Kepuasan Publik dan Gagasan Capres
Temuan survei Litbang Kompas makin meyakinkan bahwa publik pemilih makin rasional dalam menentukan pilihan. Temuan ini seharusnya mendorong para capres mulai adu gagasan, terutama pada dua komponen kepuasan yang rendah.
Survei Litbang Kompas mengonfirmasi bahwa publik akan lebih memilih calon presiden yang berkomitmen melanjutkan program pemerintahan sebelumnya ketimbang semata-mata mendapatkan dukungan atau direkomendasikan Presiden Joko Widodo (Kompas, 23/8/2023).
Temuan ini menegasikan pandangan kemiripan artifisial yang banyak diperbincangkan di berbagai media sekaligus memperkuat pandangan bahwa adu gagasan antarcapres justru lebih bermakna bagi publik dalam menentukan pilihan. Temuan ini juga semakin meyakinkan bahwa publik pemilih semakin rasional dalam menentukan pilihan.
Dalam perspektif teori, cara pandang ini dikenal sebagai teori ekspektasi utilitas (expected utility theory) yang banyak digunakan dalam analisis ekonomi. Teori ini menjelaskan bagaimana individu membuat keputusan pilihan rasional dalam situasi ketidakpastian dan masih mengandung risiko.
Teori ini mengandaikan pemilih membuat keputusan dengan kesadaran penuh pertimbangan atas pilihan yang tersedia karena mempunyai informasi yang lengkap terkait pilihan yang tersedia dan waktu yang cukup sehingga ia bisa menggunakan kapabilitas kognitifnya untuk menentukan pilihan terbaik.
Dengan cara berpikir demikian, kepuasan publik terhadap pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin yang mencapai 74,3 persen akan meningkatkan probabilitas keterpilihan besar pada capres hanya jika Jokowi ikut dalam kontestasi pilpres karena kepuasan itu kepuasan atas apa yang telah dikerjakan Jokowi.
Temuan ini juga semakin meyakinkan bahwa publik pemilih semakin rasional dalam menentukan pilihan.
Pada pilpres mendatang, Jokowi tidak ikut berkontestasi. Sementara juga tidak ada jaminan presiden setelah Jokowi akan melakukan dan menghasilkan outcome yang sama dengan Jokowi, bahkan andaikan Jokowi memberikan rekomendasi kepada capres tertentu sekalipun.
Artinya, risiko salah memutuskan pilihan capres masih terbuka karena informasi yang tidak lengkap tentang capres dan apa yang akan dilakukannya serta keterbatasan pengalaman pemilih.
Unsur ketidakpastian tetaplah tinggi. Pemilih, dengan kemampuan kognitifnya, tak dapat melakukan evaluasi dan penilaian atas capres dengan komprehensif sehingga pilihannya tak optimal. Pemilih bisa terperangkap pada prediksi pilihannya. Situasi dan problem seperti ini oleh Herbet Simon (Administrative Behavior, 1947) disebut pilihan rasional yang terbatasi (bounded rationality).
Untuk meminimumkan risiko itu, peraih Nobel Ekonomi Politik tahun 2009 Elinor Ostrom (Institutional Rational Choice, 2009) mengharuskan dilakukan pencarian informasi dan mengalirkan informasi itu kepada para pemilih sebagai aturan main wajib guna meningkatkan kapabilitas kognitif pemilih.
Informasi tentang rekam jejak dan kinerja capres, kerja-kerja Jokowi apa yang akan diberlanjutkan, apa yang masih kurang dan perlu diperbaiki, apa yang belum dilakukan dan perlu ditambahkan, sekaligus menunjukkan keberbedaan dengan kerja Jokowi. Dan, tentu saja, bagaimana mencapai itu semua biarlah menjadi diskusi di arena publik dan menjadi fokus perbincangan.
Arena publik itu dapat di rumah-rumah, di poskamling, arisan, di warung kopi, di perguruan tinggi, bahkan di tingkat internasional. Waktu perbincangan itu masih cukup walau sangat terbatas karena tinggal enam bulan lagi.
