Perlu Kemitraan Pemerintah dan Sekolah Swasta
Kemitraan antara pemerintah dan sekolah swasta menjadi salah satu solusi agar anak-anak kurang mampu yang tidak diterima di sekolah negeri dan masuk sekolah swasta dapat difasilitasi.
Kebijakan zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PDDB) hampir setiap tahun menuai masalah. Tim khusus verifikasi pendaftaran peserta didik baru 2023 besutan Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto menemukan indikasi kecurangan atau pendaftaran tidak sesuai aturan. Hasil temuan Timsus PPDB Kota Bogor ada 913 pendaftar SMP terindikasi bermasalah dalam PPDB 2023 (Kompas, 11 Juli 2023). Solusi dan kebijakan apa yang dapat dilakukan ke depan agar PPDB tidak menjadi masalah yang berulang setiap tahun?
Salah satu bentuk kecurangan dalam temuan Timsus Kota Bogor adalah kecurangan dalam mendapatkan kartu keluarga sebagai salah satu syarat/bukti untuk bisa mendaftar sesuai dengan zonasi. Dari total 8.230 pendaftar PPDB tingkat SMP di Kota Bogor, tercatat ada 3.251 pelajar yang diterima melalui jalur zonasi.
Menurut Wakil Wali Kota Bogor Dedie A Rachim, Tim Khusus verifikasi PPDB di Kota Bogor menemukan 297 calon siswa jalur zonasi terindikasi mendaftar tidak sesuai aturan. Mereka diduga memanipulasi data kependudukan ketika mendaftar secara daring. Nama-nama bermasalah itu akan langsung dikeluarkan (dari PPDB) dan dianjurkan mendaftar ke sekolah swasta (Kompas, 14 Juli 2023).
Baca juga: PPDB Diwarnai Pemalsuan Data Kependudukan hingga Siswa ”Titipan”
Hak konstitusional anak
Mencari sekolah (negeri) seharusnya tidak menjadi masalah jika ketersediaan bangku/pendidikan yang merata dan berkualitas sudah terpenuhi sebagaimana amanat konstitusi. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya (Pasal 31 Ayat 2 UUD 1945). Anggaran pemerintah sebagaimana amanat konsititusi 20 persen dari APBN untuk fungsi pendidikan 2023 mencapai Rp 612, 2 triliun sudah cukup besar dan paling tinggi dalam sejarah (Sri Mulayani, 2023).
Ini pertanda komitmen pemerintah untuk menyediakan pendidikan sudah cukup baik, tetapi masih ditemukan banyak persoalan khususnya dalam hal akses dan kualitas pendidikan yang merata. Salah satu masalahnya adalah anggaran yang tersedia belum termanfaatkan secara maksimal dan tepat sasaran. Pemenuhan hak konstitusional anak untuk mendapatkan pendidikan, minimal pendidikan dasar, seharusnya terlebih dahulu dipenuhi dengan menyiapkan sarana dan prasarana sekolah yang cukup dan memadai.
Sistem zonasi dalam PPDB di satu sisi dapat memberikan pemerataan dan peluang bagi masyarakat miskin untuk masuk di sekolah negeri. Pada sisi lain zonasi menuntut adanya kuota sekolah negeri yang mencukupi dan pemerataan kualitas dan mutu layanan pendidikan secara nasional (Standar Nasional Pendidikan). Zonasi akan terpenuhi jika bangku yang tersedia mencukupi dengan jumlah pendaftar yang masuk ke sekolah negeri. Sistem zonasi sudah seharusnya memberikan prioritas kepada anak-anak miskin yang ada pada zona tertentu untuk diterima masuk sekolah negeri.
Memperhatikan paradoks yang terjadi dalam sistem pendidikan di Indonesia, di mana seharusnya keluarga dan sekolah sebagai tempat utama dan pertama untuk pembinaan integritas anak, membangun karakter jujur pada anak, tetapi yang terjadi pada kasus PPDB justru keluarga dan sekolah ikut terlibat aktif untuk bertindak curang, memalsukan dokumen KK untuk dapat mendaftar dan diterima masuk sekolah negeri. Ini menjadi suatu keprihatinan besar di tengah-tengah komitmen negara merebut bonus demografi Indonesia Emas 2045 (100 tahun Indonesia merdeka) untuk melahirkan SDM unggul dan berintegritas.
Mencermati kecurangan yang ada pada PPDB, kita sedang mempertontonkan kepada anak-anak sejak dini pengalaman ketidakjujuran. Pengalaman buruk seperti itu jika terjadi terus-menerus dalam keluarga/masyarakat dan di sekolah akan berdampak secara sistemik kepada krakter anak, dan akan merusak generasi muda.
Sistem zonasi sudah seharusnya memberikan prioritas kepada anak-anak miskin yang ada pada zona tertentu untuk diterima masuk sekolah negeri.
Pendidikan karakter dalam menyiapkan SDM yang unggul menjadi sangat urgen dan strategis. Stephen Covey dalam pengamatannya menuliskan bahwa membentuk karakter pemimpin masa depan harus melalui pembiasaan praktik kejujuran dalam keseharian di sekolah dan dalam keluarga, bukan sebaliknya. Jika sekolah dan setiap keluarga saling bersinergi melakukan pembiasaan positif, kita sedang mempersiapkan generasi pemimpin bangsa yang berkarakter pada tahun 2045.
