Islam ”wasathiyah” adalah Islam jalan tengah, bukan jalan ekstrem kiri ataupun ekstrem kanan. Dan, Pancasila merupakan bentuk ”wasathiyah” di antara pilihan ekstrem: negara sekuler atau negara teokrasi.
Oleh
AJI SOFANUDIN
·4 menit baca
Sejak pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019) dilanjutkan Jokowi-Ma’ruf Amin (2019-2024), Pemerintah Indonesia gencar melakukan berbagai program penguatan moderasi beragama. Kementerian Agama menjadi leading sector implementasi program penguatan moderasi beragama.
Apa pun program di Kementerian Agama selalu dikaitkan dengan diksi ”moderasi beragama”. Beberapa program, antara lain, Rumah Moderasi Beragama (RMB), Masjid Pelopor Moderasi Beragama (MPMB), Penyuluh Agama Moderat, Tafsir Al Quran Moderasi Beragama, Indeks Moderasi Beragama, Kampung Moderasi, Duta Moderasi Madrasah, Literasi Moderasi Beragama, dan lain sebagainya. Ada kesan ”apa pun makanannya, minumnya moderasi beragama” (Sofanudin, 2023).
Pemerintah cq Kementerian Agama juga menyusun peta jalan (roadmap) moderasi beragama tahun 2020-2024 untuk tingkat Kementerian Agama maupun pada lingkungan nasional (Tim Kelompok Kerja Kementerian Agama, 2020). Tahun 2023 ini diharapkan ada peran serta masyarakat dalam penguatan moderasi beragama.
Tahun 2024 diharapkan ada peneguhan dan apresiasi negara berperspektif moderasi beragama, penurunan jumlah konflik atas nama agama, dan tercapainya berbagai indeks kerukunan umat beragama. Moderasi beragama telah menjadi semacam politik keagamaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk menangkal ekstremisme dan radikalisme agama (Abdalla, 2023).
Moderasi adalah ”middle path”
Kata moderasi berasal dari bahasa latin moderatio yang berarti ke-sedang-an (tidak kelebihan, tidak kekurangan). Dalam bahasa Inggris, disebut moderation dalam pengertian average (rata-rata), core (inti), standard (baku), atau non-aligned (tidak berpihak). Dalam bahasa Arab, dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah yang memiliki padanan makna dengan tawassuth (tengah-tengah), i’tidal (adil), dan tawazun (berimbang).
Dalam bahasa Arab, wasathiyah diartikan sebagai ”pilihan terbaik”. Lawan moderasi adalah berlebihan, tatharruf yang mengandung makna extreme, radical, dan excessive dalam bahasa Inggris (Tim Penyusun Kementerian Agama Republik Indonesia, 2019). Konsep moderasi beragama bukan untuk memoderasi agama, melainkan memoderasi cara kita memahami dan mengamalkan ajaran agama dalam konteks kehidupan bersama di tengah masyarakat yang majemuk.
Fokus utama moderasi beragama adalah menciptakan kerukunan umat beragama.
Ibarat obat, moderasi beragama merupakan resep untuk penyakit ekstremisme yang mengarah kepada terorisme. Fokus utama moderasi beragama adalah menciptakan kerukunan umat beragama. Hubungan yang hendak dibangun meliputi relasi harmonis agama-negara (adanya komitmen kebangsaan), hubungan harmonis intern dan antarumat beragama (toleransi), relasi harmonis agama dan budaya (akomodatif terhadap kebudayaan lokal), dan dilakukan dengan cara-cara agama/damai (antikekerasan).
Dari paradigma inilah kemudian muncul indikator moderasi beragama yang meliputi empat hal. Ada juga yang menambahkan ihsan (sesuatu yang baik) sebagai indikator moderasi beragama.
Moderasi beragama merupakan jalan tengah (middle path), bukan jalan ekstrem kiri (liberalisme) ataupun ekstrem kanan (konservatif, fundamentalisme). Muaranya untuk menciptakan kerukunan beragama sebagai modal dasar meneguhkan kerukunan nasional. Tantangan dihadapi adalah kekerasan, makanya diperlukan antikekerasan. Ide ini sejalan dengan jalan tengah Tarmizi Taher (Taher, 1997).
