Industri Kendaraan Listrik, Momentum Strategis
Momentum pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik harus dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai ”entry point” untuk akselerasi pertumbuhan. Jika tidak, sulit untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Masa lalu berabad yang lalu memang telah berlalu, tetapi pengaruh lintasan sejarah terhadap masa kini tak bisa dinafikan begitu saja. Hal ini bersesuaian dengan perspektif teori ”Path Dependence”.
Tak lama setelah Komodor Perry dari AS membuka paksa Jepang dari ketertutupannya tahun 1853, mesin peleburan besi/baja modern pertama terbangun di Jepang pada 1857. Masuknya teknologi modern pasca-Revolusi Industri pertama ini benar-benar menjadi game changer karena mendorong tumbuhnya industri manufaktur Jepang, tak terkecuali industri otomotif dan industri pertahanannya.
Lebih luas lagi, penetrasi nilai, filosofi, dan teknologi Barat telah memicu gerakan Restorasi Meiji di Jepang ketika itu (1868-1912). Sementara Belanda menjajah bangsa kita selama 350 tahun, tetapi tidak memberikan teknologi peleburan besi/baja modern pasca-Revolusi Industri.
Akibatnya, bangsa kita belum mampu memproduksi mesin pembakaran internal (internal combustion engine/ICE) sendiri sejak kemerdekaan. Ini menjadi kendala dalam mewujudkan industri otomotif nasional, hingga terus-menerus terjebak dalam ketergantungan pada mobil impor dan/atau investasi langsung asing (FDI).
Baca juga : Elektrifikasi Transportasi dan Hilirisasi Tambang
Momentum strategis
Sebuah momentum amat jarang datang hingga dua kali, apalagi berkali-kali. Momentum, umumnya, berkaitan dengan timing. Timing beats speed, precision beats power. Ungkapan ini cocok untuk mewujudkan ekosistem industri kendaraan listrik nasional.
Transisi ekonomi hijau secara global menjadi momentum strategis bagi pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik nasional tersebut. Ada sejumlah faktor.
Pertama, penguasaan dan pengembangan teknologi kendaraan listrik lebih dimungkinkan akselerasinya dibandingkan dengan kendaraan berbasis ICE.
Sebagian besar teknologi kendaraan listrik sebagai enabler yang dibutuhkan tersedia atau accessible, tinggal ditingkatkan untuk menutup technology gap yang mungkin tak terlampau lebar, terutama terkait dengan manufakturnya.
SDM ahli kendaraan listrik cukup banyak. Berbagai model kendaraan listrik karya anak bangsa, baik mobil penumpang, bus, maupun sepeda motor, telah tercipta sepuluh tahun terakhir menjadi bukti nyata.
Pengunjung mencoba motor listrik dalam ajang Indonesia International Motor Show (IIMS) 2023 di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Kamis (16/2/2023). Sebanyak 26 unit motor listrik yang disediakan untuk ajang uji kendara tersebut antara lain dari jenama Alva, Ofero, United, Rakata, Gesit, dan PLN Motorv.
Sejumlah teknologi pendukung yang dibutuhkan meliputi material komposit, sistem rem regeneratif, motor penggerak elektrik, advanced driver assistance system, battery management system (BMS), dan lainnya. Di luar itu adalah teknologi manufaktur untuk mencetak (casting) dan memasang (assembling) keseluruhan komponen secara masif didukung digitalisasi dan otomasi. Di sinilah technology gap yang utama.
Kedua, kendati tidak secara keseluruhan, sebagian besar sumber daya mineral kritis pendukung tersedia dan telah berproduksi. Sementara material bahan baku lain, yakni litium dan fosfat, dapat diimpor dari negara tetangga, seperti Australia dan Vietnam.
Belum lama ini Australia bersepakat memasok 60.000 ton litium ke Indonesia, mengapa tidak sekalian fosfatnya? Hubungan bisnis Indonesia-Australia bisa saling menguntungkan. Indonesia memasok urea, elektronika, kayu olahan, besi/baja, dan menyediakan destinasi wisata, sementara Australia memasok litium, fosfat, daging sapi, dan gandum.
Dari sisi kelembagaan rantai pasok industri kendaraan listrik, Indonesia telah mendirikan holding BUMN MIND ID dan PT IBC. Juga PT Inalum, PT Krakatau Steel, dan lain-lain.