Isu ekonomi
Dari empat komponen pembentuk kepuasan, 61,5 persen puas terhadap kinerja perekonomian dan 61,9 persen puas terhadap kinerja penegakan hukum. Terhadap kinerja politik dan keamanan puas 79,3 persen serta kesejahteraan sosial puas 76,4 persen (Kompas, 21/8/2023).
Temuan Kompas ini seharusnya menjadi acuan para capres untuk mulai adu gagasan, khususnya pada dua komponen kepuasan yang nilainya rendah walau nilai komponen ini meningkat dibandingkan dengan survei sebelumnya.
Meningkatnya kepuasan kinerja ekonomi ini terkonfirmasi pula oleh meningkatnya Indeks Kepercayaan Bisnis (IKB) menjadi 16,62 pada kuartal II-2023 dibanding kuartal sebelumnya 11,05. Indeks Daya Beli Industri (MPMI) menjadi 53,3 pada kuartal II dibanding 52,5 kuartal sebelumnya (Tradingeconomics.com, 23/8/2023).
Survei Kompas melaporkan meningkatnya kepuasan atas kinerja ekonomi karena apresiasi tinggi terhadap upaya pemerataan antarwilayah dan keberpihakan kepada petani dan nelayan. Isu-isu ini isu fundamental yang layak diperbincangkan dan gagasan capres mengatasi hal ini perlu diketahui publik.
Terkait pemerataan, BPS melaporkan, Indeks Gini semester I-2023 adalah 0,409, sedikit menurun dibanding tahun 2014, awal pemerintahan Jokowi, 0,433. Peta Indeks Gini antarprovinsi menunjukkan kecenderungan lebih tinggi di provinsi-provinsi di Indonesia timur.
Pola sama terjadi pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM Indonesia tahun 2022 adalah 72,91 dan rata-rata IPM provinsi di Indonesia tengah dan timur cenderung lebih rendah dari rata-rata IPM Indonesia. Gambaran ketimpangan antara Indonesia barat dan timur ini sangat nyata dan serius.
Gambaran ketimpangan antara Indonesia barat dan timur ini sangat nyata dan serius.
Isu keberpihakan kepada petani dan nelayan tak dapat dipisahkan dari isu pangan. Salah satu isu utama petani dan nelayan adalah jaminan dan kelayakan harga komoditas panenan dan tangkapan. Sampai saat ini belum ada kebijakan yang betul-betul berpihak kepada petani dan nelayan untuk menjamin harga komoditas yang menyejahterakan petani dan nelayan. Tak ada sistem logistik pangan yang betul-betul menyentuh hal ini.
Bukan hanya sistem logistik nasional, melainkan juga sistem logistik pangan daerah yang berbasis sumber pangan lokal. Organisasi Pangan Dunia (FAO, 2019) melaporkan sumber konsumsi protein hewani Indonesia terbesar adalah ikan, 44 kg per tahun. Bagaimana sumber perikanan ini dikembangkan.
Selain tidak berpihak kepada petani, politik pangan kita juga masih bertumpu hanya pada beras, sementara sumber karbohidrat tersebar luas di Indonesia.
Undang-Undang Cipta Kerja justru menempatkan impor pangan sebagai salah satu sumber pangan nasional dan menganulir Undang-Undang Pangan Nomor 18 Tahun 2012. Gagasan Presiden Jokowi membangun food estate tentu sangat perlu dilanjutkan untuk menjawab isu pangan tersebut, tetapi juga harus jelas arah dan strateginya.
Publik perlu tahu gagasan capres tentang berbagai isu strategis bidang ekonomi ini dan bagaimana mencapainya.
Selain tidak berpihak kepada petani, politik pangan kita juga masih bertumpu hanya pada beras, sementara sumber karbohidrat tersebar luas di Indonesia.
