Kepemimpinan desa seharusnya juga dilihat sebagai kerja berkesinambungan. Mewujudkan desa mandiri dengan warga yang lebih sejahtera dan lingkungan alam lebih lestari harus tetap menjadi misi setiap kepala desa.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
FAKHRI FADLURROHMAN
Ribuan kepala desa dari sejumlah daerah di Indonesia melakukan unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Selasa (17/1/2023). Para kepala desa yang tergabung ke dalam Perkumpulan Aparatur Pemerintah Desa Seluruh Indonesia ini meminta pemerintah merevisi Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 39 Ayat (1) tentang masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Salah satu usulan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa adalah perubahan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Dengan kemungkinan dipilih kembali, seseorang dapat menjadi kepala desa selama 18 tahun.
Argumen yang melandasi usulan tersebut antara lain masa jabatan yang lebih panjang akan memberi waktu yang cukup untuk menyelesaikan seluruh program pembangunan seorang kepala desa. Kepala desa baru memerlukan waktu untuk melakukan konsolidasi di awal masa jabatan.
Hal ini, menurut para pengusul revisi, bisa memakan waktu tiga tahun. Dengan masa jabatan enam tahun, hanya ada waktu tiga tahun atau sembilan tahun (jika terpilih kembali) untuk melaksanakan visi dan misinya.
Beberapa pihak yang kontra dengan gagasan itu mengaitkan perpanjangan masa jabatan kepala desa (ketika disetujui DPR) dengan kepentingan partai untuk meraih suara pada Pemilu 2024. Ada pula yang menyatakan bahwa waktu sembilan tahun terlalu panjang untuk melakukan evaluasi kinerja kepala desa.
Selain itu, kepemimpinan desa seharusnya juga dilihat sebagai kerja berkesinambungan. Mewujudkan desa mandiri dengan warga yang lebih sejahtera dan lingkungan alam lebih lestari harus tetap menjadi misi setiap kepala desa yang menjabat. Dengan demikian, pergantian kepemimpinan desa tak lantas mengubah arah pembangunan desa.
Kepemimpinan desa seharusnya juga dilihat sebagai kerja berkesinambungan.
Wewenang lebih besar
UU Desa Tahun 2014 menjadi tonggak perubahan kedudukan desa. Pada masa sebelumnya, desa seolah menjadi kepanjangan tangan pemerintahan di atasnya. Rencana pembangunan dilakukan di tingkat kabupaten atau provinsi atau pusat dan pekerjaan yang dilakukan pemerintahan desa menjadi bagian dari rencana tersebut. Anggaran yang diterima desa dimaksudkan membiayai pembangunan yang sudah ditetapkan oleh tingkat pemerintahan di atasnya.
Dengan UU Desa Tahun 2014, desa menjadi ”lebih berdaulat”. Pemerintahan desa memiliki kewenangan menentukan bagaimana pembangunan desa dilakukan. Dana desa digulirkan sebagai salah satu sumber anggaran penting untuk melaksanakan kewenangan itu. Bertambahnya kewenangan memberi keleluasaan dan keluwesan pemerintahan desa dalam membangun wilayah.
Namun, kewenangan yang semakin besar juga berpotensi menimbulkan penyelewengan, termasuk dalam pengelolaan anggaran. Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), kasus penyelewengan dana desa cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Kewenangan yang semakin besar juga berpotensi menimbulkan penyelewengan, termasuk dalam pengelolaan anggaran.
Dalam tiga tahun terakhir, penyelewengan dana desa tercatat 129 kasus pada 2020, menjadi 154 kasus pada 2021, dan 155 kasus pada 2022. Nilai kerugiannya Rp 111 miliar pada 2020 dan Rp 233 miliar pada 2021. Masih menurut ICW, sebagian besar pelaku penyelewengan dana desa adalah aparat pemerintah di tingkat desa.
Harus diakui, pemilihan kepala desa di Indonesia belum bebas dari praktik politik uang. Penggunaan dana hingga ratusan juta rupiah untuk memenangi kontestasi kepala desa menjadi cerita lumrah. Jika ”biaya” mencalonkan diri menjadi kepala desa dianggap sebagai investasi, masa jabatan kepala desa akan diperlakukan sebagai masa pengembalian investasi dan penyelewengan anggaran (termasuk dana desa) menjadi sebuah keniscayaan.
Pekerja mengirim sampah yang telah dipilah di instalasi pengolahan sampah Kelompok Pengusaha Pengolah Sampah (Kupas) di Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (2/8/2023). Pemerintah desa itu mendorong warganya untuk mengolah dan memanfaatkan sampah menjadi pupuk secara mandiri.
Berintegritas dan berwawasan
Semakin berdaulat desa, semakin penting peran pemimpin desa yang berintegritas, memiliki wawasan jauh ke depan, serta mampu meletakkan cita-cita kemajuan desa dan warganya sebagai tujuan utama dengan tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel. Salah satu sosok yang saya kira dapat dijadikan contoh adalah Wahyudi Anggoro Hadi, Lurah Desa Panggungharjo, di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Saat awal menjabat lurah pada 2012, pekerjaan pertama yang dilakukan Wahyudi adalah mengubah budaya kerja perangkat desa. Setelah melakukan reformasi birokrasi, Wahyudi menggulirkan beberapa program untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk desanya, antara lain program satu rumah satu sarjana, unit badan usaha milik desa (BUMDes) yang mempekerjakan difabel, pengelolaan sampah yang lebih lestari, serta perawatan untuk warga lansia dan ibu hamil.
Dengan memanfaatkan potensi yang dimiliki desanya, Wahyudi juga membangun Kampung Mataraman, sebuah kompleks dengan suasana kampung di perdesaan Jawa zaman dulu, lengkap dengan warung makan. Kampung Mataraman menjadi salah satu unit usaha BUMDes Panggungharjo.
Berbagai kegiatan ekonomi di Desa Panggungharjo mengantarkannya menjadi salah satu desa dengan pendapatan asli desa tinggi di Indonesia.
Berbagai kegiatan ekonomi di Desa Panggungharjo mengantarkannya menjadi salah satu desa dengan pendapatan asli (PAD) desa tinggi di Indonesia. Tak mengherankan jika pada pemilihan kepala desa berikutnya (tahun 2018), Wahyudi terpilih kembali menjadi lurah dengan angka kemenangan 90 persen.
Wahyudi adalah contoh pemimpin desa yang mendapatkan legitimasi dari warganya. Dari 74.961 desa di Indonesia, saya yakin masih ada sosok-sosok seperti Wahyudi. Untuk menjaring mereka, yang diperlukan adalah sistem pemilihan kepala desa dan pengawasan yang baik, termasuk memperkuat peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD).
UU Desa Tahun 2014 memberi kewenangan yang semakin besar pada pemerintahan desa. Dengan kedudukan desa yang makin berdaulat, diperlukan kepala desa yang memiliki legitimasi dari warganya.
Untuk pemimpin-pemimpin desa seperti ini, memperpanjang masa jabatan akan memberi manfaat bagi terwujudnya desa yang mandiri dengan penduduk yang makin sejahtera dan lingkungan alam makin lestari. Oleh karena itu, perpanjangan masa jabatan kepala desa harus disertai dengan sistem pemilihan kepala desa yang mampu menjaring sosok-sosok pemimpin yang berkualitas.