Ketiga, pembiayaan investasi hijau terbuka luas. Pembiayaan untuk investasi kendaraan listrik masuk ”pembiayaan hijau”.
Pasca-KTT perubahan iklim di Glasgow, Skotlandia, November 2021, dan Sharm El Sheikh, Mesir, November 2022, cukup banyak lembaga keuangan nasional dan internasional yang menyediakan sumber pembiayaan hijau, termasuk untuk investasi kendaraan listrik.
Namun, Indonesia membutuhkan kerja sama dengan negara yang lebih maju teknologinya, terutama untuk digitalisasi dan otomasi manufaktur.
Keempat, Indonesia membutuhkan sektor penggerak utama (leading sector) dalam rangka akselerasi pertumbuhan ekonomi untuk secepatnya lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah. Industri manufaktur kendaraan listrik amat realistik dan layak menempati posisi leading sector tersebut.
Kelima, kegiatan research and development (R&D) dalam mendorong kemajuan sains, teknologi, dan inovasi (STI) dapat lebih diarahkan untuk mendukung pengembangan industri manufaktur kendaraan listrik, baterai kendaraan listrik, dan infrastrukturnya, seperti menciptakan teknologi fast charging dan membuat biaya produksi baterai kendaraan listrik menjadi lebih murah per KWh-nya.
BRIN, perguruan tinggi, science-technology park (STP)/ technopark, dan korporasi terkait (LEN dan Pindad) perlu bersinergi memobilisasi sumber daya untuk mendukung industri kendaraan listrik nasional yang baru akan berkembang pada tingkat ”bayi” (infant).
Namun, Indonesia membutuhkan kerja sama dengan negara yang lebih maju teknologinya, terutama untuk digitalisasi dan otomasi manufaktur. Tentu tidak mudah. Alternatifnya, membeli lisensi, mendatangkan tenaga ahli dari negara-negara lain, reverse engineering, dan lainnya.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin memimpin rapat tertutup terkait pengembangan ekosistem kendaraan listrik di Istana Merdeka, Jumat (13/1/2023).
Ekspor dan nilai tambah
Pengembangan (ekosistem) industri kendaraan listrik, baik FDI maupun nasional, menjadi entry point untuk menciptakan nilai tambah secara masif.
Dari berbagai penelitian, nilai tambah kendaraan listrik berkisar 30-70 persen. Hal ini juga dapat dicermati dari laporan finansial korporasi kendaraan listrik yang menyajikan berapa biaya pokok produksi (cost of goods sold) sehingga dapat diketahui berapa nilai tambah yang dapat dihitung dari profit plus gaji/upah para pekerja. Nilai tambah secara agregat nasional adalah produk domestik bruto (PDB), yang selama ini menjadi ukuran pendapatan nasional.
Makin tinggi tingkat komponen dalam negeri (TKDN), makin tinggi nilai tambahnya. Pengembangan industri baterai kendaraan listrik domestik amat strategis dalam mendukung industri kendaraan listrik, karena bisa menambah TKDN 30-40 persen.
Misalnya, target produksi mobil listrik jenis SUV adalah 2 juta unit. Jika rerata harganya Rp 500 juta dengan nilai tambah 50 persen, total nilai tambah dari industri mobil listrik Rp 500 triliun. Untuk menciptakan nilai tambah masif, Indonesia harus mampu menguasai setidaknya pasar mobil listrik ASEAN dan Australia.
Jika tingkat produksi 10 juta unit/tahun, nilai tambah mencapai Rp 2.500 triliun/tahun. Itu belum termasuk sepeda motor listrik, bus listrik, charging station, dan suku cadang.
Mungkin tak muluk-muluk jika dalam dua warsa ke depan kita mengharapkan kontribusi nilai tambah sebesar Rp 5.000 triliun per tahun (dalam ”nilai sekarang”) dari industri kendaraan listrik plus industri terkait, sepanjang mampu menguasai pasar kendaraan listrik ASEAN plus Australia. Itu sudah senilai dengan PDB kuartal I-2023.
Untuk menciptakan nilai tambah masif, Indonesia harus mampu menguasai setidaknya pasar mobil listrik ASEAN dan Australia.
Keluar jebakan
Pengembangan ekosistem kendaraan listrik nasional dan nantinya kendaraan sel hidrogen dapat menjadi pijakan bagi Indonesia untuk secepatnya keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Dengan nilai PDB Indonesia saat ini Rp 19.588 triliun, dibutuhkan peningkatan setidaknya tiga kali lipat dalam satu atau dua warsa ke depan untuk jadi negara maju berpendapatan tinggi.
