Kalimat pada judul surat pembaca ini selalu menyeruak menjelang pemilu, baik pemilu presiden maupun pemilu anggota legislatif.
Politik selalu dikonotasikan kotor lantaran kerap kali disalahgunakan hanya sebagai instrumen meraih kekuasaan. Label atau stigma politik pun cenderung negatif.
Padahal, arti politik itu sendiri, menurut teori klasik Aristoteles, adalah ’usaha atau upaya yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama’. Jadi sangat jelas, makna politik sejatinya adalah cara dan usaha untuk meraih atau memperoleh kebaikan, bukan sebaliknya.
Sayang dalam praktiknya, politik diartikulasikan sebatas sebagai cara dan upaya untuk mencapai tujuan, yang muaranya adalah kekuasaan.
Untuk bisa menang, politik menghalalkan cara pun dijalankan. Politik yang didasari motif seperti ini yang sangat berbahaya karena sering kali mencederai norma-norma agama dan keadaban, yang jauh dari nilai-nilai kebaikan.
Persaingan bakal calon presiden atau bakal calon wakil presiden yang semakin sengit menjelang Pemilu 2024 jadi ajang adu kuat, adu pengaruh, agar bisa mendapat simpati rakyat untuk meraup elektabilitas setinggi-tingginya.
Strategi perang pun disiapkan oleh setiap kubu bakal capres, baik untuk kepentingan pertempuran darat maupun udara. Strategi pertempuran darat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui kampanye negatif (black campaign). Sementara pertempuran udara banyak dilakukan melalui media sosial, dengan beragam konten yang lebih banyak diwarnai hoaks, pencemaran nama baik, atau bahkan fitnah.
Etika politik pun sepertinya sudah mulai ditinggalkan. Keadaban politik yang sering tidak terjaga dengan baik ini dampak negatifnya sampai ke akar rumput, rakyat kecil.
Para pendukung militan, loyalis-loyalis di level middle, sering jadi penentu kondisi di masyarakat. Keterbelahan masyarakat karena beda pilihan lebih banyak dipicu oleh peran dan sepak terjang mereka yang berada di level tengah ini.
Inilah persoalan yang selalu muncul pada setiap kali pilpres. Politik yang berkeadaban hanya sebatas harapan. Rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, gontok-gontokan di antara sesama mereka sendiri, mati-matian hanya untuk membela capresnya.
BUDI SARTONO SOETIARDJO
Graha Bukit Raya,
Bandung Barat