PRT dalam Perspektif Konvensi Perempuan
Sudah 39 tahun Indonesia meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan. Pengesahan RUU PPRT sebagai pelaksana sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 konvensi diharapkan segera terwujud.
Tahun ini, pengesahan Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) memasuki usia ke-39. Konvensi CEDAW yang disahkan PBB pada 18 Desember 1979 ini diratifikasi Indonesia pada 24 Juli 1984 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.
Dalam konsideran dan penjelasan dinyatakan bahwa pengesahan Konvensi CEDAW ini sebagai ”perwujudan keinginan Indonesia untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus segala bentuk diskriminasi terhadap wanita karena isi konvensi itu sesuai dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan”.
Hampir semua kewajiban negara dalam Konvensi CEDAW ini telah ditransformasikan ke dalam konstitusi dan UU organik yang langsung dapat diimplementasikan. Misalnya saja kewajiban yang tercantum dalam Pasal 2 dan 3 Konvensi CEDAW untuk memasukkan asas nondiskriminasi, dan tindakan afirmasi dalam konstitusi sudah termaktub dalam Pasal 28 I (2) dan 28 H (2) UUD 1945. Demikian pula dengan kewajiban dalam Pasal 4 untuk membuat kebijakan afirmasi, terutama dalam bidang politik, telah dicantumkan dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik.
Baca juga : Menghidupkan Kembali CEDAW
Persamaan perempuan dan laki-laki dalam bidang pendidikan, kewarganegaraan, penghapusan perdagangan perempuan, persamaan di bidang hukum, dan seterusnya dapat kita temukan dalam peraturan-peraturan terkait. Memang masih ada ketentuan-ketentuan dalam Konvensi CEDAW yang belum sepenuhnya ditunaikan.
Misalnya, Pasal 16 tentang persamaan di dalam perkawinan. UU Perkawinan kita masih diskriminatif terhadap perempuan dan menghalangi perempuan untuk mengakses hak konstitusionalnya secara penuh. Misalnya saja, ketentuan Pasal 31 dan 34 yang justru membakukan peran dan kedudukan perempuan sebagai pengurus rumah tangga, sementara laki-laki sebagai pencari nafkah. Pembagian kerja seksual ini justru melestarikan stereotipe jender dan bertentangan dengan realitas sosialnya.
Dalam kenyataannya, implementasi berbagai UU organiknya pun masih jauh dari harapan. Salah satu kendalanya adalah soal perspektif aparat penegak hukum (APH). Kewajiban pemerintah untuk menghapuskan perilaku sosial budaya, prasangka, dan kebiasaan, serta praktik-praktik lain yang didasarkan pada adanya inferioritas dan superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotipe perempuan dan laki-laki, yang tercantum dalam Pasal 5 Konvensi CEDAW, belum dilaksanakan secara sistematis.
Prasangka-prasangka dan praktik-praktik stereotipe jender yang sering kali dikuatkan oleh ajaran agama dan budaya ini masih tertanam kuat dalam pikiran masyarakat dan bahkan pada APH. Jika kita mengamati perilaku APH dalam merespons kasus-kasus perempuan berhadapan dengan hukum, maka masalah prasangka jender ini merupakan penghalang dalam upaya penghapusan diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Pada 2017 atas inisiatif dan advokasi Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (Mappi) dan LBH APIK Jakarta yang melakukan penelitian atas putusan-putusan hakim terhadap perkara-perkara kekerasan rumah tangga, Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 sebagai petunjuk bagi para hakim dalam memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan hak perempuan. Namun, berdasarkan pengalaman mewakili perempuan-perempuan berhadapan dengan hukum, putusan hakim tak banyak berubah. Karena itu, pelatihan-pelatihan kepada aparat penegak hukum guna membongkar prasangka dan asumsi-asumsi bias jender yang melekat dalam pemikiran mereka harus dilakukan secara terstruktur, sistematik, dan terus-menerus.
Peningkatan kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan keadilan jender dalam masyarakat luas perlu segera dilakukan secara masif juga.
Metode bedah kasus untuk membongkar asumsi-asumsi di balik kasus serta putusan-putusan hakim akan sangat baik dilakukan. Demikian pula dengan BAP kepolisian dan surat dakwaan jaksa, kompetensi mereka dalam menganalisis kasus dari perspektif jender masih perlu ditingkatkan. Apalagi untuk para hakim yang secara ex officio harus menemukan hukum dan menempatkan perempuan dalam ruang keadilan.
