Kisruh setiap penyelenggaraan PPDB menunjukkan desentralisasi pendidikan masih dipahami sebatas desentralisasi teritorial. Dibutuhkan pemahaman holistik tentang tata kelola urusan pendidikan dan sistem pemerintahan.
Oleh
IRFAN RIDWAN MAKSUM
·3 menit baca
Setiap penyelenggaraan penerimaan peserta didik baru (PPDB) jenjang SD hingga SMA/SMK di Indonesia selalu diwarnai kericuhan. Seolah tanpa kesudahan dan pertanda ketidakmampuan bangsa Indonesia mengatasinya.
Kini pengaturan dan pengurusan proses tersebut tidak tanggung-tanggung melalui kolaborasi vertikal dan horizontal antarsektor. Namun, hasilnya hingga kini masih tetap diwarnai kericuhan. Di tengah kericuhan tersebut, bahkan menyeruak terjadinya ketidakadilan bagi masyarakat, lebih khusus terkait calon peserta didik baru.
Ihwal PPDB tersebut membutuhkan penanganan yang serius. Bangsa Indonesia harus terus mencari jalan keluar terbaik mengatasi persoalan tersebut.
Spektrum tata kelola
Penyelenggaraan PPDB masuk dalam urusan pendidikan yang didesentralisasikan. Ini urusan konkuren yang masih harus melibatkan pemerintah pusat selain pemerintah daerah. Dalam distribusi urusan bidang pendidikan ini, menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dibagi atas dasar jenjang pendidikan, untuk Pendidikan Dasar dan Lanjutan Pertama (PDLP) menjadi domain kabupaten/kota; untuk jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) domain provinsi; sedangkan pendidikan tinggi menjadi domain pemerintah pusat.
Dengan konstruksi demikian, penyelenggaraan PPDB ditangani oleh jenjang setiap pemerintahan. Pada saat bersamaan, pemerintah pusat memberikan pedoman untuk dilakukan pola zonasi agar tidak terjadi favoritisme antar-sekolah di tempat masing-masing. Jadi, baik di provinsi maupun kabupaten/kota harus diperhatikan arah dari pemerintah pusat.
Selain itu, pada saat ini dilakukan proses PPDB yang mengacu kepada nomor induk kependudukan (NIK) agar dapat dipastikan domisili calon peserta didik baru. Untuk ini perlu kolaborasi dengan sektor lain, khususnya dinas kependudukan dan catatan sipil (dukcapil). Di titik ini kepala daerah pada masing-masing tempat harus menjadi nakhoda dalam proses PPDB.
Tata kelola di atas sayangnya tidak diiringi dengan kehadiran instansi pengawas sesuai area tanggung jawab masing-masing karena mekanisme pembagian urusan kurang dipahami dengan baik. Sebagai contoh, untuk tingkat SLTA, unit provinsi yang bertanggung jawab terkait soal ini tidak didekatkan pada sekolah-sekolah yang tersebar di penjuru provinsi. Hal ini terjadi dari Sabang sampai Merauke. Dinas provinsi tak mampu melakukan pengawasan dengan baik apa yang terjadi di semua SMA/SMK di tempatnya karena hanya berkantor di pusat pemerintahan provinsinya.
Kondisi ini dibarengi tidak adanya unit pusat yang mengawal arah kebijakan zonasi di seluruh wilayah Republik Indonesia. Kemendikbudristek hanya mengandalkan melalui arah kebijakan yang disampaikan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Kaki tangannya sendiri tak satu pun ditempatkan di daerah-daerah.
Tampak ihwal PPDB ini dalam mekanisme sentralisasi-desentralisasi tidak diperhatikan dengan serius. Tidak dipastikan dengan baik proses fungsi-fungsi manajemen PPDB dengan baik.
Di jenjang PDLP, tiap kabupaten/kota pun demikian. Di jenjang ini diuntungkan karena cakupan wilayah yang masih terjangkau dari pusat pemerintahan kabupaten/kota masing-masing. Masalah timbul di daerah perkotaan yang muncul sekolah favorit dengan berkelindan adanya jenjang SLTA selain jenjang PDLP di lokasi tersebut yang diserbu oleh calon peserta didik baru dari luar daerah. Terjadilah kisruh baik di jenjang SLTA maupun PDLP di daerah-daerah perkotaan yang penduduknya sudah mulai lebih banyak berkarakter komuter.
Tampak ihwal PPDB ini dalam mekanisme sentralisasi-desentralisasi tidak diperhatikan dengan serius. Tidak dipastikan dengan baik proses fungsi-fungsi manajemen PPDB dengan baik, mulai dari fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan akhirnya sampai pada fungsi pengawasannya.
Basis pemangku kepentingan
Secara umum, urusan pendidikan ini sangat dipengaruhi kuat oleh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholder), terutama masyarakat keluarga peserta didik. Karena itu, di negara maju seperti Amerika dikembangkan school district, tata kelola sistem pendidikan yang berbasis masyarakat keluarga peserta didik yang berkepentingan di daerah-daerah.
Di wilayah tertentu yang masih belum berkembang, masih dibawahi oleh sebuah pemerintah daerah layaknya di Indonesia. Namun, sebagian besar di Amerika telah dicakup oleh keberadaan school district ini yang basisnya dalam perspektif desentralisasi adalah dengan menggunakan mekanisme ”desentralisasi fungsional”.
Di Indonesia oleh para pemangku kebijakan sistem pendidikan, school district di Amerika tersebut dikira mirip zonasi yang dahulu disebut dengan rayonisasi. School district di Amerika adalah lembaga otonom yang ditetapkan dalam UUD negara bagian, jadi sangat jauh berbeda.
School district melintasi wilayah administratif daerah otonom-daerah otonom yang kita kenal di Indonesia. Basisnya adalah masyarakat keluarga peserta didik. Di dalamnya ditetapkan dewan (board) yang terdiri dari berbagai kalangan yang berkepentingan terhadap pendidikan dasar, menengah, dan atas di wilayah tersebut termasuk unsur pemerintah (di Amerika dari negara bagian yang mengurusi soal pendidikan tersebut). Kemudian dibentuk kepala eksekutif dan birokrasinya, dinaungi secara legal oleh UUD negara bagian dan peraturan turunannya. Jadi bukan bagian dari pemerintah daerah mana pun, juga bukan bagian langsung dari birokrasi negara bagian, melainkan otonom.
Karena berbasis kepentingan masyarakat keluarga peserta didik dan ditetapkan organisasi birokrasi yang melayaninya, maka sekolah-sekolah yang dinaungi school district tersebut berada dalam pemantauan dan fungsi-fungsi manajemen lain dari para pengatur dan pengurus school district tersebut. Hal tersebut bukan sekadar rayonisasi atau zonasi sekolah seperti terjadi di Indonesia. Maka, kisruh penyelenggaraan PPDB sangat kecil kemungkinan terjadi di antara keluarga calon peserta didik baru karena sistem tersebut justru berbasis kepada kepentingan keluarga masyarakat peserta didik.
Untuk mengembangkan sistem tersebut, dibutuhkan pemahaman holistik tentang tata kelola urusan pendidikan dan sistem pemerintahan yang lebih luas, bukan seperti sekarang terjadi di Indonesia. Amendemen Pasal 18 UUD 1945 terkait pemerintahan daerah bahkan diperlukan, untuk menjadi basis desentralisasi fungsional, bukan sekadar desentralisasi teritorial.