Akselerasi Pembelajaran Bermakna
Kualitas pendidikan kita tak kunjung membaik, bahkan merosot. Harus ada tobat nasional dan revolusi mendasar untuk mengatasi ketertinggalan pendidikan supaya bersekolah identik dengan pembelajaran bermakna.
Tanpa upaya strategis, menurut Bank Dunia (2019), Indonesia membutuhkan waktu 50 tahun untuk mencapai skor rata-rata Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi/OECD (Kompas, 1 Juli 2023). Perhitungan Bank Dunia itu muncul sebelum era pandemi.
Artinya, ada kemungkinan setelah pandemi muncul, kita membutuhkan waktu yang lebih lama lagi untuk mencapai skor rata-rata tersebut. Sebab, menurut Bank Dunia, learning loss di Indonesia diprediksi 0,9-1,2 tahun (Kompas, 27 September 2021).
Pada saat yang sama, sebelum pembelajaran tatap muka secara terbatas dilakukan, ada estimasi bahwa skor kita di PISA akan merosot hingga 25 poin. Namun, pandemi bukanlah hantu utama yang membuat kualitas pendidikan kita buruk. Justru, sejatinya, tanpa pandemi, banyak pihak sudah membuat studi bahwa pendidikan kita mengalami perlambatan.
Menurut Profesor Lant Prichett dalam tajuknya, ”The Need for a Pivot to Learning: New Data on Adult Skills from Indonesian”, kita tertinggal 128 tahun dalam tiga hal: ketidaksetaraan sosial dalam negara, kemampuan ekspansi pendidikan yang minim, hingga kemajuan yang sangat lambat.
Baca juga: Siswa SD Indonesia Alami ”Learning Loss” 11 Bulan
Terkesan mengada-ada hasil studi tersebut. Namun, jika diperiksa secara obyektif, simpulan Prichett benar adanya. Terkait ketertinggalan karena ketidaksetaraan sosial, misalnya, sudah tak terbantahkan lagi. Betapa tidak? Kita selalu membuat penanganan pendidikan berdasarkan prinsip perkotaan seakan itu sudah bisa menjawab permasalahan pendidikan di perdesaan.
Prinsip zonasi, misalnya, hanya cocok di perkotaan, tetapi tidak untuk di perdesaan. Banyak sekali siswa miskin, bahkan yatim piatu, yang tinggal di pinggiran perdesaan akhirnya putus sekolah karena tak diterima di sekolah negeri.
Layak belajar
Sekolah swasta tentu bukan pilihan bijaksana bagi siswa miskin. Selain berada di pusat kabupaten, biaya sehari-hari dan uang sekolah akan semakin mencekik leher. Hal itulah yang membuat gap pendidikan kita semakin dalam. Pada hasil PISA 2015, hal itu terlihat jelas bahwa perbedaan skor rata-rata antara siswa dari kelompok dengan status sosial ekonomi terendah dan tertinggi mencapai 60 poin.
Data buruk ini merupakan dampak dari salah kelola anggaran pendidikan. Fakta bahwa anggaran pendidikan kita memang sangat tinggi. Namun, tingginya anggaran itu hanya dinikmati masyarakat tertentu di perkotaan.
Yang jauh lebih miris dari angka putus sekolah sebenarnya adalah angka layak belajar. Sebab, fakta bahwa bersekolah tidak menjamin kualitas belajar.
Toh, masih banyak angka putus sekolah. Pada akhir 2021, Pusat Data dan Teknologi Informasi (Pusdatin) mencatat bahwa 38.116 siswa SD, 15.042 siswa SMP, dan 22.085 siswa SMA/SMK putus sekolah. Semua angka itu terjadi dominan karena persoalan kemiskinan (Kompas, 28/2/2022).
Jangan dikira bahwa angka putus sekolah ini sekadar angka. Yang jauh lebih miris dari angka putus sekolah sebenarnya adalah angka layak belajar. Sebab, fakta bahwa bersekolah tidak menjamin kualitas belajar. Artinya, sekolah gratis tidak otomatis menjadi sekolah yang layak.
Hal itu terjadi karena ketidakadilan dalam penganggaran pendidikan kita. Data Unicef menyebutkan bahwa hampir setengah dari anggaran pendidikan Indonesia hanya dinikmati sekitar 10 persen penduduk. Sebaliknya, 90 persen lagi hanya menikmati tanpa kualitas.
Jika ditelisik secara lebih mendalam, sekitar 20 persen siswa kaya menerima 18 kali lebih banyak aneka fasilitas daripada 20 persen siswa miskin. Karena itu, rataan hasil pendidikan kita selalu rendah. Padahal, dalam laporan PISA (2016) bertajuk ”Excellence dan Equity in Educatuion” dengan tegas direkomendasikan bahwa yang diperjuangkan adalah kemerataan, bukan keunggulan.
