
Transformasi digital suatu bank idealnya juga mengubah model bisnis bank tersebut secara fundamental. Untuk itu, bank harus menggunakan paradigma baru, antara lain dengan merekonstruksi produk dan layanan dalam konteks digital. Sayangnya, bank umumnya terjebak pada perbaikan marjinal yang mengacu pada produk dan layanan konvensional yang sudah ada.
Pada tahun 2002, saat berniat mengirim roket ke Mars, Elon Musk menemukan fakta bahwa hargaroket sangatlah mahal, padahal harga bahan bakunya hanya sekitar 2 persen. Elon Musk akhirnya memutuskan untuk membeli bahan baku dan membuat roket sendiri dan lahirlah SpaceX. Roket pendorong yang ada di pasar hanya bisa dipakai sekali. Oleh karena itu, SpaceX juga merancang roket pendorong yang bisa dipakai berulang kali.
Pendekatan itu membuat biaya peluncuran per kilogram SpaceX hampir tujuh kali lebih murah daripada roket tradisional. Dalam kasus ini, Elon Musk menggunakan pendekatan the first principles thinking, yaitu mendekonstruksi masalah dengan mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada untuk merekonstruksi solusi yang efektif dan efisien.
The first principles thinking dapat membantu perbankan untuk merekonstruksi ulang produk dan layanannya dalam konteks digital. Alih-alih berpikir produk dan layanan perbankan di tataran tabungan, transfer dana, pinjaman atau kartu kredit, wealth management, dan asuransi, bank perlu berpikir di level tataran yang lebih mendasar, yaitu bagaimana bisa membantu nasabah untuk menyimpan (storing), memindahkan (moving), meminjam (borrowing), menumbuhkan (growing), dan melindungi (protecting) nilai aset keuangan.
Misalnya, bank bisa melihat tabungan sebagai aktivitas menyimpan nilai aset ataustoring value yang bisa dipecah menjadi beberapa komponen dasar, seperti tujuan penyimpanan, kapan menyimpan, komoditas yang disimpan, dan imbalannya. Saat ini, umumnya bank memiliki jenis produk tabungan standar, seperti tabungan reguler, premium, bisnis, dan pelajar.
Elon Musk menggunakan pendekatan the first principles thinking, yaitu mendekonstruksi masalah dengan mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada untuk merekonstruksi solusi yang efektif dan efisien
Dengan aplikasi mobile, bank bisa dengan mudah menawarkan tabungan dengan tujuan lebih spesifik. Contohnya, tabungan untuk membeli rumah atau kendaraan, tabungan wisata ke destinasi tertentu, dan tabungan untuk ulang tahun. Jenis dan fitur tabungan juga bisa dipersonalisasi sesuai profil nasabah. Secara teknis, nasabah bisa menabung emas, aset kripto, atau komoditas lain.
Dari sisi pemicu kapan nasabah menabung, bank bisa membuat fitur yang otomatis membulatkan pembelanjaan kartu debit ke Rp 100.000 terdekat dengan menabung sisanya ke rekening tabungan dengan tujuan tertentu. Semua transaksi nasabah melalui mobile banking berpotensi untuk dijadikan pemicu untuk menabung.
Baca juga : "Quo Vadis" Bank Digital?

Inovasi juga bisa dibuat pada pemberian bunga. Dengan teknologi internet of things (IoT) dan wearables, bank bisa mengaitkan bunga tabungan dengan aktivitas kesehatan nasabah. Misalnya, jika nasabah lari minimal 20 kilometer, bersepeda 100 kilometer, atau workout di gym, mereka bisa mendapatkan bonus bunga tabungan. Idenya, jika nasabah sehat, maka risiko lebih kecil sehingga premi asuransi akan lebih murah. Diskon premi asuransi bisa juga diberikan sebagai insentif tabungan. Dengan teknologi digital, semua itu kini memungkinkan untuk dilakukan.
Dalam hal memindahkan nilai (moving value), banyak jasa teknologi finansial (fintech) yang menggunakan the first principles thinking untuk mendisrupsi layanan transfer dana. Mereka memanfaatkan perbedaan biaya transfer antarbank berkisar Rp 2.500 sampai Rp 6.500 dengan biaya transfer in-house yang gratis. Dengan membuka rekening di sejumlah bank dan memanfaatkan API transfer dana yang disediakan oleh bank, mereka bisa memanfaatkan layanan transfer in-house yang gratis untuk memberikan layanan transfer dana lebih murah.
Untuk cross borderfund transfer, perusahaan seperti Ripple dan Transfer Wise melakukan disrupsi terhadap pemain tradisional seperti Western Union, Money Gram, dan SWIFT. Konsepnya serupa, tetapi mereka menggunakan jaringan bank di sejumlah negara dan ada proses konversi mata uang yang merupakan revenue tambahan.
Bor vs lubang
Untuk merekonstruksiproduk kartu kredit, kita bisa menggunakan analogi ”bor vs lubang”. Orang yang membeli bor sebenarnya tidak membutuhkan bor, tapi perlu membuat lubang. Jadi, solusi terbaik bagi orang tersebut belum tentu bor, tetapi bisa jadi alternatif lain untuk membuat lubang. Lebih lanjut, jika lubang itu digunakan untuk mengintip, solusi yang lebih tepat mungkin bukan lagi lubang, melainkan kamera pengintai.
Analogi bor vs lubang membantu kita menyadari bahwa nasabah sebenarnya tidak perlu kartu kredit (ibarat bor), tetapi fasilitas kredit (lubang) yang bisa diberikan tanpa kartu. Misalnya, saat orang berbelanja di e-dagang, mereka bisa mendapatkan kredit dalam bentuk produk pay later yang tidak memerlukan kartu. Kalau kita teruskan, nasabah sebenarnya tidak membutuhkan kredit, tapi membutuhkan barang elektronik, panci, sepeda motor, mobil, atau rumah.
Baca juga : Memahami Wacana Digital Rupiah

Menyadari hal tersebut, bank bisa maju selangkah lagi dengan membantu nasabah mendapatkan barang-barang itu, misalnya melalui kemitraan dengan e-dagang atau bahkan membangun platform digital penjualan mobil atau rumah sendiri. Dengan teknologi yang ada, bank bisa memberikan layanan tersebut sebagai bagian dari mobile banking mereka dan memosisikannya menjadi lifestyle banking.
The first principles thinking bisa juga dipakai untuk merekonstruksi produk wealth management dan asuransi dengan paradigma growing value dan protecting value. Bank bisa mencontoh Alipay yang mengembangkan produk investasi money market Yue Bao sebagai cara mudah untuk berinvestasi reksa dana. Perusahaan asuransi bisa bekerja sama dengan online travel agent untuk menjual asuransi perjalanan saat orang membeli tiket pesawat atau memesan hotel melalui aplikasi mobile banking.
Ada aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu aspek regulator. Batas antara produk dan layanan keuangan semakin lama akan semakin kabur dengan sektor riil.
Dengan pemikiran mendasar semacam itu, bank atau lembaga keuangan bisa merekonstruksi produk dan layanan dalam konteks digital sehingga lebih efektif dan efisien. Namun, ada aspek lain yang perlu diperhatikan, yaitu aspek regulator. Batas antara produk dan layanan keuangan semakin lama akan semakin kabur dengan sektor riil.
Produk hasil rekonstruksi secara hakiki mirip dengan produk dasarnya, tetapi punya konteks berbeda. Misalnya, jika bank meluncurkan produk pay later, apakah akan dikategorikan sebagai kartu kredit atau pinjaman? Apakah peraturan batas atas bunga mengikuti batas bunga kartu kredit? Siapakah regulatornya, Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan?
Maukah regulator keuangan berpikir lebih terbuka dan mengeluarkan aturan yang sesuai? Siapkah regulator untuk mengawal industri perbankan menavigasi risiko baru yang akan muncul? Semoga semuanya itu tidak dihindari dengan sekadar mengeluarkan larangan. Seyogianya justru didiskusikan dan dipikirkan bersama dengan pelaku industri.
Rico Usthavia Frans, Anggota Steering Committee Indonesia Fintech Society