Karet yang pernah menjadi tumpuan kesejahteraan petani semakin terpinggirkan. Sebagian lahan perkebunan karet bahkan bersalin rupa. Berita tentang industri karet di Indonesia sungguh memprihatinkan.
Oleh
Hadisudjono Sastrosatomo
·2 menit baca
Tajuk Rencana Kompas (Sabtu, 8/7/2023) ”Karet yang Tak Lagi Indah” dan sajian tematik Kompas (Senin, 31/7) membahas masalah karet yang kini terpinggirkan. Bahkan, karet Thailand pun lebih berhasil.
Generasi saya saat di sekolah rakyat (sekarang SD) akrab dengan gambaran petani penyadap getah karet di berbagai bahan pelajaran. Indonesia adalah penghasil karet alam terbesar dunia pada masanya.
Tajuk Rencana Kompas menggambarkan, karet yang pernah menjadi tumpuan kesejahteraan petani semakin terpinggirkan. Sebagian lahan perkebunan karet bahkan bersalin rupa. Berita tentang industri karet di Indonesia sungguh memprihatinkan.
Saya membaca kolom Agribisnis F Rahardi di Kontan (3/7) ”Serat Alami untuk Bahan Sandang”. Sepintas tak ada kelindan dengan karet, tetapi ada baiknya kita simak. F Rahardi mencontohkan China yang bangkit mengembalikan kekuatan sumber daya alamnya.
Digambarkan saat China terbelakang di era Mao Zedong, masyarakat menggunakan bahan rami untuk kebutuhan sandang. Saat makmur—dimulai oleh Deng Xiaoping—malah menjadi importir kapas.
Menyadari hal ini, pemerintah membuat kebijakan menanam rami lagi, tetapi dilanjutkan dengan proses pemutihan, penghalusan, dan pemotongan sehingga menghasilkan produk rami top yang putih dan halus.
Inilah hilirisasi berlandaskan kesederhanaan pikir dan berhasil guna. Untuk bahan sandang, China kemudian menanam varian lain hemp (Canabis sativa), penghasil serat paling ekonomis. China juga menjadi penghasil kapas dan hemp utama dunia. China menguasai bahan sandang dunia dengan menjadi produsen utama poliester dan rayon, sekaligus eksportir utama sutra alam.
Kita dapat melihat di Jakarta, Pasar Tanah Abang dan Jatinegara, produk sandang buatan China menguasai pasar dan dapat dibeli dengan harga murah. Industri hilir berupa garmen juga dikuasai China.
Tidak perlu kecerdasan tinggi, kita paham sandang, pangan, dan papan adalah kebutuhan dasar manusia. Namun, 95 persen kebutuhan kapas kita dari impor. Serat nabati tak pernah kita urus dengan baik. Tidak mengherankan jika industri garmen kita jebol.
Sekarang kita dibuai produk nikel untuk kendaraan listrik. Namun, produsen utama kendaraan listrik membelinya dari China, bukan langsung dari Indonesia. Sampai kapan negeri tercinta kaya raya ini menjadi sumber kekayaan dan kesejahteraan negeri lain?
Hadisudjono SastrosatomoTim Pengarah Pusat Etika Bisnis dan Organisasi SS-PEBOSS-STM PPM Menteng Raya, Jakarta