Paradoks dilema tahanan
Ada paradoks yang perlu dikaji dan dapat jawaban dari para capres terkait isu penegakan hukum dan kualitas kelembagaan. Meski secara umum komponen penegakan hukum meningkat dibanding survei sebelumnya, hanya 44,5 persen publik yang puas dengan penanganan suap (Kompas, 22/8/2023). Ini bukan anomali, melainkan paradoks.
Pada saat IKB dan MPMI meningkat, Indeks Persepsi Korupsi (CPI) justru menurun. Posisi Indonesia turun dari urutan ke- 34 tahun 2021 menjadi ke-38 pada 2022 dan skornya memburuk dari 96 menjadi 110 (Transparency International, 2022). Hasil riset kami (Rosa Maria dan FX Sugiyanto, 2023) mengonfirmasi paradoks tersebut.
Di negara-negara ASEAN, kecuali Singapura, pengendalian korupsi tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan PDB per kapita. Maknanya, meningkatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia masih dibarengi pengendalian korupsi yang lemah.
Riset Chiung-Ju Huang dan Yuan-Hong Ho (2017) juga menemukan hal yang tak jauh beda. Kecuali di Indonesia dan Thailand, terdapat hubungan kausal signifikan antara aturan hukum dan pertumbuhan ekonomi. Jika dipertegas, aturan hukum belum menjadi kekuatan yang signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Apabila kondisi paradoks ini dimaknai penyuapan sebagai cara yang lebih ”efisien” untuk berbisnis di Indonesia, tentu ini akan menjadi sumber kesulitan untuk memberantas korupsi. Pengendalian korupsi merupakan salah satu indikator kualitas kelembagaan dan birokrasi. Studi Kraipornsak (2018) atas negara-negara Asia membuktikan tata kelola pemerintahan yang baik berpengaruh signifikan meningkatkan pendapatan per kapita di negara berkembang.
Jika dipertegas, aturan hukum belum menjadi kekuatan yang signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Gagasan para capres dalam menjawab paradoks ini perlu diketahui dan diuji publik. Bagaimana menangani pemberantasan korupsi dan peningkatan kualitas kelembagaan ini. Saat ini, publik justru khawatir gagasan ini tak akan muncul. Jangan-jangan para capres berpikir berisiko turun elektabilitasnya jika terlalu maju menggagas pemberantasan korupsi dan lebih baik menahan diri.
Kekhawatiran publik seolah dapat pembenaran dengan adanya perintah Jaksa Agung untuk menunda pemeriksaan laporan kasus korupsi para calon peserta pemilu. Ini akan menghadapkan pemilih pada situasi ”dilema tahanan” (prisoner dilemma). Publik tak akan bisa membuat keputusan pilihan yang optimal karena para capres menunda atau sengaja tak mengungkap gagasannya.
Cukup sudah pembentukan persepsi kedekatan capres dengan Jokowi yang cenderung artifisial dan merendahkan kapabilitas kognitif publik. Enam bulan sebelum pilpres tentu waktu yang pendek, tetapi masih cukup bagi pemilih untuk memahami gagasan dan cara capres mewujudkannya sebelum memutuskan pilihan. Ada banyak gagasan lain yang perlu disampaikan ke publik, baik program Jokowi yang akan dilanjutkan maupun target Nawacita yang belum tercapai dan perlu perubahan.
Segera memberi kesempatan publik untuk mengevaluasi dan menilai rekam jejak, gagasan, dan cara mewujudkan gagasan melalui interaksi di arena publik adalah cara yang paling fair sebelum publik menentukan pilihan. Sebaliknya, menunda-nunda akan menempatkan publik pada kondisi ”dilema tahanan”.
Baca juga : Kepuasan Kinerja Bidang Polkam Tertinggi, Mahfud: Ini Dampak Konsistensi Jaga Pemilu
Baca juga : Mitos Kepuasan Publik
FX SugiyantoGuru Besar FEB Universitas Diponegoro, Ketua Laboratorium Studi Ekonomi Pancasila