Kita masih gagap membedakan antara kebebasan berekspresi dan persekusi. Ruang publik kita penuh dan ramai dengan ujaran kebencian, agitasi, dan narasi-narasi yang tendensius mengarah pada perpecahan.
Oleh
TOBA SASTRAWAN MANIK
·4 menit baca
Harus diakui bahwa ada masalah dengan demokrasi kita. Reformasi 1998 dengan amendemen konstitusi serta dengan membuka keran praksis demokrasi yang masif membawa Indonesia dalam tantangan baru. Adopsi demokrasi ternyata bukan solusi. Demokrasi tidak semanjur yang dibayangkan, tidak seindah yang diceritakan. Demokrasi nyatanya sangat mahal baik secara finansial maupun sosial.
Hal ini sebenarnya sudah dijawab oleh Francis Fukuyama dalam bukunya The Great Disruption (1999). Menurut dia, demokrasi khususnya demokrasi liberal agar bisa berhasil membutuhkan dukungan budaya yang dimiliki bersama.
Hal ini kemudian, menurut Fukuyama, menjadi letak perbedaan keberhasilan antara demokrasi Amerika Latin dan demokrasi Benua Eropa. Sama-sama menggunakan demokrasi, tetapi ditopang budaya yang berbeda, hasilnya berbeda.
Hal senada ditegaskan oleh Putnam (1995), bahwa modal sosial (social capital) penting dalam keberhasilan demokrasi, khususnya di Amerika. Kemunduran modal sosial berdampak pada kemunduran demokrasi. Demikian juga sebaliknya.
Hal ini mengafirmasikan bahwa demokrasi seharusnya dibangun dalam tatanan dan tatakan budaya yang ada di masyarakat. Artinya, demokrasi yang merupakan produk Barat tidak bisa diduplikasi sepenuhnya. Lebih dari itu, harus difilterisasi, adaptasi, dan demostikasi sesuai dengan nilai, budaya, dan ideologi suatu negara. Sebab, tanpa hal tersebut, demokrasi juga berpotensi merusak dan gagal untuk diterapkan di masyarakat.
Para pendiri negara sebenarnya sangat menyadari hal tersebut. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi sila keempat Pancasila: ”Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Hikmat kebijaksanaan merupakan penekanan bahwa demokrasi kita tidak sebatas demokrasi perwakilan atau demokrasi elektoral. Hikmat/bijak mengafirmasikan bahwa demokrasi seharusnya dipandu oleh rasa dan moral bangsa yang hidup dalam budaya Indonesia.
Lebih dari itu, demokrasi dalam budaya Indonesia adalah demokrasi konsensus, deliberatif yang sudah lama hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan desa. Hal ini tentu berbeda dengan nilai dan praktik demokrasi hari ini yang sangat prosedural, elektoral, dan transaksional, bahkan sangat liberal.
Hal ini mengakibatkan demokrasi kita salah tafsir dan salah arah. Demokrasi dimaknai dari segi prosedural semata, seperti pemilu langsung, partai politik tanpa nilai demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat yang kebablasan. Sementara demokrasi secara kultural yang merupakan corak/karakter kebangsaan kita, seperti kesopanan, keadaban, dan penuh moral, nyaris terabaikan dalam ruang publik. Akhirnya, demokrasi kita begitu riuh seperti tumpahan air bah.
Pemilu langsung dari tataran desa hingga pusat sehingga pemilu sangat mahal, menguras keuangan negara. Setali tiga uang, keran kebebasan dibuka sepenuhnya sehingga kita kesulitan membedakan kritik dengan penghinaan, kebebasan berekspresi dengan agitasi atau persekusi. Ruang publik kita sangat riuh dan gagap seperti tanpa arah dan panduan.
Demokrasi dimaknai dari segi prosedural semata, seperti pemilu langsung, partai politik tanpa nilai demokrasi, kebebasan berekspresi dan berpendapat yang kebablasan.