Sebuah rencana aksi nasional juga sangat diperlukan untuk melaksanakan Pasal 5 Konvensi CEDAW jika kita benar-benar ingin agar berbagai UU organik Konvensi CEDAW ini dapat dilaksanakan dengan baik. Demikian pula, peningkatan kesadaran akan pentingnya kesetaraan dan keadilan jender dalam masyarakat luas perlu segera dilakukan secara masif juga.
Perempuan perdesaan dan PRT
Mayoritas pekerja rumah tangga (PRT) adalah perempuan mengingat pekerjaan mereka disebut sebagai domain dan kewajiban perempuan. Di sinilah diskriminasi dan kekerasan terhadap mereka bermula. Ditambah lagi dengan para ekonom yang mengategorikan mereka sebagai pekerja informal. Padahal, hubungan kerja tidak ditentukan oleh lokasi, di pabrik, kantor, atau rumah tangga, tetapi oleh barang dan jasa yang mereka hasilkan. Karena itu, baik PRT maupun buruh pabrik atau kerja kantoran sekalipun seharusnya mendapat perlindungan hukum.
Pada umumnya PRT berasal dari perdesaan miskin atau pinggiran kota. Kemiskinan struktural yang mereka derita akibat stereotipe jender, kebijakan warisan kolonial yang dialami oleh para orangtua dan leluhur mereka, khususnya berkaitan dengan akses pada pendidikan dan sumber daya ekonomi, pada umumnya tidak ditangani dengan solusi struktural pula oleh negara. Kebijakan untuk mereka dan untuk kaum miskin dan kelompok rentan lain lebih banyak bersifat karitatif, seperti bantuan sosial dan bentuk-bentuk bantuan yang tidak permanen, instan, atau tidak memberdayakan.
Berkat perjuangan Federasi PRT Internasional, pada 2011, ILO mengesahkan Konvensi Nomor 189 tentang Perlindungan PRT. Sangat disayangkan bahwa sampai saat Indonesia belum meratifikasinya.
Perampasan atas tanah dan sumber daya alam oleh segelintir elite yang diuntungkan oleh berbagai kebijakan negara yang sangat korup menyebabkan penduduk dan perempuan perdesaan kehilangan sumber daya ekonomi mereka. Mereka terpaksa keluar dari desa untuk mencari kerja di kota. Namun, sekali lagi, karena keterbatasan kerja sektor formal dan rendahnya pendidikan, mereka masuk pada kerja-kerja yang tanpa perlindungan sosial dan hukum. Sebagian dari mereka terjebak menjadi korban perdagangan orang dan prostitusi. Keduanya sering disebut sebagai bentuk perbudakan modern. Korban perdagangan manusia dalam bentuk pengiriman buruh migran ilegal meningkat terus-menerus dan dalam situasi yang sangat darurat.
Hasil Sakernas 2012-2015 menunjukkan profil PRT di Indonesia didominasi oleh perempuan, berstatus kawin, berpendidikan SD atau sederajat, dan bekerja di wilayah perkotaan dengan upah yang rendah, yaitu kurang dari Rp 500.000. Di antara mereka juga masih banyak di bawah umur yang tidak sepantasnya berada di dunia kerja (Ari Yuliastuti, 2017).
Menurut Survei ILO 2017, jumlah PRT di Indonesia mencapai 4,2 juta orang. Sementara Jala PRT memperkirakan jumlahnya mencapai 10 juta orang berdasarkan perkiraan bertambahnya jumlah kelas menengah yang mempekerjakan PRT (Austin, 2023). Jala PRT juga menyatakan bahwa kekerasan terhadap mereka meningkat dari tahun ke tahun (Suyanto, 2023). Berkat perjuangan Federasi PRT Internasional, pada 2011, ILO mengesahkan Konvensi Nomor 189 tentang Perlindungan PRT. Sangat disayangkan bahwa sampai saat Indonesia belum meratifikasinya.