Artinya, perlu tambahan sekitar Rp 40.000 triliun lagi dari PDB saat ini. Jika industri kendaraan listrik plus industri pendukung ditargetkan akan berkontribusi sebesar Rp 5.000 triliun, sektor-sektor lain, termasuk manufaktur non-kendaraan listrik, perlu berkontribusi pada kenaikan nilai tambah sebesar Rp 35.000 triliun, di luar PDB yang ada sekarang. Angka-angka ini berbasis nilai sekarang (present value).
Sektor-sektor lain, terutama sektor manufaktur non-kendaraan listrik, harus mampu meningkatkan produksi dan produktivitasnya setidaknya tiga kali lipat dalam satu atau dua dasawarsa ke depan, kecuali sektor dengan komoditas yang telah ’jenuh’, seperti minyak bumi, gas, batubara, dan minyak kelapa sawit.
Sektor-sektor unggulan itu bisa meliputi (hilirisasi) perikanan laut dan hasil-hasil laut, agroindustri, ICT/hi-tech, bahkan industri alat-alat rumah tangga, yang merupakan bagian dari industri manufaktur, serta mungkin pariwisata. Di sektor energi, pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dan energi hidrogen memberi harapan cerah.
Kendaraan listrik roda tiga bernama E-Trike, karya Institut Teknologi Bandung siap dikomersialkan PT Allied Harvest Indonesia. Kendaraan yang pertama kali diriset pada 2016 ini mulai diproduksi 2022.
Jika industri kendaraan listrik beserta industri terkait dapat berkontribusi Rp 5.000 triliun dan industri manufaktur non-kendaraan listrik dapat bertumbuh rerata 7 persen per tahun, dalam dua dasawarsa ke depan kontribusi sektor manufaktur secara keseluruhan akan mencapai sekitar sepertiga dari PDB.
Sebagaimana industri kendaraan listrik, pengembangan sektor-sektor lain untuk melipatgandakan nilai tambah, membutuhkan dukungan investasi STI melalui kegiatan R&D, di samping SDM dan infrastruktur yang juga vital. Tak ada negara yang ujug-ujug jadi negara maju berpendapatan tinggi tanpa investasi STI yang memadai. jer basuki mawa bea. Pepatah masyarakat Jawa ini memang benar adanya.
Korea Selatan (Korsel), misalnya, selama satu dasawarsa sebelum terlepas dari jebakan pada 1995, menggenjot pengeluaran R&D-nya mendekati 2 persen dari PDB, dan satu dasawarsa terakhir ini bahkan 5 persen dari PDB, sehingga memperoleh predikat The Global Innovation Powerhouse. Sementara pengeluaran R&D China baru tembus 1 persen PDB pada awal dasawarsa 2000-an, dan kini telah menyentuh 3 persen dari PDB.
Sebagian besar pengeluaran R&D tersebut untuk mendukung pertumbuhan industri manufaktur. Kini, pendapatan per kapita Korsel telah mencapai 32.255 dollar AS dan China 12.720 dollar AS, dan Indonesia 4.788 dollar AS. Sementara batas bawah baru untuk masuk negara berpendapatan tinggi adalah 13.845 dolar AS/kapita sebagaimana disampaikan Bank Dunia.
Jika momentum ini tersia-siakan, mungkin perlu setengah atau satu abad lagi bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Dari berbagai penelitian, diketahui kontribusi STI dalam pertumbuhan ekonomi China mencapai lebih dari 50 persen. Sementara kontribusi STI dalam pertumbuhan ekonomi Korsel antara 1970 dan 1995 sekitar 30 persen, dan kini tentu jauh lebih tinggi lagi mengingat sedemikian besar investasi Korsel dalam STI, yang sebagian besar merupakan kontribusi swasta.
Maka, momentum pengembangan ekosistem industri kendaraan listrik, yang melibatkan pemain asing, swasta nasional, dan BUMN, harus dimanfaatkan sebaik-baiknya sebagai entry point untuk akselerasi pertumbuhan. Jika momentum ini tersia-siakan, mungkin perlu setengah atau satu abad lagi bagi Indonesia untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah.
Wihana Kirana Jaya,Guru Besar FEB UGM dan Staf Khusus Menteri Perhubungan