Peran berbangsa adalah bahu-membahu untuk mewujudkan cita-cita bersama. Karena itu, sudah saatnya tradisi memberikan apresiasi yang berlebihan terhadap satu bidang dapat dipertimbangkan kembali.
Oleh
SAIFUR ROHMAN
·3 menit baca
Pada 5 Juli 2023, Menteri Pemuda dan Olahraga Dito Ariotedjo melantik 27 atlet berprestasi sebagai pegawai negeri sipil atau PNS di lingkungan Kementerian Pemuda dan Olahraga. Pelantikan itu, menurutnya, sebagai bukti komitmen pemerintah memberikan penghargaan atas jasa mereka ”mengharumkan nama Indonesia”. Sebanyak 27 atlet itu mencakup 2 atlet tenis, 3 wushu, 1 senam, 1 angkat besi, dan 20 bulu tangkis.
Selang satu hari, budayawan Emha Ainun Najib (70 tahun) mengalami pendarahan otak sehingga harus dilarikan ke RSUP Dr Sardjito, Yogyakarta. Menurut pihak keluarga, Cak Nun mengalami stroke ringan dan sempat tidak sadar. Waktu itu, Bupati Bantul dikabarkan berencana menjenguk, tetapi ditunda karena Cak Nun masih dalam perawatan intensif.
Dari dua contoh di atas, baik Menpora maupun Bupati Bantul sama-sama memiliki perhatian terhadap warga negara yang dinilai berjasa kepada negara. Bedanya, perhatian Menpora menjadi bagian dari kebijakan yang berkesinambungan, sedangkan Bupati Bantul hanya bersifat spontan. Pertanyaan yang muncul, tepatkah apresiasi tersebut kepada para atlet itu? Secara etis, bagaimana apresiasi pemerintah di bidang-bidang lain, seperti guru, sastrawan, seniman, atau budayawan?
Bonus bagi atlet yang memenangi pertandingan di luar negeri bukan hal baru. Bonus itu berbentuk uang, rumah, pendidikan, hingga lowongan kerja sebagai pegawai negeri. Pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil, misalnya, disinyalir telah sesuai dengan Peraturan Menpora Nomor 11 Tahun 2018 tentang Persyaratan Mekanisme Seleksi dan Pengangkatan Olahragawan Berprestasi Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.
Dalam hal pengembangan nilai, apresiasi tersebut menjadi motivasi bagi generasi muda untuk menjuarai ajang lomba internasional. Apresiasi akan membentuk karakter. Apabila dilihat secara historis, kebijakan itu merupakan tradisi pemerintah sebelumnya dalam mewujudkan penghargaan terhadap warga negara di bidang olahraga.
Karena berlangsung dari tahun ke tahun, kebijakan itu kemudian diterima sebagai kewajaran untuk mendukung kiprah para atlet yang telah bertanding di dalam berbagai kejuaraan di luar negeri. Kewajaran menjadi kebenaran. Karena itu, kebenaran yang sudah diterima ini kurang begitu baik dalam praktik kehidupan berbangsa karena empat hal mendasar.
Pertama, perhatian yang berlebih terhadap satu bidang sangat kontraproduktif untuk pengembangan kiprah di bidang lain. Hal itu karena bidang-bidang lain juga memerlukan apresiasi dari pemerintah, seperti prestasi guru di wilayah terpencil, sastrawan yang mendunia, seniman yang memiliki dedikasi tinggi, atau para budayawan.
Mestinya juga ada peraturan dari berbagai kementerian untuk pengangkat PNS dari jalur warga negara yang berprestasi.
Sebagai contoh logika yang kontraproduktif, jika ada Permenpora Nomor 11 Tahun 2018 tentang Pengangkatan Pegawai dari Atlet Berprestasi, mestinya juga ada peraturan dari berbagai kementerian untuk pengangkat PNS dari jalur warga negara yang berprestasi. Logika tersebut membawa wacana ketidakadilan dalam pengelolaan sumber daya manusia.
Kedua, ketimpangan tersebut tidak selaras dengan amanat UUD 1945 yang berbunyi, setiap warga negara memiliki kewajiban dalam bela negara. Membela nama negara di atas negara lain merupakan bagian dari perwujudan nilai-nilai kebangsaan yang harus dilakukan oleh setiap warga negara. Dengan kata lain, tuntutan tersebut merupakan perwujudan dari ”kontrak sosial” antara individu dan negara.
Ketiga, pola kebijakan yang timpang itu berimplikasi terhadap kenyataan sosial yang tidak kita harapkan. Sebagai contoh, para sastrawan yang berprestasi di usia muda tidak mendapatkan apresiasi yang memadai, sampai kemudian ketika sudah berusia lanjut mereka tidak mendapatkan jaminan kesejahteraan.
Contoh, Remy Sylado adalah seorang sastrawan yang cukup produktif dan berkualitas. Sebelum meninggal, Remy Sylado sempat mendapatkan bantuan pengobatan dari Gubernur DKI ketika itu. Contoh lain, penyair Sutardji Calzoum Bachri (82 tahun) yang kini sudah tidak produktif lagi. Penyair yang mendapatkan julukan sebagai ”mata kiri sastra Indonesia” itu tidak mendapatkan jaminan hari tua dari pemerintah yang memadai.
Masih banyak sastrawan lain yang tidak mendapatkan apresiasi secara semestinya dari pemerintah. Bantuan dari pejabat, penerbit, dan kenalan merupakan dukungan sosial yang bersifat spontan.
Keempat, tidaklah setiap warga negara yang mengharumkan nama bangsa itu dapat diangkat menjadi pegawai negeri sipil atau penghargaan lain yang tampak mewah dibanding yang lain. Beragam prestasi dan peran penting dari setiap warga negara juga memberikan kontribusi bagi bangsa ini. Itulah kenapa proyek-proyek mercusuar di bidang olahraga tidak selalu berdampak kepada keharuman nama bangsa.
Argumentasi tersebut mengerucut kepada perlunya pemahaman bahwa peran berbangsa adalah bahu-membahu untuk mewujudkan cita-cita bersama. Hal itu selaras dengan prinsip ekasila dari Pancasila, yakni gotong royong. Karena itu, sudah saatnya tradisi memberikan apresiasi yang berlebihan terhadap satu bidang itu dapat dipertimbangkan kembali. Membentuk karakter generasi muda tidaklah dengan uang.
Saifur Rohman, Pengajar Program Doktor Bidang Filsafat di Universitas Negeri Jakarta