Keadilan Sekolah Zonasi
Penerapan PPDB zonasi banyak dikeluhkan. Ada sejumlah masalah yang perlu solusi. PPDB zonasi perlu bertransformasi jika hendak dipertahankan dan dilihat sebagai sebuah sistem dinamis. Libatkan semua pemangku kepentingan.
Sekolah-sekolah di Indonesia baru saja selesai menyelenggarakan hajatan penerimaan peserta didik baru tahun ajaran 2023/2024.
Model zonasi dalam PPDB yang pertama kali dicanangkan di era Menteri Pendidikan Muhadjir Effendy—dan dianggap sebagai terobosan untuk mendorong pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan—masih diterapkan dalam PPDB ini kendati dalam penerapannya banyak dikeluhkan para orangtua.
PPDB zonasi perlu bertransformasi jika hendak dipertahankan dan dilihat sebagai sebuah sistem yang dinamis. Transformasi dilakukan melalui kajian, pengembangan, dan harmonisasi ide-ide pembaruan berdasarkan dialektika antara harapan yang seharusnya terjadi (das sollen) dan kenyataan yang terjadi (das sein) di lapangan demi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.
Baca juga : Kerap Bermasalah, Pelaksanaan PPDB Tidak Perhatikan Proporsi Sekolah
Problematika PPDB
Problematika PPDB jalur zonasi yang sering kali ditemukan antara lain, pertama, pemalsuan data kependudukan berupa kartu keluarga (KK), surat keterangan tak mampu, bukti keikutsertaan peserta didik dalam program penanganan keluarga tak mampu, dan surat keterangan pindah tugas orangtua/wali.
Pemalsuan data kependudukan contohnya terjadi di Bogor. Wali Kota Bima Arya Sugiarto mengungkap temuan 913 calon peserta didik SMP yang mendaftar melalui zonasi terindikasi memiliki data kependudukan bermasalah dan 155 calon peserta didik SMP diduga menggunakan data kependudukan palsu. Di Bekasi, Plt Wali Kota Tri Ardhianto menemukan kejanggalan peserta didik SMA yang namanya terdaftar berkali-kali, tetapi alamatnya berbeda-beda.
Kedua, adanya kelompok elite tertentu yang memiliki kekuasaan, yang menitipkan, meminta jatah, dan cenderung memaksa pihak sekolah agar mau menerima calon peserta didik sesuai keinginan mereka. Sebagai contoh, di Banten, anggota Ombudsman RI, Indraza Marzuki Rais, membeberkan adanya tekanan dari ormas dan pejabat daerah agar calon peserta didik bisa diterima di sekolah tertentu.
Ketiga, persebaran sekolah yang tak merata dan minimnya daya tampung sekolah. Keberadaan sekolah, terutama di jenjang menengah atas dan kejuruan, masih sangat minim menjangkau masyarakat di wilayah-wilayah kabupaten/ kota/kecamatan. Bahkan dalam beberapa kasus ada keluarga kategori tak mampu kesulitan menyekolahkan anaknya karena di daerah tempat tinggalnya tak ada sama sekali sekolah negeri yang berdiri dalam satu zonasi.
Akibatnya, mereka terpaksa harus mendaftarkan anaknya di sekolah swasta yang berbayar. Contohnya seperti terjadi di DKI Jakarta, Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji mengatakan masih ada 170.000 calon peserta didik (58 persen dari total lulusan SD dan SMP) yang belum terserap di sekolah negeri.
Keempat, minimnya prioritas bagi anak guru. Di kalangan guru banyak yang mengeluhkan PPDB kurang berpihak kepada guru karena minimnya kuota prioritas bagi guru yang ingin menyekolahkan anaknya di sekolah negeri atau tempat guru mengajar.
PPDB zonasi perlu bertransformasi jika hendak dipertahankan dan dilihat sebagai sebuah sistem yang dinamis.
Selama ini, kuota bagi guru sebagaimana diatur dalam Permendikbud No 1/2021 Pasal 13 Ayat (3) dan Pasal 23 Ayat (2) digabungkan dengan kuota perpindahan tugas orangtua atau wali dengan persentase paling banyak 5 persen dari daya tampung sekolah. Itu pun guru apabila ingin menyekolahkan anaknya di tempat ia mengajar, posisinya bukan sebagai prioritas utama, melainkan harus bersaing dan hanya dapat mengisi berdasarkan sisa kuota dari perpindahan tugas orangtua atau wali, seperti PNS non-guru, TNI, dan Polri.