Tugas utama sekolah yang paling fundamental pada abad ke-21 adalah menyiapkan anak agar siap menghidupi realitas kehidupan yang semakin kompleks dan serba tidak jelas. Sejalan dengan hal tersebut, Education for Sustainable Development (ESD) menegaskan visi pendidikan yang berupaya memberdayakan manusia agar bertanggung jawab demi menciptakan masa depan yang berkelanjutan. Dan seluruh pemangku kepentingan pendidikan; sekolah, semua guru, murid, dan masyarakat diharapkan mampu mengimpelementasikan nilai-nilai ESD dalam kehidupan sehari-hari (UNESCO, Paris, 2002).
Penting kemitraan
Evaluasi secara transpran dan adil dalam sistem PPDB dan diikuti dengan penindakan yang tegas sebagaimana disampaikan Wali Kota Bogor Bima Arya harus serius dilakukan dan dapat menjadi pembelajaran bersama (learning organization). Masalahnya tidak cukup hanya ditangani sekadar penegakan hukum terhadap pelaku kecurangan, tetapi hal yang utama adalah masalah akses pendidikan yang berkualitas, pemerataan, kesenjangan mutu sekolah negeri dan swasta juga harus dapat diatasi.
Beberapa pemikiran perlu disampaikan. Pertama, memperhatikan keterbatasan ketersediaan bangku di sekolah negeri, sudah waktunya pemangku kepentingan memberikan jaminan kepada anak-anak yang tidak dapat bersekolah di sekolah negeri dapat ditampung bersekolah di sekolah swasta dengan biaya pemerintah. Kemitraan antara pemerintah dan sekolah swasta menjadi salah satu solusi agar anak-anak kurang mampu yang tidak diterima di sekolah negeri dan masuk sekolah swasta dapat difasilitasi agar dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas.
Baca juga: Menyoal Dunia Pendidikan Kita
Peran pemerintah menjadi penting membangun kemitraan dengan sekolah-sekolah swasta, di mana anak-anak yang tidak berkesempatan masuk sekolah negeri bisa dibiayai oleh pemerintah bersekolah di sekolah swasta. Tujuan kemitraan (public private partnership) dalam kebijakan strategis bukan semata-mata karena adanya keterbatasan anggaran pemerintah, tetapi untuk meningkatkan kualitas layanan yang lebih baik kepada masyarakat (Parker & Bradlay 2002). Hal ini dapat dilakukan agar sekolah-sekolah swasta yang jumlahnya cukup siginifikan dan telah berjasa dalam mencerdaskan anak bangsa dapat tetap berperan dan survive.
Kedua, perlu dukungan regulasi (undang-undang) agar kemitraan pemerintah dengan sekolah swasta dapat dilaksanakan secara nasional agar diskriminasi aksesibiltas pendidikan dapat teratasi sebagaimana amanat konstitusi. Sebagai contoh, cukup banyak desa di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang tidak ada sekolah dasar negeri sehingga anak-anak bersekolah di sekolah dasar swasta (Katolik), di mana sekolah tersebut harus memungut biaya dari masyarakat yang secara ekonomi lemah, dan yayasan menghadapi kesulitan untuk menyediakan guru karena yayasan kesulitan menggaji guru. Kemitraan pemerintah dengan swasta khususnya untuk pembiayaan pendidikan dan penyiapan tenaga pendidik (guru) menjadi sebuah kebutuhan untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan.
Ketiga, banyak anak dari keluarga tidak mampu dan anak dalam satu zonasi tidak tertampung di sekolah negeri. Kebijakan pendidikan gratis justru banyak dinikmati anak-anak yang mampu secara ekonomi sehingga dapat menimbulkan kesenjangan kini dan di masa depan. Pendidikan gratis, khususnya di perkotaan, dapat dievaluasi agar benar-benar tepat sasaran diperuntukkan bagi mereka yang tidak mampu secara ekonomi.
Keempat, pendidikan merupakan investasi penting dan strategis dalam pembangunan bangsa. Maka, sudah waktunya evaluasi dan optimalisasi penggunaan anggaran di bidang pendidikan (2023 sebesar Rp 612,2 triliun) dapat dilakukan secara menyeluruh untuk menyiapkan kebijakan strategis (policy brief) untuk mengatasi masalah asesibilitas dan kualitas pendidikan secara nasional.
Kemitraan pemerintah dan swasta bidang pendidikan sudah banyak dipraktikkan di banyak negara, seperti Australia, Filipina, dan India. Partisipasi swasta sangat signifikan dalam mewujudkan akses pendidikan berkualitas dan merata.
Baca juga: Pendidikan Bermutu untuk Semua
Partisipasi swasta dalam pendidikan telah meningkat secara dramatis selama dua dekade terakhir di seluruh dunia, melayani semua kelompok masyarakat–dari keluarga berpenghasilan rendah hingga keluarga berpenghasilan tinggi. Meskipun pemerintah tetap menjadi penyandang dana utama pendidikan (setidaknya pendidikan dasar dan menengah), di banyak negara sekolah swasta memberikan kontribusi besar di bidang pendidikan (Patrinos, 2009:2).
Finlandia adalah negara yang sangat peduli dan memberikan perhatian secara signifikan terhadap masa depan pendidikan. Karena fungsi pemerintah dalam memajukan sektor pendidikan memberikan dukungan finansial dan legalitas di Finlandia. Keseriusan Finlandia menyokong keberhasilan pendidikan nasionalnya dibuktikan dengan diterapkannya kebijakan gratis sekolah 12 tahun sehingga tidak ada warga negaranya yang kesulitan dalam untuk mengakses pendidikan.
Semoga masalah PPDB yang setiap tahun muncul dapat menjadi blessing bagi rakyat Indonesia di masa depan, khususnya di tengah pemerintah menyiapkan SDM unggul merebut bonus demografi 2045.
Salman Habeahan, Direktur Pendidikan Katolik Kementerian Agama; Dosen Pascasarjana Universitas Budi Luhur