lama dilakukan negara-negara maju.
Pilihan lain adalah melakukan industrialisasi dengan menggunakan energi rendah karbon yang memakan lebih banyak biaya dan waktu. Biaya industrialisasi yang lebih mahal dapat mengancam target menekan jumlah kemiskinan Indonesia yang saat ini berada di angka 25,9 juta jiwa per Maret 2023. Oleh karena itu, Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Komitmen ”kakak senior”
Ibaratnya, negara maju adalah ”kakak senior” yang terlebih dahulu menelusuri sebuah goa untuk mengambil begitu banyak harta karun. Namun, ketika sang adik ingin ikut mengambil harta karun lain, sontak kakak tua melarang kita dengan dalih ada peringatan di dinding goa yang berbunyi, jika harta karun habis, seluruh goa ini akan runtuh dan membahayakan kehidupan di sekitarnya.
Alhasil, hanya sang ”kakak senior” yang bisa menjadi kaya raya, sementara sang adik harus ”rela” tak mendapat apa-apa.
Indonesia tentu saja tidak bermaksud menolak agenda keberlanjutan. Contohnya, sebagai negara yang rentan terhadap risiko perubahan iklim, Indonesia secara aktif terlibat dalam inisiatif global melawan perubahan iklim.
Indonesia telah memperkuat komitmen iklimnya dengan memperbarui nationally determined contribution (NDC) —jantung Perjanjian Paris yang memuat perjanjian iklim sebuah negara—dan membuat komitmen untuk net zero pada 2060. Contoh lain, banyaknya penetapan kawasan hutan di Indonesia dalam 10 tahun terakhir yang naik signifikan.
Menghadapi target global dalam bidang keberlanjutan, diperlukan kerja sama yang erat antarnegara, terutama antara negara maju dan negara berkembang.
Dalam konteks ini, Indonesia dapat menawarkan solusi kepada dunia untuk menjadi lebih memastikan lancarnya agenda keberlanjutan. Namun, Indonesia butuh bantuan dari ”kakak senior”-nya untuk memobilisasi faktor-faktor pendukung, seperti modal pembiayaan, teknologi yang lebih maju, dan ketersediaan tenaga ahli, untuk mewujudkan peluang emas ini.
Hubungan simbiosis ini akan membantu memperkuat perekonomian hijau Indonesia yang notabene bisa memaksimalkan pertumbuhan ekonomi untuk kemakmuran bersama.
Apa arti kompensasi ini? Ini bukan sekadar transaksi finansial, melainkan sebuah investasi untuk masa depan planet kita.
Investasi pendanaan yang memungkinkan transisi ke energi bersih, investasi riset dan teknologi untuk solusi hijau yang inovatif, dan investasi pengembangan kapasitas manusia yang akan mendorong perubahan tersebut.
Indonesia siap untuk memainkan peranannya, dengan harapan bahwa komunitas internasional akan berdiri di samping Indonesia melalui perhelatan ISF, dan selanjutnya memberikan dukungan yang diperlukan untuk menciptakan dunia yang lebih hijau, adil, dan makmur untuk kita semua.