Baca juga : Urgensi Perlindungan Hukum bagi Pekerja Rumah Tangga
Perempuan-perempuan perdesaan, alih-alih mengecap manfaat pembangunan sehingga dapat mengembangkan diri secara maksimal, justru menjadi korban dari sistem sosial ekonomi dan ketenagakerjaan yang merugikan mereka. Pembagian kerja informal dan formal, meski tidak secara eksplisit didefinisikan dalam UU Ketenagakerjaan, berkontribusi banyak pada ketimpangan sosial ekonomi yang ditanggung oleh PRT hingga saat ini.
Argumen bahwa PRT masuk dalam kategori sektor informal yang tak memerlukan intervensi negara terasa sebagai sebuah ironi di tengah kerentanan mereka. Beberapa partai besar, seperti Golkar dan PDI-P, justru enggan membahas RUU PPRT yang sudah 19 tahun lalu diajukan oleh kelompok masyarakat sipil. Pada Maret 2023, setelah disahkan sebagai draf inisiatif DPR, Presiden mengeluarkan supres dan mengirimkan daftar isian masalah (DIM) pada Mei yang lalu, tetapi sampai saat ini DPR belum juga membahasnya lagi.
Kebijakan afirmasi dan reparasi sosial
Kebijakan perburuhan masa kolonial tidak dapat dilepaskan dari sistem perbudakan dan kuli kontrak. Meski terdapat beberapa peraturan (staadblad) yang mengatur hubungan kerja kontraktual antara pemberi kerja dan PRT-nya, tetap saja aturan-aturan ini mengeksklusi PRT dari sistem perburuhan formal. Tidak adanya kebijakan afirmasi dan reparasi sosial akibat warisan kebijakan kolonial memperpanjang penindasan terhadap PRT.
Ketentuan Pasal 14 konvensi yang memuat kewajiban negara untuk memperhatikan masalah-masalah khusus yang dihadapi oleh perempuan di daerah perdesaan dan peranan yang dimainkan perempuan perdesaan demi kelangsungan hidup keluarga mereka di bidang ekonomi, terutama dalam konteks PRT, belum dilaksanakan. Kewajiban negara ini mestinya tidak dimaknai hanya terbatas pada lokasinya, tetapi harus diperluas bagi mereka yang berasal dari desa dan mengadu nasib di kota dan negara lain, justru untuk membangun keluarga dan desa mereka.
Kebijakan afirmasi dan reparasi sosial ini perlu diperluas dengan menambah kategori afirmasi untuk kelompok perempuan perdesaan, khususnya yang menjadi PRT.
Sementara itu, kebijakan afirmasi untuk menempatkan 30 persen perempuan baik dalam pencalonan sebagai anggota legislatif maupun untuk menduduki jabatan-jabatan eksekutif dan yudikatif sudah menampakkan hasil meski belum signifikan. Kebijakan afirmasi ini ditempuh untuk melakukan reparasi atas ketimpangan jender di dunia politik. Pemerintah juga mengimplementasikan kebijakan afirmasi dalam bidang pendidikan. Pada 2023 ini, misalnya, Kementerian Keuangan menetapkan 98 kabupaten afirmasi (Detik.edu, Januari 2023) untuk pelajar dari daerah-daerah tersebut guna memperoleh beasiswa mencapai gelar master dan doktor.
Tidak terlalu jelas apakah ada kebijakan afirmasi berdasarkan jenis kelamin dan jender dalam bidang pendidikan ini. Namun, setidaknya terdapat upaya untuk mereparasi ketimpangan bidang pendidikan berdasarkan kriteria sosial ekonomi. Kebijakan afirmasi dan reparasi sosial ini perlu diperluas dengan menambah kategori afirmasi untuk kelompok perempuan perdesaan, khususnya yang menjadi PRT.
Baca juga : Pelindungan PRT, Siapa Peduli?
Peningkatan jumlah perempuan di DPR, termasuk terpilihnya Puan Maharani sebagai Ketua DPR, tidak lepas dari perjuangan kelompok perempuan yang tidak lelah mengemukakan pentingnya perempuan dalam kepemimpinan politik. Mereka diharapkan menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berperspektif jender dan khususnya berpihak pada kelompok perempuan yang rentan terhadap eksploitasi dan kekerasan seksual seperti halnya PRT ini.
Kita semua berharap agar pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi UU sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 konvensi dapat segera terwujud. Ratifikasi Konvensi ILO 189 juga sangat diperlukan guna melindungi PRT kita di luar negeri.
Nursyahbani Katjasungkana, Ketua Pengurus Asosiasi LBH APIK Indonesia