Transisi energi di Indonesia tetap memerlukan produksi energi fosil yang besar di fase awal. Menjadi sangat penting, energi fosil bisa diproduksi dengan harga yang lebih ekonomis, untuk berinvestasi di energi hijau.
Oleh
AMRULLAH HAKIM
·3 menit baca
Terdapat satu konsep energi yang dikembangkan oleh World Energy Council untuk memahami tantangan dalam menyeimbangkan tiga tujuan utama dalam sistem energi global, yang kemudian dikenal dengan trilema energi. Tiga tujuan utama dalam sistem energi global ini adalah ketahanan energi, keterjangkauan energi, dan kelestarian lingkungan yang dirangkum dalam satu indeks.
Indeks Indonesia di 2022 adalah 53,3, peringkat ke-78 dari 115 negara. Indeks ini cukup rendah, dan dengan isu transisi energi saat ini, kita perlu mengulas kembali kondisi kita dengan mengambil beberapa pelajaran dari negara lain.
Ketahanan energi
Transisi energi, di Indonesia terutama, masih akan tetap memerlukan produksi energi fosil yang besar di fase awal karena Indonesia masih menjadi produsen batubara yang sangat besar serta memiliki cadangan migas yang juga masih besar. Namun, menjadi sangat penting untuk memudahkan terjadinya transisi energi jika energi fosil bisa diproduksi dengan harga yang lebih ekonomis agar menghasilkan keuntungan yang optimum, yang kemudian dapat digunakan untuk memulai investasi di energi hijau secara bertahap dan berkelanjutan serta mengantisipasi dan menangani dampak perubahan iklim demi menjaga daya dukung lingkungan untuk kehidupan rakyat.
Di kolom ini, saya akan melihat produksi energi fosil dari minyak bumi sebagai salah satu pilar ketahanan energi kita. Ada pelajaran dari negara-negara Amerika Latin terkait energi transisi dan produksi minyak. Tiga negara, yaitu Guyana, Brasil, dan Argentina, adalah contoh yang berhasil menurut laporan majalah The Economist edisi 15 Juli 2023.
Guyana menemukan cadangan minyak sebesar 11 miliar barel di 2015. Cadangan yang ditemukan ini baru diproduksi tiga tahun yang lalu dan diperkirakan pada 2028 produksi minyak Guyana akan mencapai 1,2 juta barel per hari sehingga Guyana akan masuk ke 20 besar produsen minyak dunia.
Guyana juga bisa memproduksi minyak yang menguntungkan di harga 35 dollar AS per barel, setengah dari harga sekarang, dengan emisi karbon dioksida hanya 10 kilogram (kg) per barel dibandingkan dengan rerata dunia sebesar 26 kg per barel. Capaian ini diperoleh dengan menerapkan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Enhanced Oil Recovery (EOR), mengurangi gas flare dan metana, dan yang terutama adalah Guyana terus berusaha keras untuk melindungi luasan hutannya.
Ada pelajaran dari negara-negara Amerika Latin terkait energi transisi dan produksi minyak.
Brasil juga memiliki cerita peningkatan produksi minyak yang bagus setelah insinyur dari Petrobras menemukan cadangan yang besar pada 2006. Produksi minyak Brasil di 2010 hanya sebesar 41.000 barel per hari, tetapi tahun lalu sudah berlipat menjadi 2,2 juta barel per hari. Argentina juga diperkirakan akan memiliki produksi minyak hingga 1 juta barel per hari pada 2030.
Negara-negara ini bisa menjadi contoh yang bagus untuk Indonesia dalam pencapaian target produksi minyak nasional jangka panjang dan sekaligus mengurangi emisi karbon dioksida untuk bisa memproduksi minyak dari sumber cadangan yang sulit secara teknis, termasuk upaya melakukan pengeboran perdana eksplorasi migas di Rokan (Kompas, 26/7/2023).