Kelima, sekolah melakukan transaksi dengan calon orangtua peserta didik berupa pungutan ataupun penarikan sumbangan agar bisa memperoleh jalur khusus PPDB dengan cara berbayar.
Salah satu contoh diungkapkan Kepala Ombudsman Bangka Belitung Shulby Yozar Ariadhy, di Bangka Belitung masih ditemukan adanya penambahan rombongan belajar atau kelas di beberapa sekolah negeri dengan dalih perjanjian antara sekolah dan calon orangtua agar mau dibebani tambahan biaya untuk sarana-prasarana sekolah.
Keenam, minimnya kuota melalui jalur prestasi. PPDB dianggap mengabaikan keadilan bagi mereka yang berprestasi sebab porsi penerimaan mereka jauh lebih kecil dibandingkan yang berasal dari jalur zonasi dan afirmasi.
Prestasi hanya ditempatkan sebagai kuota sisa dalam PPDB setelah jalur zonasi dengan persentase di SD (paling sedikit 70 persen), SMP (paling sedikit 50 persen), SMA/SMK (paling sedikit 50 persen), jalur afirmasi (paling sedikit 15 persen), dan jalur perpindahan tugas orangtua/wali (paling banyak 5 persen) terpenuhi. Ditambah kritik bahwa definisi, kriteria, dan penilaian di jalur prestasi dianggap masih membingungkan.
Ketujuh, persoalan penerimaan jalur disabilitas. Persoalan disabilitas belum diuraikan secara rinci di beberapa regulasi PPDB. Kriteria penyandang disabilitas seperti apa yang bisa dibaurkan bersama peserta didik nondisabilitas?
Apakah disabilitas sensorik, disabilitas fisik, disabilitas intelektual, ataukah disabilitas mental? Sudah tepatkah kelas inklusi, di mana mereka yang disabilitas dibaurkan dengan nondisabilitas, di tengah minimnya sekolah negeri (reguler) menyediakan infrastruktur yang ramah disabilitas, guru-guru yang mengerti model pendidikan luar biasa, serta konselor dan dokter yang biasa mendampingi beberapa jenis disabilitas?
Kedelapan, persepsi masyarakat mengenai masih adanya sekolah negeri dengan kategori unggulan dan nonunggulan. Seharusnya PPDB jalur zonasi mampu mengubah cara pandang masyarakat bahwa sekarang ini semua sekolah negeri memiliki kedudukan sama, dilihat berdasarkan zonasi, sehingga tak ada lagi yang disebut sekolah unggulan ataupun sekolah nonunggulan.
PPDB dianggap mengabaikan keadilan bagi mereka yang berprestasi sebab porsi penerimaan mereka jauh lebih kecil dibandingkan yang berasal dari jalur zonasi dan afirmasi.
Namun, faktanya branding terhadap sekolah tertentu masih ada sehingga banyak orangtua memaksakan anaknya agar dapat masuk di sekolah negeri yang masih dianggap sebagai unggulan.
Solusi PPDB
Solusi yang bisa ditawarkan untuk perbaikan sekolah zonasi tentu harus dimulai dari PPDB. Pertama, pemerintah perlu terus mengampanyekan nilai-nilai kejujuran dan kepatuhan administrasi dalam setiap pembukaan PPDB. Masyarakat perlu diberi pemahaman mengenai dampak dari pemalsuan dokumen kependudukan yang bisa menganulir status calon peserta didik yang sudah diterima di sekolah dan menjerat seseorang masuk ranah hukum sebagaimana diatur dalam KUHP.
Pelaksanaan PPDB semestinya melibatkan lintas sektor, mulai dari aparat penegak hukum, inspektorat, kementerian dan dinas kependudukan, kementerian/dinas sosial, kementerian/dinas kesehatan, kementerian/dinas pendidikan, hingga persekolahan. Perlu dibentuk semacam satgas atau gugus patroli PPDB yang secara berjenjang berdasarkan kewenangannya melakukan sosialisasi, pengawasan, verifikasi (validasi dokumen dan penelusuran faktual), serta bertindak tegas untuk setiap temuan pelanggaran. Jangan diabaikan peran masyarakat, jurnalis, dan media sosial dalam melakukan kontrol sosial serta membantu satgas atau gugus patroli dalam memantau jalannya PPDB.
