Kelompok rentan memiliki hak politik yang sama seperti warga negara lain, tetapi memiliki kapasitas yang lemah sehingga negara harus hadir memenuhi hak politik mereka.
Oleh
MIMIN DWI HARTONO
·3 menit baca
Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan daftar pemilih tetap (DPT) untuk Pemilu 2024, sebanyak 204,8 juta orang yang akan menggunakan hak pilihnya di 823.220 tempat pemungutan suara. Jumlah pemilih di Pemilu 2024 sekitar 12 juta lebih banyak dibandingkan dengan DPT di Pemilu 2019. Pemilih dalam negeri berjumlah 203.056.748 orang, sementara pemilih di luar negeri sebanyak 1.750.474 orang.
Dari sekian ratus pemilih itu, ada sekitar 1,1 juta orang yang dikategorikan sebagai penyandang disabilitas, yang merupakan salah satu kelompok rentan. Padahal diduga, jumlah penyandang disabilitas yang telah memiliki hak politik lebih dari itu. Faktor pendataan penyandang disabilitas berdasarkan nama, tempat tinggal, dan ragam disabilitas menjadi tantangan dalam setiap pemilu.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Selain penyandang disabilitas yang mengalami tantangan dalam pendataan, terdapat kelompok rentan lain yang wajib dipenuhi hak politiknya dalam pemilu, antara lain pekerja rumah tangga, pekerja migran, pengungsi internal, pemilih pemula, masyarakat adat, dan masyarakat di perbatasan/kepulauan terpencil. Pendataan bagi kelompok rentan sangat penting karena mereka memiliki hak politik yang sama seperti warga negara lain, tetapi memiliki kapasitas yang lemah sehingga negara harus hadir memenuhi hak politik mereka.
Untuk itu, Komnas HAM tengah menyusun Standar Norma dan Pengaturan tentang Hak-hak Pilih Kelompok Rentan dalam Pemilu. Ini sebagai pedoman dan tuntutan bagi negara dan penyelenggara pemilu dalam mengidentifikasi kelompok rentan dan langkah untuk memenuhi dan melindungi hak politiknya.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada Pasal 43 menegaskan, setiap orang berhak untuk dipilih dan memilih. Begitupun Pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 yang menegaskan hak pilih sebagai hak asasi manusia, termasuk bagi kelompok rentan.
Fasilitas khusus
Kelompok rentan, berbeda dengan warga negara lainnya, mempunyai kerentanan, baik karena faktor sosial, ekonomi, budaya, politik, maupun fisik, sehingga harus difasilitasi secara khusus dalam mempergunakan hak politiknya, yaitu hak pilih, hak untuk dipilih, dan hak menjadi penyelenggara pemilu. Negara harus memastikan setiap individu kelompok rentan tercatat dalam daftar pemilih tetap sehingga dapat mempergunakan dan menikmati hak politiknya secara bebas dan merdeka.
Pentingnya pemenuhan hak politik karena ia melekat pada setiap orang yang sudah memenuhi syarat untuk turut serta menentukan jalannya pemerintahan. Kelompok rentan punya hak yang sama dengan warga negara lain untuk berpartisipasi dalam pemilu. Hak politik adalah instrumen dari pemberdayaan rakyat untuk mewujudkan pemerintahan yang kredibel dan demokratis, termasuk untuk memperjuangkan hak-hak kelompok rentan.
Negara harus memastikan setiap individu kelompok rentan tercatat dalam daftar pemilih tetap sehingga dapat mempergunakan dan menikmati hak politiknya secara bebas dan merdeka.
Oleh karena itu, sarana dan prasarana bagi terwujudnya pemilihan umum yang adil, transparan, dan jujur harus terpenuhi. Penyelenggara pemilu—dalam hal ini KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan penyelenggara Pemilu (DKPP)—berkewajiban mewujudkannya dengan partisipasi masyarakat dan aktor nonnegara, misalnya lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan partai politik.
Kewajiban negara dalam penyelenggaraan pemilu secara umum adalah menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fulfil) hak politik setiap warga negara tanpa terkecuali. Bagi kelompok rentan, dimensi penghormatan atas hak politik direfleksikan dalam bentuk kebebasan pemegang hak pilih untuk mempergunakan ataupun tidak mempergunakan hak pilihnya, haknya untuk maju dalam kontestasi pemilu, dan haknya menjadi bagian dari penyelenggara pemilu.
Tak seorang pun atau institusi mana pun yang diperbolehkan menekan atau memaksa pemegang hak pilih untuk memilih calon tertentu. Apabila ada pemaksaan, terjadi pelanggaran hak asasi manusia berupa tercerabutnya atau terkuranginya penikmatan hak pilih dan kemerdekaan seseorang dalam mempergunakan hak politiknya.
Potensi adanya pemaksaan atau rekayasa hak politik kelompok rentan sangat besar, misalnya pemilih di daerah perbatasan dengan negara lain atau daerah terpencil tidak pernah mempergunakan haknya tetap di laporan pemungutan suara seolah-olah sudah memilih.
Kemudian dimensi pelindungan hak politik adalah kewajiban negara untuk melindungi hak politik kelompok rentan dari tindakan pihak ketiga. Misalnya tindakan calon legislator atau tim sukses calon atau partai politik yang memaksa atau mengancam seseorang atau kelompok rentan untuk memilih calon tertentu.
Negara harus menjamin setiap kelompok rentan punya kemerdekaan dalam mempergunakan atau tidak mempergunakan hak politiknya. Suasana yang aman dan nyaman menjadi prasyarat penting dalam perlindungan hak politik. Di aspek ini, tahanan/narapidana adalah kelompok yang rentan untuk dimobilisasi mendukung calon tertentu, selain pekerja migran dan buruh industri.
Dimensi pemenuhan HAM dalam pemilu adalah kewajiban negara untuk merealisasikan penyelenggaraan pemilu yang bebas dan demokratis. Pemilu membutuhkan biaya yang sangat besar, ratusan triliun rupiah, yang di antaranya untuk membiayai operasional dan tahapan kegiatan pemilu yang dilaksanakan oleh lembaga penyelenggara pemilu, serta untuk menyediakan logistik dan sarana yang memadai. Selain itu adalah penting jaminan keamanan dalam penyelenggaraan pemilu sehingga perlu dana yang memadai bagi polisi dan TNI.
Pemenuhan HAM juga terkait dengan kewajiban negara untuk memberikan pendidikan politik bagi kelompok rentan maupun terhadap partai politik. Hal ini sangat mendasar untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas. Pemegang hak politik yang kritis tidak hanya akan mampu memilih calon secara kritis, tetapi juga akan ”memaksa” partai politik untuk menetapkan calon yang kapabel dan kredibel. Aspek pemenuhan ini sangat terkait dengan hak pilih kelompok rentan.
Pemilu berbasiskan HAM akan menjamin proses dan hasil pemilu yang berkualitas sehingga terbentuk pemerintahan yang kredibel yang menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Pemilu menjadi ruang publik bagi negara, partai politik, dan warga negara untuk berinteraksi secara konstruktif dan aktif dalam membangun sistem dan mekanisme pemerintahan yang diinginkan rakyat khususnya kelompok rentan. Pemilu yang berkualitas akan membentuk penyelenggara pemerintahan yang memiliki legitimasi sosial dan politik yang kuat untuk menyejahterakan rakyat dan menjunjung tinggi HAM.