Bagi bangsa ini, proses pencarian, yaitu proses Manunggal, tak kurang penting daripada sang Tunggal itu sendiri. Tak terpisahkan. Begitulah Mas. Pikirkanlah ini sambil menanti tanggal 17. Merdeka. ”Liberté”.
Oleh
JEAN COUTEAU
·3 menit baca
Dalam beberapa hari, pada tanggal 17 Agustus, Indonesia akan seumur saya. Umur 78 ini sudah lumayan tua bagi saya, tetapi tergolong umur yang masih hijau untuk suatu bangsa.
Apakah karena keuzuran saya ini, saya di bawah ini memberanikan diri menilai sejarah bangsa ini. Mungkin benar, mungkin juga keliru. Tetapi, bila keliru, sebagai orang yang sudah tua, kemungkinan besar saya dihormati kendati dikritik. Dan kalau tidak dihormati, bisa saja disimpulkan ngacau karena umur, atau karena bule. Maka relatif aman.
Mari mulai, dengan nada santai. Dibandingkan dengan negeri asal saya, Perancis, evolusi Republik Indonesia ini lumayan baik. Tidak percaya? Coba lihat sejenak daftar dan prestasi para presiden. Presiden pertama tak tersangkal betul-betul hebat, jagoan pidato tiada duanya, mampu membakar semangat rakyat dengan mendengungkan bunyi akronim yang aneh-aneh, seperti Manipol Usdek, Dwikora, dan lain-lain, yang kini semua dilupakan selain semangat persatuan. Tetapi, ini sudah hebat, kan?
Lalu datanglah nomor dua, tamu tak diundang, yang bertahan lama sekali meskipun dia adalah presiden yang tak pintar bermain kata, percayalah setiap ucapan katanya, di sela senyum khasnya itu, bisa membuat kita berpeluh dingin sekujur tubuh. Hebat bukan?
Lalu muncul presiden yang ketiga, bak komet di ruang angkasa menerangi kegelapan sejenak, lalu menghilang untuk seterusnya. Kemudian datanglah presiden yang keempat. Dia konon buta, tetapi yang tidak perlu mata untuk memahami siapa yang ingin menjatuhkannya, dan unsur rakyat mana yang terus dikasihinya.
Siapa yang lalu menyusulnya sebagai nomor keenam? Putri si jago pidato di atas yang layaknya kaum hawa pada umumnya, ya menata kembali rumah negara Indonesianya. Lalu datanglah nomor tujuh. Si presiden juru musik bernama akronim SBY yang memang pinter bernyanyi, tetapi yang anak buahnya sulit menjaga irama yang padu nadanya.
Dan, kini ada presiden kedelapan, yang bisa jadi paling hebat dari semuanya. Dia tak perlu hebat pidatonya, tak membuat kita berpeluh dingin, tak perlu menata rumah, apa lagi menyanyi, tetapi yang siap merangkul siapa pun yang bersemangat kerja. Ya, Indonesia aman. Lumayan untuk suatu Republik yang baru berumur 78 tahun di dalam beberapa hari yang akan datang.
Saya paham ada bermacam-macam keluhan. Ada yang ekornya mengibas-ibas, terus menggerung-gerung entah apa juntrungnya. Tetapi, biar anjing menggonggong ataupun menggerung, kafilah terus berlalu. Presiden bekerja.
Maka, ketika saya mendengar orang Indonesia mengeluh sana sini, berkata bahwa negerinya di ambang kehancuran, dan lain-lain komentar senada, akan bubar sebelum mencapai umur 100 tahun, saya berkata dengan tegas: ”tunggu dulu, Mas”. Jangan kesan sementara Anda dianggap sama dengan situasi negeri ini yang sebenarnya.
Anda boleh saja penuh tingkah, boleh pesimistis semau Anda. Tetapi, Indonesia tidak bakal dikuasai oleh raja lagi. Apalagi oleh Belanda. Bukalah mata, ke mana pun Anda menoleh, apakah terlihat ancaman fisik di mana pun. Tidak, kan? Kalaupun terdengar ada ribut, itu di negeri seberang nun jauh di sana. Indonesia tenang, setuju, kan?
Orang cukup puas dengan sistem yang memungkinkan mereka berbeda sambil bersatu. Aneh, tapi nyata. Memang ada orang yang yakin bahwa sinar Kebenaran pertama muncul di Timur Tengah, ada juga yang meyakini dinamika Trimurti menggerakkan dunia, bahkan ada pula yang keyakinannya mengacu pada para leluhur dari entah mana, tetapi semua berseru bersatu di dalam pencarian dan penggalian Sang Maha Arti. Mengapa?
Oleh karena bangsa ini, di dalam segala rumpunnya, sudah lama sepakat bahwa persamaan adalah lebih utama daripada perbedaan. Maka, boleh shalat lima waktu, boleh juga mengaturkan banten, atau mencari kerajaan surga. Bagi bangsa ini, proses pencarian, yaitu proses Manunggal, tak kurang penting daripada sang Tunggal itu sendiri. Tak terpisahkan. Begitulah Mas. Pikirkanlah ini sambil menanti tanggal 17. Merdeka. Liberté.