Ketika hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan bersifat dilematis atau ”trade-off”, muncul pertanyaan, seberapa besar pengorbanan lingkungan dapat ditoleransi demi pariwisata?
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Petugas menjaring sampah di Sungai Kuin, wilayah Desa Wisata Kuin Utara, Kecamatan Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (3/8/2023). Desa Wisata Kuin Utara masuk 75 desa wisata terbaik dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia 2023.
Menjadi desa wisata adalah mimpi sejumlah desa. Data menunjukkan, jumlah desa wisata di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Asosiasi Desa Wisata Indonesia menyatakan, ada 1.838 desa wisata pada 2021. Adapun Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mencatat terdapat 3.613 desa wisata pada 2022 dan 4.714 desa wisata pada 2023.
Di antara sektor-sektor ekonomi, pariwisata memiliki efek pengganda yang luas. Suatu obyek wisata tidak hanya menghasilkan pendapatan bagi pengelolanya, tetapi juga membuka peluang usaha lain, seperti penjualan makanan, minuman, dan cendera mata serta penyediaan penginapan.
Pariwisata, terutama wisata alam, juga berpotensi memadukan tujuan pertumbuhan ekonomi dengan kelestarian lingkungan. Alam yang terawat adalah aset utama usaha wisata sehingga penduduk desa wisata memiliki motivasi atau insentif untuk tidak merusak alam desanya.
Namun, jika tidak dilakukan dengan hati-hati, pengembangan sektor pariwisata di perdesaan justru berpotensi merusak lingkungan. Pada kunjungan ke beberapa desa wisata, bahkan yang menyatakan berbasis wisata alam atau wisata edukasi lingkungan, saya masih menemukan sampah tidak dikelola dengan baik.
Selain itu, terjadi alih fungsi lahan hijau dengan luas cukup signifikan untuk membangun tempat wisata serta infrastruktur fisik penunjang aksesibilitas dan amenitas wisata. Desa wisata dengan wahana wisata air juga berpotensi menggunakan sumber daya air secara berlebihan.
Alam yang terawat adalah aset utama usaha wisata sehingga penduduk desa wisata memiliki motivasi atau insentif untuk tidak merusak alam desanya.
Pembangunan perdesaan didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan. Konsep ini bertujuan mencapai kemajuan ekonomi sekaligus kelestarian lingkungan dan pemerataan kesejahteraan. Ketika hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan bersifat dilematis (trade-off), muncul pertanyaan, seberapa besar pengorbanan lingkungan dapat ditoleransi sehingga pengembangan pariwisata berbasis alam dapat dikatakan masih dalam koridor pembangunan yang berkelanjutan?
KOMPAS/RIZA FATHONI
Sejumlah umat Hindu menggelar odalan (upacara) agama di Merajan (pura keluarga) Sanggah Cekoh, Desa Munduk, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali, Rabu (31/1/2018). Sejumlah pura di Bali mengadakan piodalan yang bertepatan dengan saat bulan purnama dengan harapan memohon keselamatan dan kebahagiaan yang lebih baik di masa mendatang.
Tanpa merusak
Mungkinkah pengembangan desa wisata tanpa mengorbankan alam sama sekali? Kisah Desa Munduk di Kabupaten Buleleng, Bali, dan Pasar Papringan di Desa Ngadimulyo, Temanggung, Jawa Tengah, menarik untuk disimak.
Desa Munduk dianugerahi pemandangan alam indah, hamparan hijau Hutan Mertajati, lengkap dengan air terjun dan Danau Tamblingan. Potensi wisata alam luar biasa ternyata tidak membuat perangkat desa bersama bendesa (ketua adat) Desa Munduk menempatkan wisata desa itu sebagai tumpuan utama ekonomi di desanya.
I Putu Ardana, Bendesa Desa Munduk, percaya bahwa Hutan Mertajati dan Danau Tamblingan adalah sumber kehidupan bagi warga Desa Munduk dan tiga desa lainnya di sekeliling hutan dan danau itu, bahkan bagi penduduk di wilayah-wilayah hilirnya. Hutan Mertajati dan Danau Tamblingan wajib dilestarikan.
Wisata dianggap ’hanya’ bonus dan kehidupan warga desa yang utama didapat dari sektor pertanian, antara lain sebagai produsen kopi.
Alih-alih fokus pada pengembangan desa wisata, Ardana melakukan upgrade produk kopi dari desanya. Dengan kualitas lebih bagus, Ardana mampu mengangkat kopi dari desanya jadi salah satu kopi organik terbaik sehingga dihargai tinggi. Hal ini kemudian menarik petani-petani kopi di desanya untuk mempraktikkan pertanian kopi berkualitas tinggi.
Wisata dianggap ”hanya” bonus dan kehidupan warga desa yang utama didapat dari sektor pertanian, antara lain sebagai produsen kopi. Wisatawan yang berkunjung ke Desa Munduk tetap dapat menikmati keindahan Danau Tamblingan, hijaunya Hutan Mertajati, ditambah kegiatan warga desa menjalani keseharian sebagai petani serta merawat adat dan budaya.
Pasar Papringan di Desa Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah.
Pasar Papringan di Dusun Ngadiprono, Desa Ngadimulyo, Temanggung, punya kisah sedikit berbeda. Pasar ini didirikan di tengah rimbunnya kebun bambu dan hanya buka pada hari Minggu Wage dan Minggu Pon. Papringan menjual berbagai makanan dan minuman tradisional, juga barang kerajinan dan hasil tani warga lokal. Hal unik lainnya, kegiatan jual beli di sini menggunakan mata uang pring (potongan bambu), tidak menggunakan wadah makanan dan minuman yang tidak dapat diurai sehingga mencegah munculnya masalah sampah.
Menurut Singgih Susilo Kartono, pencetus Pasar Papringan, lokasi pasar itu sebelumnya adalah area terbengkalai, tempat warga membuang sampah. Berdirinya Pasar Papringan tidak hanya meningkatkan penghidupan ekonomi warga desa, tetapi juga mengubah area yang sebelumnya terkesan kumuh menjadi tempat yang asri. Pasar Papringan adalah contoh kegiatan yang mampu memadukan tujuan ekonomi dan ekologi.
Upaya memadukan tujuan ekonomi dan ekologi dijawab dengan menggelar kebutuhan ekologis terlebih dahulu.
Ada dua hal yang dapat dicatat dari kisah pengembangan wisata di Desa Munduk dan Pasar Papringan di Desa Ngadimulyo. Pertama, upaya memadukan tujuan ekonomi dan ekologi dijawab dengan menggelar kebutuhan ekologis terlebih dahulu. Pengetahuan tentang sistem alam yang menjamin kelestarian secara berkelanjutan dipahami secara menyeluruh, baru kemudian kegiatan ekonomi dijalankan selaras dengan sistem alam. Tidak ada pengorbanan lingkungan dalam pengembangan wisata di Munduk dan Pasar Papringan.
Kedua, kegigihan untuk mempertahankan apa yang diyakini. Dalam kasus Desa Munduk, mereka memilih pertanian berkelanjutan sebagai kegiatan utama, sedangkan wisata adalah bonus. Ardana bercerita, ada sejumlah tawaran investasi dari luar desa untuk membangun berbagai amenitas wisata, tetapi sejauh ini mereka mampu merawat keteguhan atas pilihan untuk tetap memelihara alam dan lingkungan dengan tumpuan utama penghidupan dari pertanian.
Pengembangan wisata di desa diharapkan tidak hanya meningkatkan perekonomian warganya, tetapi juga menjaga kelestarian lingkungan. Desa Munduk dan Pasar Papringan di Desa Ngadimulyo adalah contoh pengembangan wisata yang berhasil memadukan dua tujuan itu. Ini dilakukan dengan titik berat pada tercapainya kelestarian alam, baru kemudian melakukan kegiatan ekonomi yang selaras dengan sistem alam. Cara yang dilakukan oleh kedua desa tersebut dapat menjadi contoh pengembangan desa wisata yang berkelanjutan.