Makna Lawatan Presiden Jokowi ke Afrika
Hubungan negara-negara dengan Afrika bukan sekadar kerja sama bilateral, melainkan juga mengandung muatan geopolitik. Oleh karena itu, Indonesia harus pandai-pandai ”mendayung di antara banyak karang” di Afrika.
Presiden Joko Widodo baru saja melakukan lawatan ke empat negara Afrika, yaitu Kenya, Tanzania, Mozambik, dan Afrika Selatan.
Kunjungan ini memiliki signifikansi historis, politis, dan ekonomis. Ke depan, hubungan Indonesia-Afrika tersebut perlu terus diperkuat dengan kerja sama konkret yang berpedoman pada tiga prinsip: kesetaraan, kolaborasi, dan inklusivitas.
Benua masa depan
”Afrika adalah masa depan.” Ungkapan ini kerap digaungkan di banyak forum internasional. Ini tak lepas dari potensi Afrika yang sangat besar.
PBB memproyeksikan populasi Afrika akan naik dua kali lipat menjadi 2,4 miliar jiwa pada 2050 dan 4,2 miliar jiwa pada 2100. Saat ini populasi Afrika 17 persen dari total populasi dunia dan pada 2100 akan menjadi lebih dari 30 persen. Artinya, pertumbuhan populasi Afrika jauh di atas rata-rata dunia.
Saat negara-negara maju menghadapi masalah kronis populasi menua (ageing population), Afrika justru diberkahi bonus demografi. Tiga perempat populasi Afrika berusia di bawah 35 tahun. Pada 2030, sebanyak 42 persen orang muda dunia diprediksi tinggal di Afrika. Besarnya angkatan muda berkontribusi positif bagi produktivitas ekonomi suatu negara.
Benua ini juga sangat kaya sumber daya alam, termasuk mineral kritis untuk bahan produksi baterai yang jadi tumpuan ekonomi masa depan.
Pertumbuhan ekonomi Afrika di atas rata-rata dunia, tahun 2023 diproyeksikan 4 persen, sementara pertumbuhan ekonomi dunia 2,7 persen. Pemberlakuan Kawasan Perdagangan Bebas Benua Afrika (African Continental Free Trade Area/AfCFTA) pada 2021 akan menjadi katalis percepatan pertumbuhan ekonomi Afrika.
Dengan potensinya yang besar, Afrika berpeluang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi global di masa depan. Maka, tak heran jika banyak negara memberikan perhatian besar kepada benua ini.
Dengan potensinya yang besar, Afrika berpeluang menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi global di masa depan. Maka, tak heran jika banyak negara memberikan perhatian besar kepada benua ini. Mereka tak ingin melewatkan kesempatan emas di depan mata.
Ikatan historis
Indonesia punya modal khusus yang tak dimiliki negara lain dalam bermitra dengan Afrika. Pada 68 tahun lalu, Indonesia menggagas dan menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 yang menghasilkan Spirit Bandung. Saat itu mayoritas negara Afrika belum merdeka. KAA turut menjadi katalis yang mempercepat kemerdekaan mereka.
Spirit Bandung juga mengilhami lahirnya Gerakan Non-Blok (GNB) yang tidak memihak salah satu kubu dalam Perang Dingin. GNB masih eksis hingga sekarang dan terus menjadi blok negosiasi berpengaruh di PBB yang konsisten memperjuangkan kepentingan negara berkembang.
Apresiasi terhadap Spirit Bandung masih berakar kuat di benak para pemimpin Afrika. Dalam banyak kesempatan pertemuan antara pemimpin dan pejabat Indonesia dan Afrika, mereka kerap menyebut Spirit Bandung dengan hormat dan simpatik. Ikatan historis yang kuat ini menjadi modal politis Indonesia untuk mempererat kemitraan dengan mereka.
Dalam keterangan persnya menjelang keberangkatan, Presiden Jokowi mengatakan bahwa Spirit Bandung inilah yang dia bawa dalam kunjungan ke Afrika dengan memperkokoh solidaritas dan kerja sama di antara negara-negara Global South. Dengan kata lain, kunjungan Presiden Jokowi adalah untuk mengonversi ikatan historis menjadi modal politis untuk memajukan kemitraan ekonomi Indonesia-Afrika.