Penulis kurang sependapat dengan Ulil Abshar Abdalla bahwa sanad moderasi beragama hanya berasal dari Islam: NU, Muhammadiyah, dan tokoh-tokoh reformis (Abdalla, 2023). Sebagai sebuah program, Menteri Agama 2014-2019 Lukman Hakim Saifudin (LHS) dikenal sebagai ”penemu” moderasi beragama. Tetapi, sebagai gagasan, Menteri Agama 1993-1998 Tarmidzi Taher sudah lama menyampaikan tentang middle path atau jalan tengah.
Moderasi beragama dan hidup harmoni dalam perbedaan keyakinan, menurut Ketua MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) sejatinya sudah diterapkan lama dalam kehidupan leluhur bangsa Indonesia sejak zaman peradaban kuno (Ruswana, 2022). Dalam sejarah Islam Indonesia, moderasi beragama di Nusantara sudah dipraktikkan lama sejak zaman Walisongo. Moderasi yang dikembangkan Walisongo bukan hanya soal adaptasi Islam terhadap budaya lokal, tetapi juga memperkenalkan ajaran Islam mengedepankan dialog, menghindari kekerasan, dan bertoleransi terhadap agama lain (Syamsurijal, 2022).
Mempromosikan ”wasathiyatul” Islam
Menurut M Quraish Shihab, kata wasath dalam berbagai bentuknya ditemukan lima kali dalam Al Quran, semua mengandung makna ”berada di antara dua ujung”. Kata wasath setidaknya terdapat dalam beberapa ayat sebagai berikut: (1) QS Al-Baqarah: 143; (2) QS Al-Baqarah: 238; (3) QS Al-Maidah: 89; (4) QS Al-Qalam: 28 dan (5) QS Al-’Adiyat: 4-5. Menurut Ar-Razi, sebagaimana dikutip Shihab, wasathiyah mengandung beberapa makna, yakni (1) adil, (2) yang terbaik, (3) yang paling utama, (4) bersikap moderat/pertengahan antara berlebihan dan berkekurangan dalam segala hal (Shihab, 2022).
Dalam ajaran Islam, wasathiyah ada pada tiga ajaran pokok agama: (1) akidah/iman/kepercayaan, (2) syariah/pengamalan ketetapan hukum yang mencakup ibadah ritual dan nonritual, dan (3) budi pekerti. Dalam akidah, berada di tengah antara pemikiran jabariyah (fatalisme) dan qadariyah (free will). Dalam aspek ibadah, tidak mempersulit atau sebaliknya tidak mempermudah. Dalam menetapkan hukum, perlu melihat maqashid asy-syari’ah, yakni untuk memelihara (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) harta benda, dan (5) kehormatan manusia.
Hemat kami, Pancasila merupakan bentuk wasathiyah di antara pilihan ekstrem: negara sekuler (memisahkan urusan agama dan negara) atau negara teokrasi (addinu waddaulah). Oleh karena itu, dalam sejarah Indonesia antara Islam dan demokrasi selalu beriringan (Abdillah, 1999). Dalam segala aspek tidak diperkenankan untuk ekstrem (tatharruf atau ghuluw). Dalam istilah Jawa, tidak boleh ”mati en” (berakhiran -en) yang mengandung makna ”berlebihan” sehingga menjadi tidak baik, seperti: ke-irit-en, ke-pinter-en, dan seterusnya.
Wasathiyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi maupun ukhrawi yang selalu harus disertai dengan upaya menyesuaikan diri dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi obyektif yang dialami. Wasathiyah adalah keseimbangan yang didasarkan kepada prinsip ”tidak berkelebihan dan tidak berkekurangan”. Wasathiyah ditandai oleh tiga hal: ilmu/pengetahuan, kebajikan, dan keseimbangan (Shihab, 2022).
Semoga Islam Wasathiyah, Islam jalan tengah, dan Islam ramah akan selalu mewarnai Indonesia.
Aji Sofanudin, Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)