Caci maki layak diberi hak suara di ruang publik sebagai jeritan kaum yang terluka. Fungsinya mirip batuk, bersin, kentut, muntah, atau pecahnya bisul bernanah.
Oleh
Ariel Heryanto
·4 menit baca
Sejarah manusia adalah sejarah ketimpangan. Ketimpangan membuka peluang terjadinya diskriminasi, pelecehan, penindasan, atau eksploitasi. Yang diuntungkan oleh ketimpangan bisa menikmati hak-hak istimewa di atas orang lain. Berbagai dalih dipakai untuk membenarkan diskriminasi: garis keturunan, usia, jender, harta, jabatan, atau status sebagai kelompok mayoritas.
Kesenjangan sehari-hari hadir di antara hubungan orangtua dan anak, majikan dan pegawai, atasan dan bawahan, guru dan siswa. Jauh lebih mudah bagi orang kota merendahkan penduduk desa, ketimbang sebaliknya. Sulit bagi bangsa berkulit putih menghindari perasaan unggul ketika berkunjung ke negeri-negeri bekas jajahan di Asia atau Afrika. Yang kaya-raya lebih tergoda meremehkan yang lebih miskin, ketimbang sebaliknya.
Ketimpangan bisa menumbuhkan rasa takut atau rendah diri di kalangan korban. Kadang-kadang perasaan itu disertai kecemburuan atau angan-angan ikut menjadi bagian dari kelompok yang merendahkan mereka. Ketimpangan sering menumbuhkan amarah, dendam, dan kebencian.
Mereka yang diuntungkan ketimpangan bisa mencaci dan menghina korban ketimpangan. Sementara para korban biasanya hanya mampu mencaci yang di atas, tanpa peluang setimpal untuk menghina mereka. Beda di antara menghina dan mencaci itu bisa dijelaskan lebih gamblang dengan beberapa contoh berikut ini.
Orang kaya yang hidup berkelimpahan di pusat kota dengan mudah bisa menghina penghuni kampung kumuh dengan ujaran ”kampungan kau”. Menghina menunjuk sebuah kenyataan faktual, tetapi dibesar-besarkan dalam bentuk generalisasi dan disertai prasangka buruk. Maka sulit bagi orang kampung membalas hinaan itu dengan ungkapan ”orang gedongan megah kau”.
Caci maki lain lagi. Caci maki mengandalkan gambaran yang jauh dari kenyataan faktual atau tidak peduli dengan fakta yang ada. Jika orang kaya raya yang sudah jelas-jelas tidak pernah hidup di kampung masih dibilang ”kampungan kau”, ucapan itu merupakan cacian. Bukan penghinaan. Faktanya tidak penting.
Ini contoh pengandaian lain. Ketika lalu lintas di jalan raya yang sedang macet dan orang berebut celah, ada penyerobot jalan sembarangan. Ia diteriaki ”anjing kau”. Ia bukan dihina. Ia dicaci maki. Cacian tidak mengubah fakta sosok yang dicaci dan tidak mengubah orang itu menjadi seperti anjing. Yang mencaci dan yang dicaci sama-sama tahu hal itu.
Caci maki sekasar apa pun terhadap orang kaya tidak mengurangi apalagi melenyapkan kekayaan mereka. Martabat, kehormatan, atau kekuasaan pejabat tinggi negara tidak berkurang hanya karena dicaci maki. Berbeda dari penghinaan, caci maki tidak mempersoalkan fakta yang dicaci. Ia hanya menjelaskan perasaan yang mencaci.
Kabarnya jumlah aduan ke polisi melonjak karena banyak orang merasa dihina, padahal mungkin mereka dicaci. Jadinya salah kaprah. Selama ini sering diperdebatkan beda antara kritik dan penghinaan. Yang lebih penting dijernihkan, tetapi kurang dipahami bersama adalah beda di antara menghina dan mencaci.
Di banyak negara bekas jajahan, rakyat dilarang menghina pejabat negara. Hukum semacam itu cacat nalar. Jika rakyat pemilik kedaulatan tertinggi dalam sebuah republik, yang seharusnya diancam hukum pidana adalah pejabat penghina rakyat.
Lebih mudah bagi pejabat tinggi untuk sembarangan menghina warga biasa ketimbang sebaliknya. Rakyat biasanya hanya mampu mencaci pejabat, bukan menghina. Untungnya hukum pidana tidak melarang rakyat mencaci pejabat. Yang dilarang itu menghina.
Mencaci mirip gosip atau protes jalanan. Semua itu ungkapan putus asa warga tanpa modal atau saluran lain untuk bersuara di forum resmi. Berbeda dari pejabat negara dan elite swasta. Mereka memiliki sarana propaganda, juru bicara, kantor humas, influencer sewaan, selain aparat represi dan preman swasta. Aneh, jika ada pejabat merasa perlu mengorganisasi demonstrasi antiwarga.
Menghina adalah kekerasan simbolik oleh yang kuat terhadap mereka yang rentan. Cukup dengan cibiran, olok-olok dan tawa sinis atau sindiran tajam pada hal-hal yang faktual tetapi dinilai negatif secara sepihak. Caci maki butuh tenaga lebih banyak. Sebagai ungkapan amarah, wajar jika caci maki bersuara keras, berisi kata-kata kasar dan sumpah serapah.
Betapa konyol menuntut orang marah agar berbahasa lemah lembut penuh kesantunan, dengan dalih kita ini ”bangsa Timur yang beradab”. Semua bangsa punya adab. Tidak ada bangsa beradab yang bebas dari ketimpangan, amarah, dan caci maki.
Caci maki dan sumpah serapah itu seperti sampah. Tidak layak diromantisasi. Tapi juga bukan untuk ditolak atau dikriminalisasi. Sampah bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehat. Masyarakat beradab bukan meniadakan tetapi mengelola sampah agar tidak telantar berserakan di sembarang tempat. Terlebih baik jika sampah dipilah dan sebagian yang tepat diolah menjadi aneka produk berguna.
Caci maki layak diberi hak suara di ruang publik sebagai jeritan kaum yang terluka. Fungsinya mirip batuk, bersin, kentut, muntah, atau pecahnya bisul bernanah. Melarang caci maki ibarat menyumbat keluarnya zat-zat busuk yang bisa beracun bila dibiarkan bertumpuk dalam tubuh.
Media sosial tidak menyebabkan hadirnya ujar kebencian. Ia hanya mempercepat dan memperluas sebaran pesan. Ujar kebencian bersumber dari luka sosial. Sementara luka sosial bersumber dari ketimpangan sosial yang sering diabaikan, disangkal atau dianggap normal, adil dan beradab.
Sensor pada ujar kebencian atau pada media sosial akan sia-sia selama ketimpangan berlanjut. Jika caci maki disumbat berlapis-lapis dengan aturan hukum pidana, akibatnya bisa jauh lebih buruk. Seperti magma mendidih di bawah gunung berapi. Sewaktu-waktu ia akan meledak dalam bentuk kekerasan massal yang brutal.
Tentang hal itu sejarah sudah banyak mengajarkan pada kita. Salah satu contohnya revolusi sosial berdarah-darah yang melahirkan kemerdekaan RI. Pemerintah kolonial gagal atau lamban memahami soal tersebut. Wajar jika bangsa Indonesia pasca-kemerdekaan berharap pemerintahnya tidak setolol penguasa kolonial Belanda.
Ariel Heryanto
Profesor Emeritus dari Universitas Monash, Australia