Ruang publik tanpa budaya
Apa yang terjadi dalam ruang publik kita? Indonesia yang mengklaim sebagai negara berbudaya berbeda dengan Laporan Digital Civility Index (2021) yang memaparkan bahwa netizen Indonesia mempunyai tingkat kesopanan terendah (Kompas.com, 26/2/2021). Sampai hari ini tidak ada kesepakatan moral untuk memutuskan menghina presiden itu boleh atau tidak karena yang digunakan bukan moral sebagai panduan, melainkan semangat kebebasan.
Kita masih gagap membedakan antara kebebasan berekspresi dan persekusi. Ditambah intoleransi dan diskriminasi yang masif dan jamak. Demikian juga tafsir hak asasi manusia (HAM) yang sepenuhnya menggunakan definisi luar.
Ruang publik penuh dan ramai dengan ujaran kebencian, agitasi, dan narasi-narasi yang tendensius mengarah pada perpecahan. Demikian juga, elite politik dan intelektual belum sepenuhnya memberikan keteladanan demokrasi secara kultural. Bagaimana mungkin kata ”bajingan tolol” dinarasikan dengan begitu pantas oleh yang dianggap intelektual dan akademis?
Secara demokrasi, hal itu lumrah, tetapi dalam konteks kebudayaan dan keindonesiaan tentu kurang tepat untuk dinarasikan dan dipublikasikan. Akhirnya, kita belum menemukan keteladanan politis dan etis tentang demokrasi yang berdampingan dengan budaya dan modal sosial yang hidup di belantara Nusantara.
Apa penyebabnya? Seperti diutarakan Fukuyama dan Robert Putnam, demokrasi kita belum disandingkan dengan budaya atau modal sosial bangsa Indonesia, bahkan sebaliknya diporakporandakan. Demokrasi dirayakan dengan penuh kebebasan, akhirnya kebablasan. Buktinya, Indonesia merupakan negara dengan demokrasi sangat liberal, bahkan mengalahkan demokrasi Amerika, dalam hal pemilu misalnya. Akhirnya, kita semakin sulit untuk membedakan, bahkan mungkin tidak mampu membedakan, antara demokrasi Pancasila dan demokrasi liberal. Mungkin sudah dipersamakan begitu saja.
Penutup
Perjalanan dan dinamika demokrasi yang dirasakan dalam ruang publik saat ini seyogianya menyadarkan kita bahwa ada yang salah dengan praksis dan regulasi demokrasi kita. Demokrasi yang kita agungkan adalah demokrasi hasil adopsi dan duplikasi dari bangsa lain. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendomestikasi dan mengontetikasi demokrasi sebagai nilai dan budaya bangsa Indonesia, Pancasila.
Panduannya jelas seperti sila keempat Pancasila. Hikmat kebijaksanaan perlu diketengahkan dalam pengelolaan demokrasi kita. Hikmat kebijaksanaan seyogianya menjadi panduan sekaligus roh demokrasi kita. Hikmat/bijaksana (wisdom) dalam demokrasi hanya bisa hidup dan dilembagakan dalam keadaban-keadaban yang didasarkan nilai dan konsensus moral yang hidup, diyakini, dan diterima masyarakat. Afirmasinya, modal-modal sosial yang hidup di masyarakat harus bersanding dengan konstruksi dan manifestasi demokrasi.
Diperlukan suatu upaya yang utuh dan komprehensif agar demokrasi kita berjalan dan seiring dengan keindonesiaan dan kebangsaan kita. Bahkan, demokrasi seharusnya menjadi jembatan perekat dan ruang penguat kebangsaan dan keindonesiaan. Bukan justru sebaliknya, atas nama demokrasi, kita pertaruhkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai narasi kebencian, agitasi, polarisasi, persekusi, dan insuinasi.
Oleh karena itu, sudah waktunya dan seharusnya segera kita untuk mengisi ruang publik dan mengembalikan format demokrasi dengan keindonesiaan. Demokrasi yang seiring dan saling mengisi dengan budaya dan kearifan-kearifan di masyarakat. Tabik!