Potensi hutan lebih sering dilihat dari perspektif ekonomi sehingga ”dimensi eksploitasi” lebih menonjol ketimbang konservasi.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Fenomena El Nino yang saat ini terjadi memunculkan sejumlah kesiagaan, termasuk risiko kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah di Tanah Air. Bahkan, musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih panjang daripada tiga tahun terakhir.
Kesiagaan menjadi keharusan, khususnya di wilayah Sumatera dan Kalimantan—dua daerah dengan kerentanan tinggi karhutla—yang memiliki riwayat kebakaran yang sulit dipadamkan hingga ”mengekspor” asap ke Singapura dan Malaysia.
Kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 dan 2019 merupakan dua kejadian terbesar dalam 10 tahun terakhir. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam bnpb.go.id menyebut, luas lahan terbakar 2019 mencapai 942.484 hektar (ha). Mengutip Bank Dunia, BNPB menyebut valuasi kerugian yang ditimbulkan setara dengan Rp 75 triliun.
Empat wilayah dengan cakupan dampak terbakar terbesar kala itu berturut-turut adalah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Selatan. Tahun ini, apel siaga kewaspadaan karhutla digelar di Pontianak, Kalteng.
Selain kewaspadaan dan kesiapan sarana dan prasarana di tingkat lokal ataupun nasional, kebijakan berorientasi lingkungan atau pembangunan berkelanjutan tidak bisa diabaikan. Kita sepakat bahwa daya dukung lingkungan harus diadaptasi dalam setiap pengambilan kebijakan.
Perspektif pembangunan berkelanjutan itu pula yang membuat rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur seluas 256.142 ha disorot sejumlah pihak dan sangat bisa dipahami. Sebab, untuk mewujudkannya harus membuka kawasan hutan yang luasannya terus berkurang, yang juga berisiko mengganggu ruang hidup masyarakat adat dan flora/fauna dilindungi.
Di tengah pembangunan kawasan inti pusat pemerintahan IKN seluas 6.671 ha, Pemerintah Provinsi Kaltim mengeluarkan revisi rencana tata ruang wilayah (RTRW) seluas 736.000 ha dengan 612.355 ha di antaranya pelepasan kawasan hutan. Saat ini, dokumen revisi sedang dikaji pemerintah pusat.
Sejumlah organisasi masyarakat sipil bidang lingkungan mengkritisi revisi RTRW itu. Kawasan hutan itu telah dibebani 156 izin konsesi perusahaan tambang, monokultur sawit skala besar, dan perkebunan kayu. Setidaknya ada 39 perusahaan yang akan bermain di sana.
Di sisi lain, hanya 94.404 ha yang ditujukan bagi kepentingan masyarakat. Ada masalah ketimpangan jika dibandingkan dengan kepentingan korporasi.
Selain persoalan ketimpangan alokasi, ada persoalan perspektif pembangunan. Kawasan hutan lebih dilihat dari aspek ekonomi produksi daripada aspek sosial dan jasa lingkungannya.
Terkait rencana pemindahan ibu kota di Kaltim, sejak awal Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa konsep IKN adalah ”kota hutan” atau forest city yang ditunjang mobilitas warga menggunakan moda transportasi berbasis energi baru terbarukan. Janjinya, membuka sedikit mungkin hutan alam.