Susahnya Dapat Sekolah (Negeri)
Keberatan terhadap sistem zonasi lebih kepada kebijakan yang tidak adil. Pemerintah terlalu banyak memberikan perhatian ke sekolah-sekolah favorit, tetapi kurang peduli kepada sekolah negeri reguler dan swasta pinggiran.
”Kasihan Umi, harus pontang-panting cari Rp 12 juta untuk anaknya yang akan masuk ke SMP swasta. Anaknya tidak lolos ke SMPN. Meski rumahnya dekat dari sekolah, tapi dikalahkan calon murid yang usianya lebih tua.”
Keluhan tersebut disampaikan kawan penulis. Umi adalah pengasuh anaknya yang duduk di bangku SD. Sebagai pengasuh anak, dapat dibayangkan sendiri kondisi ekonominya—harus mencari uang Rp 12 juta untuk menyekolahkan anak di SMP swasta karena terlempar dari SMPN terdekat dari rumahnya lantaran dikalahkan anak yang usianya lebih tua.
Tentu di negeri ini banyak Umi-Umi lain yang nasibnya sama. Mereka harus mencari banyak uang sekadar untuk menyekolahkan anaknya di SMP. Padahal, SMP itu pendidikan dasar dan harusnya dibiayai oleh negara.
Baca juga: PPDB Diwarnai Pemalsuan Data Kependudukan hingga Siswa ”Titipan”
Kebijakan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di SD-SMA/SMK di DKI Jakarta, sejak menerapkan sistem zonasi dan pengutamaan usia tua, memang tidak memberikan kepastian kepada anak yang mencari sekolah. Ada anak yang rumahnya kurang dari satu kilometer dari SMPN, tetapi tidak lolos karena dikalahkan oleh yang usianya lebih tua.
Seandainya hanya menggunakan jalur zonasi dan prestasi saja, tentu lebih mudah mengantisipasinya. Kalau berdasarkan zonasi, tinggal mengukur jarak rumah ke sekolah terdekat. Demikian pula jalur prestasi, mudah diprediksi dengan mengacu kepada nilai terendah yang diterima tahun lalu. Namun, kalau usia lebih tua, tentu sulit memprediksinya.
Evaluasi sistem zonasi
PPDB, baik berdasarkan zonasi maupun usia lebih tua, keduanya tidak memberikan rasa keadilan kepada anak, tetapi hanya kepada anak-anak yang dekat sekolah dan usia lebih tua saja. Sementara mereka belum tentu memiliki semangat belajar yang tinggi. Sebaliknya yang memiliki semangat belajar tinggi justru tidak lolos karena rumah mereka jauh dari sekolah dan usia lebih muda.
Bagi Indonesia yang kondisi geografi, ekonomi, politik, sosial, dan budayanya amat beragam, PPDB berdasarkan zonasi, tak pas diterapkan. Berbeda dengan negara-negara maju yang relatif kondisi masyarakatnya homogen dan fasilitas sekolahnya sudah merata. Kondisi perkotaan di Indonesia pun kurang cocok dengan sistem zonasi karena sekolah negeri berada di pusat kota, sementara warganya tinggal di pinggiran kota.
Bagi Indonesia yang kondisi geografi, ekonomi, politik, sosial, dan budayanya amat beragam, PPDB berdasarkan zonasi, tak pas diterapkan.
Di Kota Bogor yang dekat dengan DKI Jakarta, SMPN 1 dan SMAN 1 yang dikenal favorit, lokasi di sekitarnya daerah perkantoran, bukan lagi pemukiman padat penduduk. Demikian pula di Surabaya, ada empat SMAN di pusat kota yang kanan kirinya perkantoran. Hal sama terjadi di Kota Yogyakarta, tiga SMPN dan SMAN lokasinya berada di satu kawasan Kota Baru yang banyak perkantoran dan minim pemukiman.
Kondisi seperti itu terjadi di semua kota di Indonesia. Bahkan kondisi untuk tingkat kabupaten lebih timpang lagi. SMP dan SMA/SMK negeri adanya di ibu kota kecamatan, sementara jarak rumah di kampung/pesisir ke ibu kota kecamatan bisa lebih dari 10 kilometer. Apa mereka tak berhak masuk ke sekolah negeri?
Selain tak memberikan kepastian kepada anak untuk dapat sekolah yang lebih tinggi, sistem zonasi juga menimbulkan demotivasi pada anak-anak yang memiliki semangat belajar tinggi, tetapi rumah mereka jauh dari sekolah negeri.
Demotivasi ini amat berbahaya terhadap kualitas SDM Indonesia. Anak-anak yang memiliki semangat belajar tinggi dan secara ekonomi kurang mampu memilih tidak sekolah karena kalau bersekolah di swasta tidak memiliki dana.
Baca juga: Keadilan Sekolah Zonasi
Dampak buruk lain adalah mengajarkan ketidakjujuran kepada masyarakat. Fenomena umum yang terjadi saat ini adalah banyak orangtua yang melakukan pindah kartu keluarga (KK) untuk mendekati sekolah-sekolah negeri yang dituju. Fenomena pindah KK itu tidak hanya terjadi di wilayah Jabodetabek, tetapi juga di seluruh Indonesia.
PPDB sistem zonasi juga berdampak ke kualitas pendidikan, ketika yang diutamakan kuantitas. Di sejumlah daerah, untuk mengatasi keterbatasan daya tampung, ada yang menambah jumlah rombongan belajar (rombel), dari 32 murid per kelas menjadi 34-40 murid.
Ada pula yang DPRD-nya meminta agar sekolah menambah jumlah kelas. Bila semula jumlah murid baru hanya empat kelas, ditambah menjadi lima atau enam kelas. Namun, penambahan jumlah kelas itu tidak disertai dengan penambahan jumlah guru, tenaga kependidikan, dan fasilitas pendidikan lainnya.
Kebijakan afirmasi
Gagasan lama yang penulis lontarkan sejak 25 tahun silam dan pernah dicobakan di salah satu SMAN di Bandung saat kepala sekolahnya seorang aktivis organisasi guru independen adalah soal kebijakan afirmasi, yaitu memberikan akses bagi anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah negeri. Mereka wajib diterima di sekolah negeri tersebut. Ini kiranya jauh lebih berkeadilan.
Kebijakan afirmasi ini berbeda dengan sistem zonasi. Pada sistem zonasi, dasar PPDB adalah jarak terdekat antara rumah dengan sekolah, sedangkan kebijakan afirmasi hanya memberikan prioritas bagi anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah negeri saja. Tidak semua penerimaan murid baru berdasarkan jarak terdekat seperti di sistem zonasi.
Di Yogyakarta, sejak 2005, juga diterapkan kebijakan berupa memberikan kesempatan bagi anak-anak golongan prasejahtera agar dapat masuk ke SMPN, SMA/SMKN sebanyak 10 persen dari total jumlah murid baru tanpa melihat nilai ujian nasional (UN) mereka.
Baca juga: Diskriminasi Pendidikan bagi Siswa Miskin
Kedua kebijakan afirmasi ini cukup adil karena memberikan kesempatan pada anak-anak yang tinggal di sekitar sekolah dan anak-anak golongan tidak mampu untuk masuk ke sekolah negeri, tetapi tidak tertutup hak anak-anak yang pintar dan rumahnya jauh dari sekolah.
Sistem zonasi amat tidak berkeadilan karena hanya memprioritaskan anak- anak yang bertempat tinggal dekat sekolah (tak peduli malas atau rajin belajar) dengan mengabaikan hak-hak anak yang punya semangat belajar tinggi, tetapi rumahnya jauh dari sekolah negeri.
Seleksi penerimaan murid baru di SMP, SMA, dan MA sebaiknya memberikan kuota yang lebih besar untuk jalur prestasi karena itu yang paling obyektif. Saat ini jalur prestasi terkalahkan oleh jalur zonasi, dan untuk DKI Jakarta kalah dengan usia lebih tua, sehingga menimbulkan demotivasi pada anak yang rajin belajar dan pintar tetapi rumahnya jauh dari sekolah negeri.
Tujuan pemerintah menerapkan jalur zonasi adalah ingin menghilangkan image sekolah favorit. Sebetulnya kita tak perlu alergi pada sekolah favorit karena saat kuliah yang dicari adalah PTN favorit. Mengapa saat kuliah mencari PTN favorit, dan PTN pun didorong menjadi PTN unggul di dunia, tetapi di SMP/SMA tidak boleh ada yang favorit?
Pemerintah perlu adil dalam membuat kebijakan, bahkan memberikan perhatian lebih kepada sekolah negeri reguler dan swasta pinggiran.
Keberatan terhadap sistem zonasi, juga gugatan terhadap RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional), bukanlah konsep unggulnya, melainkan lebih kepada kebijakan yang tidak adil. Pemerintah saat itu terlalu banyak memberikan perhatian ke sekolah-sekolah favorit, tetapi kurang peduli kepada sekolah negeri reguler dan swasta pinggiran.
Pemerintah perlu adil dalam membuat kebijakan, bahkan memberikan perhatian lebih kepada sekolah negeri reguler dan swasta pinggiran. Dengan demikian, keunggulan lahir secara alamiah. Pemerintah wajib memfasilitasi, tak mematikannya dengan zonasi.
Pemerintah perlu menyadari apabila anak-anak cerdas dan semangat belajarnya tinggi, ketika dicampur dengan anak-anak yang biasa-biasa saja dan kurang motivasi belajar, mereka bisa timbul kebosanan mengikuti pelajaran, akhirnya negara rugi karena kecerdasan mereka tidak dapat dikembangkan secara optimal. Tingkat kecerdasan setiap orang itu berbeda-beda, sama halnya ada stratifikasi ekonomi di masyarakat.
Tugas pemerintah bukan memaksakan harus sama, tetapi memfasilitasi semua tingkat kecerdasan tersebut.
Berebut sekolah negeri
Mengapa masyarakat berebut ke SMP/SMA/SMK/MA negeri? Orangtua ingin anaknya masuk ke SMPN agar mudah masuk ke SMAN, dan dari SMA lebih mudah masuk ke PTN favorit.
Secara rerata mutu sekolah negeri memang lebih baik dibandingkan dengan swasta. Namun, di sisi lain, daya tampung sekolah negeri terbatas. Sebagai contoh, di kota Bogor ada 218 SD, tapi hanya ada 20 SMPN, 10 SMAN, dan 10 SMKN. Ini jelas sekali tidak imbang.
Baca juga: Perlu Kemitraan Pemerintah dan Sekolah Swasta
Sudah saatnya pemerintah menambah daya tampung. Tidak dengan mendirikan unit sekolah baru (USB), melainkan cukup memberdayakan sekolah-sekolah swasta yang ada. Di masa awal kemerdekaan hingga dekade 1980-an kita mengenal ”Sekolah Swasta Bersubsidi”, yaitu sekolah swasta tapi pembiayaan sepenuhnya dari negara. Dan ”Sekolah Swasta Berbantuan”, yaitu statusnya sekolah swasta, tapi 50 persen pembiayaannya dari negara. Mengapa kebijakan ini tak dihidupkan kembali demi masa depan anak-anak bangsa?
Ki Darmaningtyas, Aktivis Pendidikan Tamansiswa