Keterjangkauan energi
Investasi sangat besar diperlukan untuk bisa bertransisi menjadi net-zero emissions. Total kebutuhan investasi dunia untuk transisi energi ini, menurut International Energy Agency, sekitar 4 triliun dollar AS setahun di 2030.
Dalam sambutannya di acara EBTKE Conex 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, biaya transisi energi di Indonesia diperkirakan sekitar 200 miliar dollar AS. Sebagai langkah awal, pemerintah sedang mengerjakan sejumlah inisiatif untuk membiayai transisi energi, misalnya Indonesia Just Energy Transition Partnership (JETP), yang merupakan prakarsa senilai 20 miliar dollar AS atau 10 persen dari kebutuhan total, yang didukung oleh Bank Dunia dan mitra pembangunan lainnya.
Singapura juga melakukan tindakan serupa. Dalam laman di Twitter, akun Energy Market Authority (EMA) Singapura memberitakan sedang bekerja sama dengan Asian Development Bank untuk upaya dekarbonisasi dengan percepatan pembangunan proyek energi terbarukan. Baru-baru ini peneliti di Singapura menemukan sumber panas bumi baru yang sedang diteliti untuk bisa menjadi sumber pembangkit listrik skala kecil, selain surya, angin, dan hidrogen. Singapura juga mengimpor sebesar 100 MW listrik tenaga air dari Laos melalui kabel listrik melalui Thailand dan Malaysia.
Sekitar 95 persen sumber energi untuk listrik Singapura dipasok dari energi fosil, yakni gas dan komponen tarif listrik di Singapura, 50 persennya adalah harga bahan bakar. Harga listrik rumah tangga per kWh saat ini di Singapura sekitar Rp 3.300 atau setengah dari harga listrik di Indonesia dan harga ini berubah setiap tiga bulan mengikuti harga gas yang diindekskan ke harga minyak.
Formulasi serupa bisa kita adopsi untuk merumuskan langkah-langkah yang tepat untuk menjamin keterjangkauan energi rakyat Indonesia.
Kelestarian lingkungan
Climate Change Conference ke-28 (COP28) yang akan diadakan di Dubai, negara penghasil migas, pada November-Desember 2023 menjadi ajang untuk memulai kembali upaya bersama mencapai Kerja Sama Paris untuk perubahan iklim dan melestarikan lingkungan hidup di bumi. Jika COP28 ingin sukses, kita secara bersama-sama harus membuat inisiatif hijau berkelanjutan dan mempercepat transisi energi.
Menurut Ana Palacio, dosen Georgetown University, di laman Project Syndicate pada 27 Juli 2023, pendekatan yang lebih realistis terhadap sektor energi fosil, termasuk minyak dan gas, juga diperlukan. Investasi berkelanjutan di industri migas akan memastikan pasokan migas dunia tidak turun lebih cepat dari permintaan.
Perusahaan energi fosil, termasuk migas, memiliki peran yang lebih besar dalam transisi hijau karena memiliki jangkauan global dan sumber daya keuangan yang substansial, dan memiliki hubungan dengan pemangku kepentingan energi, seperti pembeli dan regulator. Investasi yang dilakukan oleh Saudi Aramco senilai 500 juta dollar AS untuk mendukung energi terbarukan dan teknologi hemat energi juga merupakan satu contoh langkah ke arah yang benar.
Pendekatan satu ukuran untuk semua tidak akan adil dan tidak efektif. Demikian juga dengan Indonesia. Energi fosil kita, baik itu batubara maupun migas, harus diproduksi dengan terus memperhatikan dengan saksama daya dukung lingkungan hidup kita. Kita harus mampu mencapai keseimbangan antara keberlanjutan, keamanan, dan efektivitas biaya.
Transisi yang adil hanya akan mungkin terjadi dengan pendekatan yang bijaksana dan seimbang yang memperhitungkan kebutuhan energi dan lingkungan hidup Indonesia sehingga indeks trilema energi Indonesia bisa lebih baik. Upaya yang mudah diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan.