Indonesia di Tengah Dunia Multipolar
Kita perlu mewaspadai multipolarisme saat ini juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perang. Apa yang terjadi di Ukraina dapat memicu efek domino karena mengungkap beberapa hal penting. Apa saja hal penting itu?
Kita hidup di dunia multipolar. Kekuatan dunia terdistribusi ke banyak aktor yang saling bersaing demi kepentingan pribadi. Tren ini telah dimulai sejak awal milenium dan menguat dengan pecahnya perang di Ukraina.
Pasca-Perang Dingin, AS tampil sebagai kekuatan tunggal. Situasi berubah dengan peristiwa 9/11 dan krisis keuangan global 2008. Sumber daya AS terkuras untuk melawan terorisme dan mengatasi krisis keuangan.
Kesempatan ini dimanfaatkan pemain-pemain lain untuk tampil. China mengalami lompatan ekonomi luar biasa, dibarengi modernisasi militer, menjadi kandidat terkuat pesaing AS. Rusia rekonsolidasi diri di bawah kepemimpinan Putin.
Aktor-aktor lain yang patut diperhitungkan dalam lingkupnya masing-masing juga bermunculan, seperti Uni Eropa (UE), India, Brasil, Turki, Afrika Selatan, Iran, dan Indonesia.
Invasi Rusia ke Ukraina tak lepas dari konteks melemahnya dominasi AS dan bangkitnya kekuatan-kekuatan lain ini. Rusia yang terdesak ekspansi NATO berani menyerang Ukraina karena merasa memiliki teman dan memperkirakan AS tidak akan merespons secara frontal.
Baca juga : Lavrov: Kolektivitas Barat Perlambat Pembentukan Tatanan Dunia Multipolar
Kalkulasi Rusia terafirmasi. Meski dukungan terus diberikan ke Ukraina dalam bentuk bantuan kemanusiaan, keuangan, dan peralatan militer, AS tak betul-betul terjun langsung seperti di Irak atau Afghanistan. Tidak pernah ada pengiriman tentara untuk ikut berperang.
Perang di Ukraina mempertegas polarisasi dunia, ditandai dengan menguatnya kekompakan AS-Eropa dan sekutunya (kubu 1), merapatnya hubungan Rusia dengan China dan Iran (kubu 2), dan menajamnya rivalitas kubu 1 dan kubu 2.
Di luar itu, kekuatan-kekuatan tengah dan negara-negara berkembang mengambil sikap hati-hati (kubu 3). Kecaman mereka terhadap invasi Rusia tak dibarengi dengan komitmen untuk ikut menjatuhkan sanksi seperti dikehendaki Barat.
Ada bermacam penjelasan atas sikap ini, mulai dari kepentingan ekonomi terhadap Rusia dan China, kesibukan mengatasi pandemi, hingga kekecewaan pada standar ganda Barat. Singkatnya, negara berkembang bersikap lebih independen.
-
Di sisi lain, perang di Ukraina menyingkap kelemahan Rusia yang gagal memenangi perang secepat mungkin. Mata dunia terbuka, di luar senjata nuklir, kekuatan militer Rusia tak sehebat yang diproyeksikan.
Fakta ini mengafirmasi hal penting, yaitu bahwa Rusia bukanlah pesaing yang serius bagi AS. Peran itu telah diambil alih China. Sementara Rusia adalah mitra dengan relasi tak setara bagi China. Ketergantungan Rusia terhadap China lebih besar dibanding sebaliknya.
Persaingan yang sesungguhnya ke depan adalah antara AS dan China dengan gerbong masing-masing. Dalam jangka panjang, tren ini akan mengerucut pada persaingan dua kekuatan besar. Sejarah abad ke-20 akan terulang: multipolarisme digantikan bipolarisme.
Potensi perang
Dalam dunia multipolar, kemungkinan meletusnya perang lebih besar karena setiap kekuatan bersaing demi kepentingan pribadi dengan mengabaikan kebaikan kolektif. Multipolarisme paruh pertama abad ke-20 mengerucut pada Perang Dunia I dan II.
Sejarah cenderung berulang. Kita perlu mewaspadai multipolarisme saat ini juga dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya perang. Apa yang terjadi di Ukraina dapat memicu efek domino karena mengungkap beberapa hal penting.
Dalam dunia multipolar, kemungkinan meletusnya perang lebih besar karena setiap kekuatan bersaing demi kepentingan pribadi dengan mengabaikan kebaikan kolektif.
Pertama, kekuatan Barat tak cukup menjadi deterrent untuk mencegah agresi Rusia. Kedua, interdependensi ekonomi tak menjamin perang bisa dihindari. Ketiga, komitmen AS untuk membela sekutunya (Eropa) tak sekuat yang diperkirakan. Keempat, sanksi Barat tak efektif melumpuhkan Rusia karena campur tangan aktor lain. Kelima, simpati dunia internasional pada korban (Ukraina) tak sebesar yang diharapkan.
Seperti kutipan dalam film 47 Ronin, ”Ketika kejahatan tidak dihukum, dunia tidak seimbang,” kemampuan Rusia lolos dari jerat hukuman dapat menginspirasi aktor kuat lainnya untuk melakukan hal serupa. ”Jika Rusia bisa, kenapa saya tidak?”
Kita mulai menyaksikan tanda-tandanya, termasuk di Indo-Pasifik yang sejak lama menyimpan titik-titik api yang siap meletup kapan saja: Laut China Selatan, selat Taiwan, semenanjung Korea. Multipolarisme akan menyediakan ruang kondusif untuk letupan tersebut.
Posisi Indonesia
Transisi dari multipolarisme ke bipolarisme di abad ke-20 memicu gerakan tak memihak yang dipelopori antara lain oleh Indonesia lewat penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika/KAA (1955) dan pembentukan Gerakan Non-Blok (1961).
Dua peristiwa penting di era Perang Dingin ini menandai peran dan kepemimpinan Indonesia di kancah global. Spirit Bandung yang dihasilkan KAA turut mendorong dekolonisasi dan mempererat kerja sama di antara negara-negara Asia-Afrika.
Bung Karno tampil sebagai pemimpin Dunia Ketiga yang diperhitungkan. Sekarang kita berada di ambang situasi yang mirip. Multipolarisme saat ini cepat atau lambat akan bertransisi menuju bipolarisme. Kita akan dihadapkan pada kesempatan sejarah yang sama dengan Bung Karno.
Pertanyaannya, siapkah kita menyambutnya? Modal sudah ada. Beberapa tahun belakangan, kiprah Indonesia di kawasan dan global semakin diperhitungkan. Terlebih sejak keberhasilan menavigasi situasi geopolitik yang pelik saat menjadi presiden G20 tahun lalu. Indonesia bukan hanya berhasil menjaga G20 tetap utuh, tetapi juga membangkitkan kembali spirit kolaborasi dan menghasilkan proyek-proyek kerja sama konkret yang bermanfaat bagi negara berkembang.
Beberapa tahun belakangan, kiprah Indonesia di kawasan dan global semakin diperhitungkan.
Dunia mengapresiasi. Pengakuan bukan hanya datang dari negara lain, tetapi juga pengamat dan media massa. The Economist, misalnya, menerbitkan tulisan berjudul ”Why Indonesia matters” sehari setelah KTT G20 usai digelar di Bali.
Keberhasilan presidensi G20 bukanlah hasil dari tindakan sesaat, melainkan kulminasi dari ”budi baik” yang ditanam Indonesia selama bertahun-tahun, seperti konsistensi menjalankan politik luar negeri bebas aktif dan kontribusi di berbagai isu kawasan dan global.
Di antara kekuatan tengah lainnya, Indonesia memiliki karakteristik paling pas untuk menjadi pemimpin negara berkembang. Prinsip bebas aktif menjadikan Indonesia cocok sebagai jembatan bagi pihak-pihak yang beradu kepentingan.
Indonesia negara berpenduduk Muslim terbesar sekaligus demokrasi terbesar ketiga dunia. Indonesia bisa memadukan nilai-nilai keislaman dengan nilai-nilai yang dianut Barat. Peran sebagai jembatan antara dunia Barat dan Islam paling cocok dimainkan Indonesia.
Indonesia konsisten menyuarakan kepentingan negara berkembang di berbagai kesempatan, seperti di PBB, G20, G7, dan sebagainya. Tak ada kesempatan yang disia-siakan oleh Indonesia untuk mendorong kepentingan negara berkembang.
Bahkan, sering kesempatan itu sengaja diciptakan. Misal, lewat penyelenggaraan Indonesia-Africa Forum (IAF) 2018, Indonesia Africa Infrastructure Dialogue (IAID) 2019, Indonesia-Pacific Forum for Development(IPFD) 2022, dan rencana penyelenggaraan ASEAN Indo-Pacific Forum di bawah keketuaan Indonesia di ASEAN.
Berbeda dengan zaman Bung Karno, kini Indonesia memiliki kendaraan yang dapat digunakan untuk berperan lebih besar di kancah global, yaitu ASEAN.
Artinya, modal Indonesia saat ini lebih besar dibanding dulu. Dengan modal ini, apakah Indonesia akan mampu mengulang peran yang sama? Menjadi tanggung jawab generasi sekarang untuk menjawabnya.
Shohib Masykur Diplomat Indonesia