Mahakarya Anak Bangsa
Semesta mengajarkan bahwa peradaban itu senantiasa berevolusi ke jenjang lebih tinggi. Kekuatan manusia bukan pada entitas pribadi secara individual-atomistik, namun pada kolektivitas gotong royong untuk maju bersama.
Setiap tanggal 17 Agustus kita kenang dan rayakan mahakarya anak bangsa, berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang didahului dan dirintis melalui perjuangan panjang dan berdarah-darah, dari generasi ke generasi.
Sebuah negara yang dibangun di atas keberagaman etnik, bahasa, dan agama dengan penduduknya yang tersebar ke ribuan pulau. Sampai-sampai sejarawan asing Colin Brown dari Flinder University mengekspresikan kekagumannya dengan ungkapan: Indonesia is the unlikely nation.
Pemahaman dan kecintaan penulis kepada Indonesia mulai tumbuh sejak belajar di Pesantren Pabelan, Magelang.
Ustaz Balya, pengajar sejarah, mengajukan pertanyaan kepada kami yang baru setahun tamat sekolah dasar: ”Mengapa para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC datang jauh-jauh dari negara kecil ke wilayah Nusantara, yang ujungnya menaklukkan dan menjajah kita semua? Mengapa warga Nusantara yang jumlahnya lebih besar daripada penduduk Belanda dan alamnya yang kaya raya bisa dijajah Belanda ratusan tahun?”
Kami dibuat berpikir dengan pertanyaan itu. Seorang santri menjawab, ”Belanda datang ke wilayah Nusantara untuk mencari rempah-rempah.”
”Itu betul, tapi ada tujuan lain yang lebih besar,” kata Ustaz Balya. ”Belanda datang ke sini untuk menguasai seluruh kekayaan Indonesia setelah tahu alamnya sangat kaya. Karena kita bodoh dan mudah diadu domba, Belanda dengan mudah menjajah kita ratusan tahun meskipun jumlah penduduk Nusantara jauh lebih besar ketimbang seluruh warga Belanda,” lanjutnya.
Penjelasan Ustaz Balya itu masih terekam dalam benak penulis. Karena bodoh, kita disepelekan dan mudah diadu domba oleh bangsa lain yang lebih kuat dan maju.
Anugerah kemerdekaan ini sekaligus juga merupakan amanat yang mesti kita syukuri dan rawat bersama.
Virus nasionalisme ini semakin terpupuk ketika penulis aktif di organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) Cabang Muntilan. Dalam berbagai forum pelatihan kepemimpinan (leadership training) dipertegas bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan ”rahmat Tuhan dan hasil perjuangan umat Islam dalam berjihad melawan penjajah kafir”.
Anugerah kemerdekaan ini sekaligus juga merupakan amanat yang mesti kita syukuri dan rawat bersama. Dalam lingkungan PII, penulis merasakan semangat jihad kebangsaan dan paham keislaman yang agak eksklusif. Baru setelah penulis menjadi mahasiswa IAIN Jakarta dan aktif di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), paham keislaman dan keindonesiaan penulis berkembang menjadi lebih inklusif.
Bahwa Indonesia adalah rumah besar yang didirikan dan dihuni oleh beragam suku dan agama. Kita mesti menjaga dan merayakan keberagaman ini. Pemahaman ini tumbuh karena pengaruh dari bidang studi penulis, Ilmu Perbandingan Agama, dan pergaulan penulis yang lintas agama, lintas etnik, dan lintas perguruan tinggi.
Menjadi Indonesia
Jika direnungkan lebih dalam, komentar bahwa Indonesia is the unlikely nation sangatlah tepat. Sebuah keajaiban yang secara nalar seakan tidak mungkin terjadi. Coba bandingkan dengan berapa banyak negara di benua Afrika, Eropa, dan gurun Arabia yang jumlah penduduknya berkisar lima juta jiwa, sementara penduduk Indonesia mencapai 270 juta jiwa, tersebar ke sekian ratus pulau dengan ragam bahasa dan agama yang berbeda.
Pertanyaan yang selalu muncul, kekuatan apa yang menjaga keutuhan bangsa yang sedemikian plural dan berulang kali dihantam oleh konflik vertikal dan horizontal ini?
Cita-cita dan kesepakatan bersama untuk membangun Indonesia yang berdaulat, makmur, dan sejahtera merupakan pengikat utama mengapa bangsa dan negara tetap berdiri kokoh.
Proses metamorfosis dan konsolidasi ”menjadi” bangsa Indonesia terus berjalan dan berlangsung semakin intens.
Dalam konteks ini peran perguruan tinggi papan atas yang berada di Pulau Jawa menjadi pionir dan memberikan kontribusi sangat signifikan.
Putra-putri terbaik bangsa yang datang dari beragam suku, agama, dan wilayah di Indonesia berdatangan untuk studi lanjut di kampus-kampus seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Empat universitas ini berada di garis depan dalam menciptakan suasana keindonesiaan dalam pergaulan sosialnya.
Terjadi gerak sentripetal kader-kader bangsa yang berpusat di Pulau Jawa dengan kekayaan budaya dan institusi pendidikan yang lebih tinggi.
Secara intelektual dan kultural mereka tumbuh ”menjadi Indonesia” lewat pergaulan yang intens lintas etnik, lintas agama, dan lintas budaya. Bahkan banyak di antara mereka yang melanjutkan ke jenjang pernikahan lintas suku (cross cultural marriage) sehingga melahirkan generasi hibrida yang memperkokoh moto Bhinneka Tunggal Ika.
Selanjutnya generasi terdidik ini mendorong terciptanya gerak sentrifugal, berkarier dan mengabdi ke berbagai sektor ekonomi dan pendidikan yang ada di pelosok wilayah Indonesia.
Secara intelektual dan kultural mereka tumbuh ”menjadi Indonesia” lewat pergaulan yang intens lintas etnik, lintas agama, dan lintas budaya.
Dengan munculnya pusat-pusat pendidikan dan sentra ekonomi yang bagus di luar Jawa, semakin teguh semangat dan identitas keindonesiaan bagi generasi muda untuk menyongsong seabad Republik Indonesia. Di sisi lain, gerak sentripetal ini juga mendorong pemerataan pendidikan dan ekonomi.
Kompas perjalanan bangsa
Dengan lahirnya negara Republik Indonesia, aktor perjuangan dan pembangunan bangsa, yang semula dikendalikan oleh tokoh-tokoh masyarakat yang berlangsung secara sporadis, setelah merdeka kendali bangsa beralih ke tangan negara dengan legalitas dan kekuasaan yang sangat kuat.
Atas nama negara, seorang presiden dengan pemerintahan yang dibentuknya memikul mandat sangat besar dan mulia untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu terciptanya pendidikan dan kesejahteraan yang adil dan merata agar tidak lagi disepelekan dan dijajah oleh ”neo-VOC” seperti yang dituturkan Ustaz Balya.
Mengingat Republik Indonesia adalah anak kandung dari pergerakan masyarakat madani (civil society), jangan sampai gerak pendulum dari kekuasaan yang semula berada di tangan masyarakat tersebut lalu tersedot habis serta terkooptasi ke tangan negara.
Negara-bangsa yang maju senantiasa memberdayakan kekuatan pendidikan dan ekonomi masyarakatnya agar mandiri dan berperan sebagai penyangga negara. Hubungan negara dan rakyat bukan mengambil formula patron-client relationship seperti era kerajaan mengingat dalam sistem demokrasi pemilik kedaulatan adalah rakyat.
Dengan demikian, mesti tercipta hubungan yang dinamis dan produktif antara negara dan rakyatnya. Jika muncul keinginan untuk membangun kekuatan dinasti, sesungguhnya tidak lagi cocok bagi ekosistem politik di alam demokrasi bagi bangsa yang sedemikian plural ini.
Akhir-akhir ini eksistensi partai politik sebagai pilar demokrasi dan keindonesiaan menunjukkan fenomena baru yang menggembirakan.
Petugas yang membawa foto Bung Karno melintasi Jalan Panglima Sudirman untuk menuju Komplek Makam Bung Karno saat Grebeg Pancasila, Kota Blitar, Jawa Timur, Rabu (1/6/2022).
Dari aspek ideologi, gerak pendulumnya cenderung ke tengah. Semuanya berkomitmen mengedepankan Pancasila sebagai kompas perjalanan bangsa dan menolak penguatan ideologi primordialisme etnik maupun agama.
Ini tentu perkembangan yang menggembirakan dalam rangka memperkuat semangat dan identitas kebangsaan. Hanya saja sangat disayangkan budaya demokrasi dan meritokrasi kurang tumbuh sehat di rumah tangga partai politik.
Padahal, partai politik mestinya menjadi institusi pendidikan kader-kader pemimpin bangsa yang profesional dan berintegritas. Partai politik adalah lokomotif untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis, wibawa, akuntabel, dan produktif.
Kelemahan partai politik dalam penyemaian teknokrat yang andal terbantu oleh lembaga lain di luarnya, misalnya dari dunia BUMN dan kampus.
Kita pantas memberikan apresiasi terhadap lembaga BUMN yang menghasilkan teknokrat andal untuk ikut duduk dalam jajaran eksekutif. Begitu pun ilmuwan dan teknokrat kampus yang telah teruji perlu diberdayakan untuk memperkuat birokrasi pemerintahan.
Dengan demikian, partai politik hendaknya membuka diri dan proaktif menjaring putra-putri bangsa terbaik agar mereka memiliki kesempatan mengabdi di lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam kaitan ini ongkos untuk menapaki karier politik mesti dibuat murah, karena pada dasarnya partai politik bukan institusi bisnis untuk mengejar keuntungan materi.
Siapa pun nantinya yang akan terpilih menjadi presiden sesungguhnya Indonesia memiliki aset dan sumber daya manusia unggul untuk mengelola bangsa ini agar mimpi Indonesia Emas bisa segera terwujud.
Baca juga : Belajar Merdeka
Namun, semua pihak mesti berjiwa besar dan memiliki kesediaan untuk menekan ego dan kepentingan pribadi serta kelompok, lalu diarahkan pada ego dan kepentingan bangsa. Banyaknya politikus dan pejabat pemerintahan yang terlibat korupsi merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan dan perjalanan bangsa menuju Indonesia Emas.
