Menduga dan Mencatat Hasil Sensus Pertanian 2023
Masalah pertanian di Indonesia sangat pelik dan arah pertanian Indonesia juga masih tetap seperti dahulu. Karena itu, Sensus Pertanian 2023 sudah bisa diduga hasilnya.
Sejak 1 Juni hingga 31 Juli tahun ini Badan Pusat Statistik menyelenggarakan Sensus Pertanian atau ST2023 yang merupakan Sensus Pertanian yang ketujuh kali sejak Republik ini didirikan. Sensus diadakan setiap sepuluh tahun sekali di tahun yang berakhiran 3 sebagai amanat Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik.
Kali ini sensus bertujuan menyediakan data tentang struktur pertanian sampai unit administrasi terkecil; menggambarkan tolok ukur statistik pertanian saat ini dan menyiapkan data untuk kerangka sampel pertanian lanjutan. Hasilnya berupa data pokok pertanian nasional untuk melengkapi data yang dapat menjawab seputar isu strategis terkini, perkembangan petani gurem, small scale food producer sesuai standar FAO, dan tersedianya data geospasial selain data tabuler.
ST2023 ini diharapkan dapat menjawab berbagai isu strategi yang bermunculan saat ini, antara lain pertanian di perkotaan atau urban farming, munculnya fenomena petani milenial, tentang modernisasi pertanian, dan isu kesejahteraan petani. Tampaknya BPS selama ini luput mendata kecenderungan berbagai fenomena baru ini dari berbagai sensus sebelumnya sehingga buru-buru BPS mendatanya untuk menggambarkan pertanian yang telah mulai maju, modern, dan mandiri yang ditandai dengan adanya urban farming, petaninya yang milenial, dan penggunaan mesin pertanian yang modern.
Baca juga: Data Pertanian dan Kemiskinan di Desa
Namun, benarkah demikian? Apabila kita amati dari hasil sensus sebelumnya dan dari berbagai survei masih menunjukkan bahwa arah dan gambaran pertanian Indonesia masih tetap seperti yang dahulu, baik para petani pelakunya, tata kelola, permodalan, maupun segala aset sumber daya yang dimilikinya. Belum banyak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan ucapan dan penyampaian para pejabat pertanian di berbagai forum seminar dan webinar selama ini.
Untuk membuktikan antara ucapan dan realitas, maka hasil ST2023 yang akan membuktikan kebenaran yang akan dipublikasikan akhir tahun ini. Namun, diyakini dugaan hasilnya tidak akan jauh dari dugaan hasil isu strategis yang penulis akan sampaikan.
“Urban farming”
Sebagai contoh isu tentang maraknya urban farming lima tahun terakhir dan dipicu pula oleh merebaknya pandemi Covid-19 yang berlangsung sejak 2020. Pandemi menyebabkan orang bekerja di rumah (work from home) atau banyak para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja menimbulkan lapangan kerja baru yang sesuai dan bersifat temporer di rumah sambil menunggu pandemi reda.
Orang ingin tetap bekerja di rumah dengan memanfaatkan secuil lahan yang dimilikinya. Dengan bertani sekadar mengisi waktu luang di rumah akibat pembatasan sosial, sambil memenuhi kebutuhan hidup secara swadaya. Dengan bertanam hidroponik sayur-mayur dan ternak ikan dan ayam kampung memang sukses untuk sementara waktu.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu dan meredanya pandemi, maka kegiatan urban farming model ini rontok satu per ”satu. Para ”petani” itu kembali ke kehidupan normal.
Kontribusinya tehadap produksi secara nasional relatif sangat kecil sehingga dapat dikatakan urban farming hanya sebagai alternatif pilihan yang menandakan ada petani perkotaan.
Petani perkotaan yang sejati adalah petani yang berbudidaya tanaman sayuran, buah, dan ternak ikan serta unggas yang relatif terintegrasi dan dapat berkembang di lahan yang sempit di daerah perkotaan atau pinggiran kota (urban dan sub urban). Kontribusinya tehadap produksi secara nasional relatif sangat kecil sehingga dapat dikatakan urban farming hanya sebagai alternatif pilihan yang menandakan ada petani perkotaan belum berarti sama sekali dibandingkan petani pada umumnya yang banyak di pedesaan. Mungkin budidaya urban farming ini menarik bagi sebagian generasi muda untuk menjadi petani perkotaan, tetapi jumlahnya masih sedikit dibandingkan petani umum.
