Belakangan ini ramai dibicarakan di publik soal dugaan penghinaan kepada Presiden yang dilakukan seorang oknum akademisi.
Namun, karena Presiden kita sangat sabar, tak berujung ke proses hukum. Masalah pun selesai dengan permintaan maaf dari pelaku dan isunya segera menguap berganti isu lain yang menunggu untuk muncul ke permukaan.
Dalam hemat saya, kejadian ini terjadi karena kita memberikan panggung kepada orang semacam itu untuk bebas menghina orang lain. Bahkan, sebagian saluran televisi, koran, dan kanal media sosial memberi ruang leluasa untuk itu.
Padahal, mungkin saja karena ini tahun politik, ungkapan bernada menghina itu dalam rangka membela tokoh, partai politik, atau koalisi tertentu, untuk mendelegitimasi kerja-kerja baik pemerintah. Ada yang diuntungkan dengan pernyataan-pernyataan bernada menghina itu.
Sayangnya, sebagian publik, terutama yang dalam posisi politik berseberangan, juga menyukai narasi seperti itu. Tak sedikit kanal media sosial sekarang ini isinya hanya sumpah serapah, dalam rangka melampiaskan kebencian atau membela tokoh politik yang didukungnya. Budaya santun sebagai orang Timur hilang ketika sudah menghadapi pemilu.
Tak sedikit di antara orang-orang yang menghina, memanipulasi informasi, dan melempar wacana adalah orang- orang terdidik yang mengerti kalau itu melanggar aturan. Berlindung di balik kebebasan, demokrasi dan reformasi, mereka itu lolos dari jerat hukum.
Mereka terus mereproduksi narasi bernada penghinaan, bahkan tak jarang juga fitnah, dan menjadikannya sumber rezeki karena ia terus diundang ke diskusi atau seminar di mana-mana. Alangkah lebih baiknya jika kepandaian yang kita miliki kita gunakan untuk hal-hal yang baik.
Paulus Mujiran
Semarang