Mengembalikan Marwah Profesor
Balakangan muncul sejumlah kasus pelanggaran hukum dan etika yang dilakukan para profesor. Kasus-kasus yang dialami para profesor ini menimbulkan tanya, apa yang sesungguhnya terjadi dengan para profesor di negeri ini?
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek mencopot gelar dua guru besar atas nama Hasan Fauzi dan Tri Atmojo, 26 Juni 2023.
Langkah itu tertuang dalam Surat Keputusan Kemendikbudristek Nomor 29985/RHS/M/08/2023 dan No 29986/RHS/M/08/2023 tentang Penjatuhan Hukuman Disiplin Pembebasan dari Jabatan sebagai Guru Besar menjadi Pelaksana, yaitu tenaga pendidik.
Bulan lalu, Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Bandar Lampung, memvonis 10 tahun penjara untuk Prof Dr Karomani, bekas Rektor Unila, atas dakwaan suap dari orangtua wali dalam penerimaan mahasiswa baru. Terdakwa juga diperintahkan membayar uang pengganti lebih dari Rp 8 miliar dan denda Rp 400 juta.
Hakim menilai terdakwa telah melanggar sumpah jabatan sebagai Rektor Unila. Sebelumnya, hakim memvonis empat tahun enam bulan penjara untuk Wakil Rektor 1 Unila dan bekas Ketua Senat Unila.
Kasus-kasus yang dialami para profesor ini menimbulkan tanya, apa yang sesungguhnya terjadi dengan para profesor di negeri ini? Bagaimana pengembangan integritas akademisi dan wacana ilmu pengetahuan ke depan?
Baca juga : Guru Besar Tanpa Pewaris Keilmuan
”Vivant Professores”
Profesor merupakan pangkat tertinggi dalam karier sebagai seorang dosen. UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi memberikan penghargaan tertinggi baik secara finansial maupun sosial bagi seorang guru besar.
Secara teknis, pencapaian gelar ini juga harus melewati sejumlah rintangan administratif yang memakan waktu bertahun-tahun. Tak jarang harus ditempuh lewat jalur hukum.
Dalam upacara akademik biasanya dinyanyikan lagu berjudul ”Gaudeamus Igitur” (’Karenanya Marilah Kita Bergembira’). Lagu ini menggambarkan semangat kebebasan akademis dan ketabahan dalam menemukan kebenaran bagi para calon ilmuwan. Dalam salah satu liriknya, ”Vivat academia, vivant professores”, panjang umur untuk para akademisi dan profesor.
Ketika harus direfleksikan kembali pada kasus-kasus yang mencuat belakangan ini, maka semua itu memberikan gambaran tentang antiklimaks seorang akademisi. Misalnya, kasus korupsi yang membelit Profesor Karomani tak terkait dengan persoalan pengembangan ilmu.
Demikian pula kasus pencopotan guru besar UNS. Secara rinci, pencopotan ini berlaku selama 12 bulan. Banyak pihak menduga hal itu merupakan buntut dari kisruh pemilihan rektor, September 2022. Pihak rektorat menolak dengan menyatakan bahwa SK itu terkait pendisiplinan.
Dua guru besar itu dinilai melakukan pelanggaran disiplin. Hal itu termaktub dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 94/2021 Pasal 3 Huruf e dan f serta Pasal 5 Huruf a. Dalam PP No 94/2021 disebutkan, pelanggaran tersebut berupa penyalahgunaan wewenang.
Apabila dilihat secara kronologis, kasus tersebut berawal dari penerbitan Peraturan Majelis Wali Amanat (MWA) No 3/2023 tentang Pemilihan Rektor UNS, 29 Juni 2023. Surat itu dinilai kontroversial karena dikeluarkan Wakil Ketua MWA. Peraturan MWA UNS Nomor 2 Tahun 2023 berisi pendelegasian wewenang Ketua MWA kepada Wakil Ketua MWA.
Pada 17 Agustus 2022, Dewan Profesor mengirimkan surat masukan yang ditujukan kepada Ketua MWA. Surat itu berisi revisi tentang pemilihan rektor, tetapi konon tidak diterima. Setelah dilakukan perundingan antara Dewan Profesor, Kemendikbudristek, dan MWA, ternyata tak dicapai titik temu.
Pihak MWA melanjutkan proses penjaringan calon rektor pada 27 September 2023 dan menghasilkan pemenang lewat suara terbanyak. Hasil ini kemudian ditolak oleh sejumlah pihak sehingga Kemendikbudristek membekukan MWA.
Ketika harus direfleksikan kembali pada kasus-kasus yang mencuat belakangan ini, maka semua itu memberikan gambaran tentang antiklimaks seorang akademisi.
Kemendikbudristek juga menerbitkan SK No 231267/M/06/2023 tentang Perpanjangan Masa Jabatan Rektor UNS periode 2019-2023. Menurut rencana, Sajidan dilantik menjadi Rektor UNS periode 2023- 2028. Kemendikbudristek menerbitkan peraturan menteri yang membatalkannya.
Profesor yang politikus
Dalam upaya pembenahan kinerja universitas, Kemendikbudristek justru menerbitkan SK No 24/2023 tentang Penataan Peraturan Internal dan Organ di Lingkungan UNS sejak 31 Maret 2023.
Dalam keputusan itu tercantum tiga hal. Pertama, Kemendikbudristek bertanggung jawab atas penyelenggaraan pendidikan tinggi. Kedua, peraturan internal semestinya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Ketiga, peraturan yang diterbitkan MWA bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sebelum penjatuhan disiplin, Hasan Fauzi dan Tri Atmojo mendapatkan undangan dari Kemendikbudristek pada 14 April 2023, tetapi mereka tak hadir. Kemudian, 28 April 2023, Kemendikbudristek mengundang kembali dan mereka pun datang melakukan klarifikasi.
Dari kasus tersebut terlihat bahwa perdebatan para profesor di Dewan Profesor dan di MWA bukanlah persoalan pencarian kebenaran di dalam ilmu pengetahuan. Medan perdebatan berada di dalam konteks pemilihan pemimpin di dalam unit kependidikan.
Ilustrasi
Fakta tersebut sampai pada pemahaman penting tentang integritas seorang ilmuwan. Tampak bahwa seorang guru besar akan kesulitan menjelaskan prinsip kebenaran ilmu pengetahuan jika kebenaran di dalam diri mereka terbelah antara ilmu dan kekuasaan.
Karena itu, sanksi hukum dan administratif yang dilakukan oleh aparat negara tak cukup untuk mengurai persoalan-persoalan dalam dunia pendidikan. Perlu kebijakan yang berorientasi pada dua hal.
Pertama, perlunya pemahaman integritas ilmu pengetahuan sebagai bagian dari kehidupan inti para akademisi. Fakta yang sulit dibantah bahwa dosen selama ini diberi tugas administratif yang terlampau banyak. Contoh kasus-kasus administratif yang muncul adalah joki penulisan karya ilmiah, munculnya jurnal predator yang mengatasnamakan indeks internasional, plagiat, hingga tim sukses untuk guru besar.
Kedua, perlunya mengembalikan marwah guru besar sebagai pilar penjaga kebenaran ilmu pengetahuan. Kasus yang mencuat akhir-akhir ini membawa keprihatinan bagi para yuniornya di institusi perguruan tinggi. Pendek kata, di atas kebijakan itu, soal terpenting dalam menyehatkan iklim akademik kita terletak pada kenyataan tidak adanya keteladanan dari para tetua.
Saifur RohmanPengajar Program Doktor Bidang Filsafat di Universitas Negeri Jakarta