Pemerintah telah banyak memberikan pelatihan kepada generasi muda agar mau terjun menjadi petani. Namun, lagi-lagi melihat medan dan tata kelola lahan sempit yang dimiliki, maka mereka mundur teratur. Atau bergerak di lahan yang relatif sempit dengan menanam komoditas yang sesuai, misalnya menjadi petani hortikultura, hidroponik terintegrasi dengan ternak kecil.
Petani milenial
Isu kedua yang ingin disampaikan oleh BPS adalah petani milenial. Penulis meyakini isu ini untuk menunjukkan adanya alih generasi petani saat ini. Petani umum saat ini adalah petani generasi baby boomers yang lahir pada 1946-1964 dan generasi X yang lahir pada 1965-1980. Generasi petani ini sudah menua, hampir 70 persen berumur lebih dari 50 tahun serta 80 persen berpendidikan dasar paling tinggi SMP (Sakernas BPS, 2021).
Dengan umur menua dan berpendidikan rendah serta memiliki lahan rata-rata di bawah setengah hektar, maka gambaran petani ini adalah petani yang tidak ada inovasi dan gaptek (gagap teknologi). Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari petani ini untuk meningkatkan produksi dan produktivitas. Alih generasi petani mandek dan generasi muda yang relatif lebih terdidik dan melek teknologi yang tentu bersiap untuk menggantikannya belum terjadi.
Melihat aset sumber daya yang tidak memenuhi skala ekonomi para calon petani milenial ini urung menggantikannya. Akibatnya, alih generasi tidak terjadi dan pertanian berjalan biasa-biasa saja seperti bussines as usual. Stagnan.
Baca juga: ”Food Estate” dan Petani Milenial
Berdasarkan data Sakernas BPS 2021, petani Indonesia berjumlah 38,77 juta jiwa. Dari total petani itu adalah petani generasi X sebanyak 38,02 persen diikuti generasi baby boomers sebanyak 34,41 persen. Sedangkan generasi milenial (lahir 1981-1996) hanya berjumlah 21,93 persen, dan generasi Z yang lahir di rentang 1997-2008 hanya 2,24 persen.
Seyogianya untuk menarik petani milenial yang relatif berpendidikan tinggi ini pemerintah dapat menyiapkan kondisi agar terjadi alih generasi dengan kondisi ketersediaan lahan yang berskala ekonomis dengan pendekatan korporasi. Namun, ini tidak dilakukan pemerintah. Kalaupun dilakukan, hanya dengan setengah hati dan tidak berkelanjutan.
Modernisasi pertanian
Dalam kondisi kepemilikan lahan yang semakin sempit karena banyaknya konversi dan alih fungsi lahan, degradasi, fragmentasi, dan adanya ketimpangan kepemilikan lahan akan menghambat modernisasi pertanian. Berdasarkan data BPS, selama lima tahun (2023-2018), misalnya, telah terjadi pengurangan luas baku lahan baku sawah dari 7,7 juta hektar hanya menjadi 7,1 juta ha, yang berarti terjadi penciutan lahan 648.800 hektar. Ini menunjukkan setiap tahun terjadi rata-rata 130.000 hektar lahan sawah beralih fungsi menjadi lahan non-pertanian untuk pembangunan infrastruktur jalan tol, bandara, pelabuhan, daerah industri, perkantoran, perumahan (real estate), pertokoan, dan lainnya.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan (BBSDLP) Bogor memprediksi pada 2045 Indonesia hanya akan memiliki 5,1 juta hektar lahan baku sawah. Kondisi ini mengkhawatirkan, apalagi alih fungsi tersebut diikuti pula dengan degradasi lahan sebagai dampak pemakaian pupuk kimia dan pestida bertahun-tahun yang menurunkan kesuburan fisik tanah. Menurut BBSDLP, 70 persen lahan sudah sakit karena kurangnya unsur organik khususnya unsur karbon dalam tanah.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Bogor memprediksi pada 2045 Indonesia hanya akan memiliki 5,1 juta hektar lahan baku sawah.