Pengalaman, pembelajaran, dan pengorbanan menjalani tiga orde—Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi—mestinya sudah cukup sebagai modal untuk tinggal landas (take off) bersanding dan bersaing dengan negara-negara lain yang sudah maju untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan kesejahteraan warga dunia.
Pemimpin yang menginspirasi
Predikat pemimpin tidak hanya tertuju pada figur presiden atau kepala negara. Semua instansi dan institusi membutuhkan sosok pemimpin. Mirip profesi guru, pemimpin yang baik adalah yang bisa melahirkan banyak pemimpin baru yang lebih baik daripada dirinya.
Dulu, di era awal kemerdekaan, jumlah sarjana, ilmuwan, dan intelektual tidak sebanyak hari ini. Namun, kualitas intelektual dan integritas mereka disegani dunia. Belakangan ini wacana dan tontonan yang mengemuka di panggung nasional seputar kehidupan glamor para selebritas dan gosip politik bercampur skandal korupsi, padahal jumlah mereka itu hanyalah minoritas.
Kita merindukan tampilnya pemimpin di semua lini yang mampu menginspirasi dan mengorkestrasi anak-anak bangsa terbaik yang berada di ruang sunyi karena tidak tertarik hiruk-pikuk dan akrobat politik yang tengah berburu jabatan dan kekuasaan sesaat.
Ketika memasuki era Reformasi, diberlakukannya desentralisasi kekuasaan pada dasarnya sebagai antitesis sentralisasi kekuasaan semasa Orde Baru yang pendekatannya top-down dan kurang memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk berkreasi dan berinovasi.
Dengan munculnya multipartai dan pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, dibayangkan dan diharapkan akan muncul pemimpin yang otentik yang dekat dengan rakyat serta memahami problem daerahnya.
Namun, harapan itu meleset. Saat ini yang juga terdesentralisasi adalah praktik korupsi dan nepotisme. Jadi, berbagai kritik terhadap pemerintahan yang muncul saat ini tidak semata disebabkan oleh media sosial yang dipermainkan oleh para buzzer politik bayaran, tetapi memang terjadi berbagai penyimpangan yang telanjang terlihat oleh rakyat.
Oleh karena itu, diperlukan orde keempat atau reformasi jilid dua, apa pun nama dan istilahnya.
Jadi, berbagai kritik terhadap pemerintahan yang muncul saat ini tidak semata disebabkan oleh media sosial yang dipermainkan oleh para buzzer politik bayaran, tetapi memang terjadi berbagai penyimpangan yang telanjang terlihat oleh rakyat.
Membangun optimisme
Rai Dalio dalam bukunya, The Changing World Order (2021), menyajikan analisis menarik tentang hukum sejarah seputar pasang surut perjalanan sebuah bangsa. Pilar utama yang menjadi milestone atau historical game changer adalah pendidikan yang unggul yang pada urutannya melahirkan inovasi bidang sains dan teknologi yang membuka jalan ekonomi dan perdagangan serta kekuatan militer.
Pada zaman klasik dulu Yunani pernah jadi pusat kemajuan filsafat dan ilmu pengetahuan, tetapi tidak bisa menjaga kelangsungan pertumbuhannya memasuki dunia modern yang ditandai dengan capaian teknologi dan kekuatan militer.
Akhirnya Yunani tersisih tidak masuk radar percaturan sains modern dan perdagangan. Warisan Yunani dan kejayaan Islam masa lalu yang selalu dikenang adalah norma dan kebijakan hidup (wisdom of life), sementara inovasi sains mengalami kemandekan sehingga kekuatan ekonomi dan militernya jauh ketinggalan.
Indonesia memiliki aset sumber daya alam dan penduduk yang melimpah serta lembaga pendidikan yang terus berkembang. Yang diperlukan adalah kepemimpinan yang visioner dan birokrasi pemerintahan yang wibawa dan efektif yang mampu menata dan menyinergikan semua aset di atas secara berkelanjutan untuk mendorong proses kebangkitan menuju seabad kemerdekaan Republik Indonesia.
Semesta mengajarkan bahwa peradaban itu senantiasa berevolusi ke jenjang lebih tinggi, di mana kekuatan manusia terletak bukan pada entitas pribadi secara individual-atomistik, melainkan pada kolektivitas gotong royong untuk bergerak maju bersama.
Itulah sebabnya, sikap egoistis-individualistis dan korupsi itu merupakan dosa sosial dan dosa sejarah karena akan merusak harmoni kosmos yang berevolusi menuju tingkat yang lebih tinggi.
Mengingat dalam proses metamorfosis sebuah bangsa, tikungan licin dan krisis sejarah tak terhindarkan, dan merupakan blindspot, jangan sampai kita terjebak pada pusaran krisis sesaat sehingga kehilangan aset dan peta masa depan. Mari kita kawal perjalanan bangsa ini dengan optimisme disertai sikap realistis dan inovatif.
Komaruddin HidayatRektor Universitas Islam Internasional Indonesia