Pajak karbon memiliki peran korektif untuk meredam aktivitas perekonomian yang menimbulkan emisi karbon. Dukungan bersama sangat diperlukan untuk menyukseskan implementasi pajak karbon.
Oleh
ANDREAN RIFALDO
·3 menit baca
Pada 2004, ketika Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto yang merupakan perjanjian global pertama untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK), suhu di Jakarta mencapai puncak di 31,1 derajat celsius. Dua dekade berlalu, tepatnya pada 11 April 2023, suhu di ibu kota negara justru melonjak lebih tinggi, mencapai 33,8 derajat celsius.
Setiap tahun, suhu global terus naik tanpa henti, sebagai dampak nyata dari perubahan iklim. Krisis lingkungan yang melanda tak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga produksi pangan dan frekuensi bencana alam, khususnya bagi Indonesia yang merasakan dampak suhu tinggi sepanjang tahun sebagai negara kepulauan di ekuator.
Dalam Profil Risiko Iklim Indonesia, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank) memperkirakan bahwa pada 2025, sebanyak 20 persen populasi nasional akan mengalami krisis air bersih dan akan terus naik menjadi 31 persen pada 2050.
Kombinasi suhu tinggi dan pembukaan hutan ilegal juga menimbulkan risiko tinggi kebakaran hutan yang membahayakan penduduk dan ekosistem lokal. Sejak 2001, Indonesia yang merupakan negara dengan biodiversitas tertinggi kedua dunia telah kehilangan 18 persen (29,8 juta hektar) lahan hutannya.
Apa penyebabnya?
Emisi GRK, ditekankan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), menjadi moto penggerak utama di balik pemanasan global. Masih tingginya ketergantungan kepada bahan bakar fosil membuat Indonesia menjadi sumber emisi terbesar kesembilan di dunia, dengan proporsi mencapai 1,68 persen emisi global.
Selain itu, Indonesia juga merupakan produsen minyak sawit terbesar yang menguasai 59 persen dari total ekspor global. Sayangnya, sebuah studi pada 2019 menemukan bahwa industri ini justru menjadi penyebab utama masalah deforestasi sebesar 23 persen.
Sebagai respons atas masalah iklim ini, Indonesia pun mengambil langkah penting dengan ikut mengimplementasikan bursa dan pajak karbon dalam upaya mengurangi emisi GRK.
Di sisi lain, pertambangan batubara juga menjadi sektor ekonomi utama yang menopang 6,62 persen produk domestik bruto nasional. ”Harga yang murah menjadikannya komoditas bahan bakar paling diminati, kecuali kita memperhitungkan biayanya bagi kesehatan dan lingkungan,” tutur Mark Thurber, Direktur Pendamping Program on Energy and Sustainable Development Universitas Stanford.
Sebagai respons atas masalah iklim ini, Indonesia pun mengambil langkah penting dengan ikut mengimplementasikan bursa dan pajak karbon dalam upaya mengurangi emisi GRK, sejalan dengan target kontribusi nasional yang telah ditetapkan dalam kerangka Perjanjian Paris. Pelaksanaan bursa karbon dijadwalkan akan dimulai pada September 2023. Sementara itu, pajak karbon akan berlaku efektif mulai 2025 usai ditunda dari rencana awal pada 1 April 2023.
Namun, memajaki karbon bukan perkara mudah. Berbeda dengan mayoritas pajak lain yang ditujukan sebagai sumber pendapatan negara ataupun memeratakan perekonomian, pajak karbon memiliki peran korektif untuk meredam aktivitas perekonomian yang menimbulkan emisi karbon.
Diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, emisi karbon akan dipajaki paling rendah sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida. Di sinilah tantangan muncul. Tarif tersebut sejatinya terlalu minim untuk memiliki dampak yang signifikan.
Di Indonesia, dengan emisi karbon per kapita sebesar 2,1 ton (Bank Dunia, 2021), penerapan pajak ini hanya setara dengan Rp 63.000 per penduduk. Selain itu, pelaku usaha dapat dengan mudah menambahkan biaya pajak ke harga jual barang, yang pada akhirnya lebih membebani konsumen daripada sektor industri yang merupakan sasaran utama kebijakan ini.
Emisi karbon akan dipajaki paling rendah sebesar Rp 30 per kilogram karbon dioksida.
Di sisi lain, kesiapan infrastruktur untuk energi terbarukan juga perlu diperhatikan agar transisi menuju perekonomian berkelanjutan dapat berjalan sukses. Sesuai estimasi, dibutuhkan setidaknya investasi sebesar 25 miliar dollar AS, sementara yang terealisasi setiap tahun tak lebih dari 2 miliar dollar AS.
Bagi otoritas perpajakan, obyek pajak baru ini juga menambah kewajiban pengawasan kepatuhan. Dibutuhkan sistem yang mampu mengukur emisi secara akurat, sekaligus memastikan kepatuhan dalam pelaporan dan pembayarannya.
Pajak karbon tetap menjadi salah satu opsi efektif dalam mengatasi laju krisis lingkungan yang kian cepat. Pertama, pendapatan pajak karbon mendukung ketersediaan dana dalam membangun infrastruktur energi baru terbarukan (EBT) yang kita butuhkan.
Kedua, pajak karbon juga menjadi insentif yang akan mendorong industri berinvestasi pada teknologi yang lebih ramah lingkungan (Parry, 2019). Ketiga, seperti di Swedia, pajak terbukti berhasil menurunkan tingkat emisi kendaraan, mendorong masyarakat beralih menggunakan transportasi publik (Andersson, 2019).
Dengan demikian, dukungan bersama sangat diperlukan untuk menyukseskan implementasi pajak karbon. Dibutuhkan peningkatan kesadaran akan pentingnya mematuhi kewajiban pajak karbon sebagai upaya untuk mendukung transisi menuju perekonomian yang lebih berkelanjutan lingkungan.
Andrean Rifaldo, Operator Mitra Manajer Kinerja dan Risiko Organisasi serta Change Agent Jaringan Perubahan Reformasi Perpajakan Tahun 2023 Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan