Semangat pascakolonial bersorak nyaring dalam novel ”Bumi Manusia”. Namun, novel itu terbit di Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih berkubang dalam watak kolonial dan antikolonial.
Oleh
Ariel Heryanto
·4 menit baca
”Adil sejak dalam pikiran” menjadi salah satu kutipan terpopuler di kalangan terpelajar. Bahkan, ia telah mengilhami terciptanya sebuah lagu cantik (2019) dengan judul yang sama. Di Google search ungkapan itu (dengan tanda kutip) menghasilkan sekitar 16,000 tautan.
Kutipan itu selengkapnya berbunyi ”Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Banyak yang tahu kalimat itu disusun oleh penulis sastra terbesar Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Namun, agaknya tidak banyak yang tahu kapan kalimat itu muncul, di mana, apa konteksnya dan ditujukan pada siapa. Mungkin tak banyak yang peduli.
Ia tampil benderang dalam novel Bumi Manusia (1980). Walau dilarang dan dibakar pemerintah Orde Baru, novel itu dibaca khalayak luas hingga dicetak ulang 20 kali. Juga terbit dalam puluhan bahasa dunia dan difilmkan dengan judul sama (2019). Asal-usul kutipan ”adil sejak dalam pikiran” pernah saya tanya kepada beberapa terpelajar Indonesia yang mengenalnya. Mereka mengaku tidak tahu walau sudah membaca Bumi Manusia.
Bagi sebagian orang, soal itu mungkin tidak penting. Tapi penting bagi yang lain, termasuk saya. Ini berkait dengan sikap adil pada sejarah nasional, pada kutipan itu sendiri dan semangat pascakolonial dalam seluruh novel Bumi Manusia.
Ucapan ”adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” tidak keluar dari bibir Minke, tokoh utama dalam Bumi Manusia. Itu nasihat yang ditujukan padanya. Tidak juga datang dari Nyai Ontosoroh, tokoh penting lain dalam novel itu. Ucapan itu datang dari Jean Marais, sahabat dekat Minke, sebagai nasihat agar Minke tidak terpengaruh pandangan umum yang merendahkan para nyai dalam masyarakat kolonial.
Terdorong nasihat Jean Marais, Minke merasa lebih mantap menerima sosok Nyai Ontosoroh apa adanya. Dari situ kisah Bumi Manusia berkembang lebih seru hingga akhir. Berbeda dari kata-kata mutiara yang diucapkannya, sosok Jean Marais dan kisah hidupnya terlupakan. Padahal, kisahnya tidak kalah menarik dan mencerminkan berbagai kisah non-fiksi yang lazim dari masa kolonial. Mengapa?
Jean Marais bukan orang Belanda. Ia seniman Perancis. Tidak betah hidup di Eropa, ia merantau ke Maroko, Libya, Aljazair, dan Mesir sebelum tiba di Hindia Belanda. Demi kebutuhan nafkah, ia bekerja sebagai serdadu Hindia Belanda. Berbeda dari Minke, ia tak pernah mau berbahasa Belanda.
Pemerintah kolonial mengirim Jean Marais ke Aceh untuk menaklukkan perlawanan di sana. Namun, di tengah pertempuran ia berubah pikiran. Ia mengagumi perjuangan rakyat Aceh. Bahkan, ia jatuh cinta pada seorang tawanan perempuan Aceh (namanya tidak disebut). Pasangan itu kemudian dikarunai seorang anak putri, May Marais.
Sosok seperti Jean Marais mudah terabaikan dalam kerangka berpikir masyarakat yang terbentuk narasi sejarah resmi nasional. Narasi itu cenderung karikatural menggambarkan sejarah kolonial secara hitam-putih: penjajah Belanda serba jahat lawan terjajah pribumi sebagai korban. Nyaris tak ada ruang abu-abu, apalagi bagi sosok dengan warna-warni berbeda.
Semua yang berbeda dari dikotomi itu dipaksakan masuk dalam salah satu dari dua kubu yang bertolak belakang atau diabaikan. Sosok Jean Marais terpelanting keluar dari memori publik karena ia bukan Belanda putih yang jahat. Juga bukan pribumi coklat yang ditindas Belanda putih.
Novel semi-historis Bumi Manusia justru kaya warna-warni. Novel ini penuh dengan tokoh dan perilaku yang mengobrak-abrik dikotomi penjajah Belanda jahat lawan terjajah pribumi lugu. Jean Marais, Nyai Ontosoroh, Minke, Annelis hanya sebagian contohnya.
Dalam Bumi Manusia ataupun dalam kenyataan sejarah di luar novel, tentara kolonial tidak hanya terdiri dari orang Belanda. Jumlah penduduk Belanda di negeri mereka sendiri sangat kecil, apalagi di tanah jajahan mahaluas yang jauh. Dalam Bumi Manusia dikisahkan sebagian serdadu kolonial berasal dari Swiss, Jerman, Swedia, Belgia, Rusia, Hongaria, Romania, Portugis, Spanyol dan Italia.
Yang tersedia lebih banyak untuk direkrut jadi serdadu kolonial adalah kaum pribumi terjajah. Dalam mengenang 50 tahun proklamasi kemerdekaan RI (1995), almarhum YB Mangunwijaya pernah menulis di harian Kompas: ”Yang berperang melawan orang-orang Aceh itu sebagian terbesar serdadu-serdadu Jawa, Sunda, Ambon, Manado, Timor. Pangeran Diponegoro dulu tidak hanya ditumpas oleh tentara Belanda, tetapi juga oleh pasukan-pasukan pembantu dari semua empat raja Surakarta dan Yogyakarta ditambah semua bupati Bagelen dan Banyumas.”
Semangat pascakolonial bersorak nyaring dalam novel Bumi Manusia. Namun, novel itu terbit di Indonesia yang sebagian masyarakatnya masih berkubang dalam watak kolonial dan anti-kolonial. Semangat kolonial tampil dalam arogansi pejabat negara kontemporer yang menuntut disanjung dan dilayani rakyatnya, bukan melayani. Sedang yang anti-kolonial membalas rasisme kolonial masa lalu terhadap pribumi jelata dengan rasisme kontemporer terhadap semua yang dianggap non-pribumi.
Tidak mengherankan pemerintah Orde Baru menolak novel ini. Sementara pihak lain merayakan novel itu dengan semangat nasionalis sempit yang berwujud rasisme anti-Belanda bahkan anti-Barat secara umum. Maka, hingga kini masih penting bagi kita untuk ”belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”.
Kolonialisme Hindia Belanda berusia panjang. Ini berkat kerja sama berbagai pihak yang tidak setara, termasuk mereka yang terjajah, kecuali semasa perang revolusi 1945-1949. Sebagaimana dekolonialisme juga menuntut kerja sama berbagai pihak, termasuk mereka yang secara pribadi bisa diuntungkan oleh kolonialisme.
Raja dan pemerintah Belanda telah meminta maaf atas berbagai kesalahan dan kekejaman bangsa mereka di masa kolonial terhadap masyarakat mantan terjajah. Sebagian pihak menilai permintaan maaf itu tidak cukup berhenti di situ. Ada benarnya. Tanpa kerja sama dengan berbagai pihak lain, termasuk sebagian pihak yang terjajah, kolonialisme di mana pun tak mungkin berjaya dan bertahan lama.