Keinginan untuk modernisasi pertanian diperparah pula oleh adanya ketimpangan kepemilikan lahan. Ketimpangan ini seperti dilaporkan oleh interCAFEipb, cukup tinggi yang mencapai 0,68. Artinya, hanya 1 persen penduduk memiliki aset dan kepemilikan lahan. Tentu ini akan menghambat modernisasi pertanian dari bawah karena petani tidak memiliki kepastian akan lahan yang dimilikinya.
Petani gurem
Dari ST 2003 dan ST2013, petani gurem di Indonesia turun dari 14,25 juta menjadi 9,48 juta atau menurun 25,07 persen. Turunnya 4,77 juta rumah tangga petani gurem yang memiliki luasan lahan paling banyak 0,50 hektar ini menarik dicermati. Ke mana mereka? Jumlahnya yang cukup banyak ini ternyata mereka menjadi migrant circuler. Tanah yang sudah sempit itu mereka sewakan atau jual kepada pemilik lahan lainnya atau para pemodal, kemudian mereka merantau ke kota menjadi buruh bangunan dan mengisi sektor informal lainnya.
Pulang ke kampung setelah cukup mengumpulkan uang, dan kembali ke kota untuk mencari nafkah lagi. Fenomena ini terlihat di sepanjang jalan pintu masuk tol atau tempat lainnya yang merupakan konsentrasi pekerja migrant circuler. Mengontrak rumah sederhana bersama teman-temannya sekampung dan pulang bergiliran.
Baca juga: Semakin Gurem
Ketika pulang lahannya telah berganti pemilik, yaitu orang kota atau pemodal yang semakin menguasai lahan dan posisi menjadi terbalik. Kini mereka memburuh dan menghamba kepada majikan yang baru. Di sini antara lain kita melihat kesulitan Bulog untuk membeli gabah petani karena harganya lebih tinggi dari harga acuan yang telah ditetapkan pemerintah. Penguasa lahan atau majikan baru malahan memiliki gudang dan tempat penggilingan padi bersaing dengan Bulog yang mengandalkan mitranya di lapangan.
Fenomena petani gurem yang semakin menurun jumlahnya terus akan berlangsung dan dihasilkan dari ST2023, yang makin memperjelas bahwa sesungguhnya modernisasi pertanian itu terjadi dari luar bukan dari dalam petani itu sendiri. Petani yang saat ini masih didominasi oleh petani baby boomers dan generasi X akan habis dengan sendirinya karena usia dan tergantikan oleh generasi petani lain yang lebih berpendidikan, muda, melek teknologi, dan melihat pertanian itu sebagai sesuatu usaha bisnis besar.
Generasi baru petani
Pemerintah adakalanya ”lupa” akan berbagai fenomena atau isu strategis yang ada. Terlalu mengandalkan adanya kelompok tani. Pendekatan ini tidak salah, tetapi mengabaikan perkembangan lain yang justru berkembang maju, yaitu tumbuhnya asosiasi usaha, kelompok bisnis, dan jasa perdagangan dan permodalan juga perlu diperhatikan.
Organisasi di luar kelompok tani sudah selayaknya diajak bicara bersama untuk memecahkan masalah. Mencari solusi bersama yang win win solution.
Baca juga: Salah Perspektif dalam Solusi Pertanian Anak Muda dan Teknologi Digital
Walhasil, ST2023 sudah dapat diduga hasilnya, yaitu jumlah petani gurem akan semakin turun, kontribusi nyata urban farming belum terlihat, modernisasi dan alih generasi petani masih mandek, dan kehadiran petani milenial belum menampakkan hasilnya karena belum diberi akses lahan. Selain itu masalah besar pertanian Indonesia ke depan adalah konversi dan alih fungsi lahan yang masif, degradasi/kerusakan lahan yang memerlukan bahan organik, dan terjadinya fragmentasi lahan. On top of that penyelesaian ketimpangan kepemilikan lahan yang tinggi sehingga kepemilikan menjadi tidak merata.
Tentu kita dengan harap cemas menunggu dan dapat mencatat agregat hasil produksi, produktivitas, dan populasi hasil pertanian dan perikanan nanti di akhir tahun. Sungguh pelik masalah pertanian.
M Chairul Arifin, Purnabakti Kementan, Alumni Unair