Baca juga : Jatuhkan Sanksi Tegas untuk Semua Pihak yang Curang di PPDB
Kedua, pemerintah harus memetakan kembali jumlah sekolah dan jumlah anak usia sekolah di semua daerah untuk memastikan ketersediaan akses pendidikan serta terus mendorong pembangunan sekolah-sekolah baru di semua jenjang secara merata dan mampu menjangkau masyarakat sampai ke pelosok, serta dengan dukungan sarana-prasarana dan daya tampung yang memadai.
Pemerintah juga perlu mengkaji kembali relevansi dan keberadaan sekolah terbuka sebagai lembaga formal yang dapat mendukung sekolah reguler dengan memberikan layanan pendidikan, terutama bagi anak-anak kurang mampu yang memiliki keterbatasan waktu karena harus membantu orangtua bekerja atau terkendala wilayah geografis.
Ketiga, pemerintah harus memberikan penghargaan terhadap profesi guru dengan membuka akses layanan pendidikan dalam PPDB berupa kuota khusus dengan jumlah proporsional bagi calon peserta didik yang berasal dari anak guru agar bisa bersekolah di tempat orangtuanya mengajar atau di lingkungan tempatnya tinggal. Begitu pun mengenai perlunya penambahan kuota persentase bagi calon peserta didik jalur prestasi. Selain sebagai penghargaan bagi mereka yang telah menorehkan prestasi, hal itu juga untuk meningkatkan mutu sekolah serta daya saing dan atmosfer berprestasi di kalangan peserta didik.
Keempat, jika pemerintah masih ingin menerapkan kebijakan kelas inklusi, harus dirinci secara jelas dan komprehensif dalam regulasi PPDB perihal kriteria penyandang disabilitas seperti apa yang secara medis, pedagogis, dan sosial masih masuk dalam kategori memungkinkan untuk berbaur. Juga kriteria seperti apa yang membuat penyandang disabilitas tidak dimungkinkan dibaurkan dengan yang lain.
Secara operasional, pemerintah perlu membuat pedoman yang mengatur layanan pendidikan bagi penyandang disabilitas di sekolah reguler. Pemerintah harus menambah dan mengubah infrastruktur, seperti pembangunan jalur, tangga landai, kelas, meja, kursi, toilet, dan lapangan, agar ramah pada penyandang disabilitas. Juga memberikan pelatihan bagi guru sekolah reguler agar memiliki keterampilan tambahan dalam mendidik dan melayani peserta didik penyandang disabilitas.
Kelima, untuk menghilangkan persepsi masyarakat mengenai sekolah unggulan dan nonunggulan sehingga orangtua mau menyekolahkan anaknya di sekolah mana pun, terutama di sekolah yang dekat dengan zonasinya, pemerintah harus melakukan gerakan kampanye ataupun sosialisasi terus-menerus di masyarakat. Ini dilakukan berbarengan dengan program peningkatan mutu profesionalisme guru dan sarana-prasarana pendidikan di semua sekolah sehingga tidak ada kesenjangan mutu guru dan sarana-prasarana antara satu sekolah dan sekolah lain.
Masyarakat juga perlu diberi pemahaman bahwa kebijakan pendidikan gratis di sekolah negeri sepatutnya diprioritaskan bagi mereka yang kurang mampu.
Masyarakat juga perlu diberi pemahaman bahwa kebijakan pendidikan gratis di sekolah negeri sepatutnya diprioritaskan bagi mereka yang kurang mampu. Sementara mereka yang mampu sebaiknya diarahkan agar dapat memilih sekolah swasta.
Keenam, disarankan agar pemberian kuota bantuan pendidikan gratis bagi peserta didik kurang mampu juga melibatkan dan menjangkau sekolah-sekolah swasta, terutama mereka yang sudah sejak lama membantu pemerintah dalam menjalankan misi sosial mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuannya, agar calon peserta didik kurang mampu masih bisa dapat layanan pendidikan gratis di sekolah swasta dengan bantuan pemerintah jika daya tampung di sekolah negeri tidak mencukupi.
Pada akhirnya, apabila pemerintah ingin mempertahankan sekolah zonasi, pemerintah jugalah yang harus menjadi garda terdepan dalam mengevaluasi, mengembangkan, dan menyusun berbagai kebijakan baru sebagai bentuk transformasi sekolah zonasi. Tentu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan. Jangan sampai sekolah dan PPDB zonasi yang bermisi keadilan justru malah menampakkan ketidakadilannya dalam alam realitas.
Sumardiansyah Perdana Kusuma, Ketua Departemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat PB PGRI; Pendiri Pusat Studi Pendidikan Publik; Guru SMAN 13 Jakarta