Peluang menjadi negara maju tetap tersedia meski koridornya amat kecil. Presiden mendatang perlu fokus pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusia dalam mendukung produktivitas nasional, khususnya sektor manufaktur.
Oleh
A Prasetyantoko
·5 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Suasana menjelang malam di gedung-gedung bertingkat di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Minggu (31/7/2022). Dana Moneter Internasional (IMF) menilai perekonomian Indonesia dalam kondisi baik. Hal itu terindikasi dari sejumlah hal, seperti pertumbuhan ekonomi, neraca perdagangan, dan tingkat inflasi.
Perekonomian Indonesia 2023 menghadapi tekanan kencang dari depan alias headwinds sehingga memperlambat laju pertumbuhan yang diperkirakan lebih rendah dari tahun 2022. Pemilu serentak 2024 bisa menjadi angin pendorong dari belakang atau tailwinds jika terkelola dengan baik sekaligus menjadi pijakan guna mengakselerasi menuju negara maju.
Ada tiga tantangan pokok perekonomian global tahun ini. Pertama, perlambatan global disertai risiko resesi di sejumlah negara kawasan utama dunia, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Kedua, inflasi inti yang masih tinggi meski suku bunga sudah dinaikkan drastis di kedua kawasan tersebut. Ketiga, fragmentasi geopolitik yang diikuti perubahan lanskap geoekonomi dan diperkirakan bersifat jangka panjang (struktural).
Salah satu implikasi jangka panjang perubahan geoekonomi dan politik tersebut mulai mengemuka, yaitu meningkatnya peran kawasan Asia Pasifik sebagai episentrum perekonomian global. Jika tata laksana pemerintahan kita ke depan bisa lebih mengedepankan aspek teknokratis ketimbang politis, ada peluang keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle-income trap).
Episentrum global
World Economic Outlook edisi Juli 2023 terbitan Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan perekonomian global tahun ini akan tumbuh 3 persen. Negara maju mengalami kontraksi paling parah, dari 2,7 persen tahun lalu menjadi 1,5 persen tahun ini. Sejak krisis finansial global 2008 dan disusul krisis besar pandemi, negara maju semakin kedodoran kinerjanya. Sementara negara berkembang terlihat lebih meyakinkan dengan proyeksi pertumbuhan 4 persen tahun ini.
Jika tata laksana pemerintahan kita ke depan bisa lebih mengedepankan aspek teknokratis ketimbang politis, ada peluang keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah
Meredupnya negara maju dan meningkatnya prospek negara berkembang menjadi gejala struktural yang akan membawa negara-negara berkembang menjadi pusat pertumbuhan global. Laporan IMF juga menunjukkan kawasan Asia Pasifik akan menyumbang 70 persen pertumbuhan global tahun ini, di mana China 34,9 persen, India 15,4 persen, dan Indonesia 4,4 persen. Ketiganya menjadi motor pertumbuhan Asia, sementara Asia menjadi motor pertumbuhan global.
Baiknya prospek perekonomian kawasan Asia didukung dengan terkendalinya laju inflasi. Di negara maju, meski harga pangan dan energi sudah menurun, inflasi inti masih tinggi. Dengan kata lain, kenaikan harga di negara maju sudah bersifat struktural.
Di AS, inflasi inti Juli sudah turun menjadi 4,1 persen atau level terendah dalam dua tahun terakhir. Namun, suku bunga acuan bank sentral AS (The Fed) justru dinaikkan 25 basis poin menjadi 5,50 persen, mencapai level tertinggi dalam 22 tahun terakhir. Bahkan, pada September diperkirakan dinaikkan kembali menjadi 5,75 persen.
Pasar keuangan tidak menunjukkan kepanikan karena sudah diprediksi sebelumnya bahwa The Fed akan fokus menurunkan inflasi pada targetnya sekitar 2 persen. Kebijakan menaikkan suku bunga diikuti oleh bank sentral Inggris (Bank of England) dan bank sentral Uni Eropa (ECB) masing-masing 25 basis poin menjadi 5,25 persen dan 3,75 persen. Di kelompok negara maju, inflasi dan suku bunga akan berada pada level tinggi untuk periode waktu cukup lama (higher- for-longer).