Langkah menuju ke sana sebetulnya sudah dimulai cukup lama. Lima tahun lalu, Indonesia menggelar Forum Indonesia-Afrika disusul dengan Dialog Infrastruktur Indonesia-Afrika pada tahun berikutnya. Kedua pertemuan itu berperan mendorong lompatan kerja sama ekonomi Indonesia-Afrika. Kunjungan Presiden Jokowi kali ini mengamplifikasi apa yang sebelumnya sudah dimulai.
Waktu lawatan yang bersamaan dengan keketuaan Indonesia di ASEAN dan tak lama setelah presidensi G20 juga memiliki arti penting tersendiri. Indonesia dilihat bukan hanya sebagai suatu negara, melainkan juga pemimpin ASEAN dan Global South.
Keberhasilan Indonesia memimpin G20 masih segar di ingatan. Terlebih lawatan itu ditutup dengan kehadiran Presiden Jokowi pada KTT BRICS, di mana Indonesia sudah berulang kali ditawari menjadi anggota.
Konteks geopolitik
Potensi besar yang dimiliki Afrika seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, tingginya minat banyak negara untuk bermitra memberi kesempatan kepada Afrika untuk melakukan lompatan pembangunan.
Namun, di sisi lain, kawasan ini juga berpotensi menjadi medan kontestasi negara-negara besar. Perebutan pengaruh di Afrika sangat mungkin akan mewarnai geopolitik masa depan jika bukan sudah dimulai saat ini.
Dus, hubungan negara-negara dengan Afrika bukan sekadar kerja sama bilateral, melainkan juga mengandung muatan geopolitik. Kemitraan Indonesia-Afrika tidak akan terlepas dari konteks besar ini. Oleh karena itu, Indonesia harus pandai-pandai ”mendayung di antara banyak karang” di Afrika (meminjam istilah yang kerap diasosiasikan dengan Bung Hatta mengenai politik luar negeri bebas aktif).
Meski situasi ini menjadi tantangan, tetapi juga menghadirkan kesempatan. Jika bisa memanfaatkannya dengan baik, Indonesia tidak hanya akan memperoleh keuntungan ekonomi, tetapi juga semakin diperhitungkan sebagai pemimpin berpengaruh Global South.
Perebutan pengaruh di Afrika sangat mungkin akan mewarnai geopolitik masa depan jika bukan sudah dimulai saat ini.
Tiga prinsip
Untuk itu, dalam bermitra dengan Afrika, Indonesia harus berpedoman pada beberapa prinsip. Konsistensi pada prinsip ini akan membedakannya dengan negara-negara lain sekaligus menjadikannya teladan untuk kemitraan yang baik dengan Afrika.
Pertama, kesetaraan. Sebagai sesama negara pascakolonial, Indonesia paham betul pentingnya hubungan yang setara. Inferioritas tidak hanya menyakitkan, tetapi juga membuat hubungan tidak langgeng karena memicu eksploitasi yang berujung pada resistensi.
Kesetaraan adalah kunci untuk hubungan yang produktif dan berkelanjutan.
Kedua, kolaborasi. Kedua pihak harus terlibat aktif merancang dan menjalankan kerja sama yang saling menguntungkan. Harus dihindari situasi di mana satu pihak mendikte pihak lain untuk kepentingan pribadi dengan mengabaikan kepentingan pihak lain tersebut. Kedua pihak harus sama-sama merasa memiliki dan merasakan manfaat dari hubungan.
Ketiga, inklusivitas. Semua pihak harus diberi kesempatan terlibat dalam kerja sama produktif dengan Afrika. Kawasan ini tidak boleh dimonopoli oleh negara tertentu. Sudah lewat masanya ketika segelintir negara menjadikan suatu negara/kawasan sebagai ”kavling” seperti di era kolonialisme. Kita tidak boleh kembali ke zaman itu.
Baca juga: Ritel Global Bakal Bergeser ke Afrika, RI Gandeng Empat Swalayan
Tiga prinsip di atas harus dipegang teguh oleh Indonesia dalam bermitra dengan Afrika. Bukan itu saja, Indonesia juga harus mempromosikan prinsip-prinsip itu agar menjadi arus utama dalam kerja sama semua negara dengan Afrika.
Jika hal itu dilakukan, Indonesia akan berkontribusi dalam membangun Afrika yang damai, stabil, dan makmur. Ini adalah tugas sejarah yang diemban Indonesia sebagai pencetus Spirit Bandung.
Shohib Masykur,Diplomat Indonesia