Baca juga: Rapor Merah Pendidikan
Celakanya, kita selalu mengutamakan keunggulan melalui berbagai skema seleksi. Dampaknya, para siswa yang terseleksi selalu mendapat sokongan bantuan dari pemerintah setempat. Sementara itu, siswa lainnya diabaikan karena dianggap kurang pantas.
Artinya, selama ini kita terlalu fokus pada yang terseleksi sehingga lupa pada proses pendidikan secara utuh dan holistik. Padahal, siswa terseleksi di sekolah favorit tidak selalu mencerminkan kualitas pembelajaran. Di negara ini, sekolah yang menekankan kualitas pembelajaran hanya 1 persen. Sisanya hanya mengandalkan best input (Tom J Parkins, 2003).
Celakanya lagi, sokongan bantuan selalu menyasar pada sekolah favorit dan luput dari sekolah pinggiran. Kita selalu mendewakan sekolah unggulan. Kita tidak tahu bahwa sekolah unggulan tidak selalu menjanjikan kualitas pembelajaran. Mereka hanya ibarat bibit unggul yang kemudian selalu dirawat dan dipupuk.
Sementara itu, siswa di sekolah non-unggulan diabaikan karena dianggap ibarat bibit lapuk. Ajaibnya, proses pendidikan kita selalu diuji dengan mata pisau yang sama. Betapapun telah terjadi ketidakadilan karena selalu menuntut keunggulan dengan mengacu standar pada sekolah-sekolah favorit, kita tak kunjung merefleksi proses terselubung di baliknya.
Sokongan bantuan selalu menyasar pada sekolah favorit dan luput dari sekolah pinggiran. Kita selalu mendewakan sekolah unggulan.
Hal yang sama juga kiranya identik dengan ketertinggalan kedua (kemampuan ekspansi pendidikan yang minim). Banyak sekolah dibangun, tetapi tak banyak sekolah yang bangkit. Sekolah selalu lamban untuk bebenah. Itu artinya bahwa siswa yang hanya mengenyam pembelajaran di sekolah umum tidak akan mengalami kemewahan belajar.
Hal inilah kiranya yang dilirik pelaku usaha bimbingan belajar sebagai lahan basah untuk bisnisnya. Maka lihatlah, kian kemari, bimbel semakin merayap. Hingga kini, sudah ada 15.000 lebih bimbel di Indonesia dan beberapa juga tampil secara daring dan atraktif.
Tobat nasional
Mirisnya, di sejumlah daerah, tanggung jawab guru mulai diserahkan kepada para tutor di bimbel. Saya bertanya kepada para siswa, mereka mengatakan bahwa jikalau hanya mengandalkan proses belajar di sekolah, mereka tak lagi percaya diri.
Nah, yang paling memprihatinkan sebenarnya adalah catatan ketiga Prichett: perihal kemajuan yang sangat lambat. Jangankan maju, banyak data justru menunjukkan bahwa kualitas pendidikan kita merosot. Sebagai bukti kecil, pada era 1990-2000 (sebelum APBN pendidikan dinaikkan), kita mencatat rata-rata perkembangan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 1,36 persen. Pada 2000-2010, IPM kita justru menurun menjadi 0,93 persen dan merosot pada dekade berikutnya menjadi 0,78 persen.
Baca juga: IPM Indonesia: Barat dan Timur Terpaut Satu Dekade
Pada 1998, menurut UNDP, IPM kita berada pada pada urutan ke-103. Setelah pagu anggaran dinaikkan, pada 2020, IPM kita berada pada urutan ke-107. Dua kemungkinan yang jadi penyebabnya adalah kita melaju lambat dan negara lain melesat atau kita mengalami penurunan kualitas belajar. Namun, saya lebih percaya pada kemungkinan kedua, yaitu terjadinya penurunan kualitas belajar sehingga bersekolah tak berarti belajar secara bermakna.
Hal tersebut benar-benar terafirmasikan dengan studi Amanda Beatty (dkk) dengan simpulan bahwa kemampuan berhitung pelajar kelas II SMP pada 2014 setara dengan kemampuan siswa kelas V SD pada tahun 2000. Artinya, meski lama bersekolah, mereka tidak belajar secara bermakna.
Data lain juga identik: meski belajar 12,4 tahun, kemampuan siswa kita justru setara dengan 7,8 tahun (Human Capital Index, 2020). Karena itu, harus ada tobat nasional dan revolusi mendasar bagi kita untuk kembali mengejar ketertinggalan pendidikan supaya bersekolah identik dengan pembelajaran bermakna. Semoga!
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul-Humbang Hasundutan; Instruktur Sastra Digital Tingkat Nasional; Guru Penggerak Humbang Hasundutan; Pengurus PGRI Humbang Hasundutan; Koordinator P2G Humbang Hasundutan