Di sisi lain, negara berkembang menikmati situasi lebih kondusif, di mana tantangan inflasi tak seberat negara maju sehingga kebijakan suku bunga bisa lebih rileks. Menanggapi kenaikan suku bunga The Fed, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI7DRR) bisa dipertahankan pada 5,75 persen.
Sejauh ini tak ada urgensi menaikkan suku bunga mengingat risiko pelarian modal juga rendah. Investor menyadari, meski perbedaan suku bunga di Indonesia dan AS relatif kecil, Indonesia punya peluang tumbuh lebih besar di masa depan sehingga investor tak buru-buru hengkang.
Investor menyadari, meski perbedaan suku bunga di Indonesia dan AS relatif kecil, Indonesia punya peluang tumbuh lebih besar.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Menteri Perencanaan Pembagunan Nasional/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa (tengah) dan Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo (kiri) dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/5/2023). Rapat membahas rancangan rencana kerja pemerintah serta serta pembicaraan pendahuluan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024.
Peluang Indonesia
Di tengah situasi perekonomian global yang menantang, Indonesia tumbuh di kisaran 5 persen tahun ini. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, sebagaimana tertuang dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024, memasang target pertumbuhan 5,1-5,7 persen.
Untuk mencapai target tersebut, penerimaan negara diproyeksikan mencapai 11,88-12,38 persen terhadap perekonomian, sementara penerimaan pajak 9,95-10,20 persen dan defisit anggaran minus 2,16-2,64 persen.
Postur anggaran dalam RAPBN 2024 tersebut dirancang guna mencapai dua sasaran utama rencana kerja pemerintah (RKP), yaitu mengembalikan momentum pertumbuhan dengan meningkatkan produktivitas serta meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia. Arah program kerja pemerintah sudah tepat, produktivitas dan kualitas sumber daya manusia adalah kunci menjadi negara maju.
Persoalannya, bagaimana menerjemahkan dua sasaran itu ke dalam indikator yang relevan. Terkait dengan produktivitas, peningkatan rasio sektor manufaktur terhadap perekonomian menjadi salah satu yang paling relevan.
Untuk menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita sebesar 23.050 dollar AS pada 2045, perlu pembukaan lapangan kerja masif dengan tingkat penghasilan memadai. Kontribusi sektor manufaktur terhadap perekonomian harus diakselerasi dari 18 persen saat ini menjadi sekitar 28 persen pada dua puluh tahun mendatang.
Arah program kerja pemerintah sudah tepat, produktivitas dan kualitas sumber daya manusia adalah kunci menjadi negara maju.
Periode lima dan sepuluh tahun mendatang merupakan fase yang paling menentukan apakah Indonesia akan keluar dari middle-income trap atau tidak. Semakin penting karena tahun depan akan ada presiden baru. Pemerintah ke depan punya peluang untuk mengakselerasi apa yang sudah diletakkan oleh pemerintah sekarang ini, di mana anggaran dan rencana kerja 2024 sudah dirancang.
Pemerintah ke depan bisa fokus meningkatkan pendapatan per kapita penduduk Indonesia melalui strategi industrialisasi yang komprehensif, mengutamakan pengolahan sumber daya alam (hilirisasi), dan adopsi digital guna meningkatkan rantai nilai perekonomian, khususnya antara sektor pertanian, jasa, dan industri yang masih belum terintegrasi dengan baik.
Peluang menjadi negara maju tetap tersedia meski koridornya amat kecil (narrow corridor). Presiden mendatang perlu fokus pada aspek kelembagaan dan sumber daya manusia dalam mendukung produktivitas nasional, khususnya sektor manufaktur. Terlalu banyak kompromi politik hanya akan menghasilkan kinerja sub-optimal, selain menumbuhsuburkan perilaku rente ekonomi yang tak mendukung daya saing.
*A Prasetyantoko, Peneliti Senior Atma Jaya Institute of Public Policy (AJIPP)