Keputusan pengadaan pesawat terbang—apakah itu hibah, beli bekas, atau beli baru—harus merujuk perencanaan strategis jangka panjang, Bagi Indonesia, pengadaan pesawat baru jauh lebih menghemat dana daripada beli bekas.
Oleh
CHAPPY HAKIM
·4 menit baca
Pengadaan pesawat terbang, terutama untuk kebutuhan pertahanan keamanan negara, selalu mengundang pro-kontra, terutama di tahun politik seperti sekarang. Proses pengadaan dengan melibatkan dana yang besar bisa menjadi liar karena dikait-kaitkan dengan agenda politik lima tahunan.
Pada dasarnya, pengadaan pesawat terbang bisa dilakukan melalui hibah, membeli bekas, atau membeli pesawat baru (brand new). Pengadaan pesawat terbang bisa juga dilakukan dengan cara membuat sendiri atau pola kerja sama dengan mitra produksi (negara lain).
Pengadaan pesawat seyogianya merujuk pada perencanaan strategis jangka panjang dan terpadu sebagai unsur kekuatan tiga matra angkatan perang: Angkatan Darat (AD), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU).
Perencanaan strategis jangka panjang dari angkatan perang merupakan bagian dari rencana strategis jangka panjang sistem pertahanan keamanan negara yang hendak dibangun. Hal ini juga terkait dengan efisiensi penggunaan anggaran yang sangat besar, yang akan berpengaruh langsung terhadap kinerja dari sektor anggaran secara nasional (APBN).
Itu sebabnya, keputusan pengadaan pesawat terbang berada di tingkat strategis, dalam hal ini di strata Mabes TNI dan atau Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Angkatan, dalam hal ini AD, AL, dan AU, tidak memiliki wewenang dalam proses pengadaan pesawat terbang, dan hanya memiliki wewenang sebatas usulan saja.
Keputusan pengadaan pesawat terbang—apakah itu hibah, beli bekas, atau beli baru—selain harus merujuk pada perencanaan strategis jangka panjang, juga memerlukan masukan yang bersifat kajian akademik dan kajian lapangan yang up to date sesuai dengan perkembangan lingkungan dan perkiraan keadaan.
Kemajuan teknologi militer yang sangat cepat dan keterbatasan dana membuat proses pengambilan keputusan bagi pengadaan persenjataan menjadi tidak mudah dan cenderung rumit (complicated).
Itu sebabnya, di Australia untuk proses pengadaan alutsista di lingkungan angkatan perangnya, mereka membentuk satu institusi tersendiri yang berada di bawah Kemenhan, yang khusus mengurus proses pengadaan, dan diberi nama Defence Material Organization (DMO).
Di Inggris dikenal sebagai MoD Boscombe Down, sebuah institusi di bawah Kemenhan yang mengelola kelaikan dan kesiapan semua pesawat terbang Angkatan Perang Inggris, termasuk proses pengadaan.
Pengadaan pesawat terbang dengan model hibah, beli bekas dan beli baru, memerlukan waktu transisi yang cukup panjang dan relatif sama. Pesawat terbang bagi keperluan angkatan perang bukanlah barang yang mandiri dalam penggunaannya. Pesawat terbang adalah subsistem dari sistem yang lebih besar bernama sistem senjata.
Artinya, pesawat terbang memerlukan beberapa kesiapan sebelum dapat digunakan sebagai kekuatan perang. Diperlukan kesiapan SDM sebagai pilot, sebagai teknisi penerbangan, tenaga ahli peralatan teknik pemeliharaan, peralatan laboratorium kalibrasi bagi avionic (aviation electronic), Ground Support Equipment (GSE), dan banyak lagi lainnya.
Pengalaman menunjukkan, semua itu memerlukan waktu kesiapan terbang (flight readiness time frame) 2-3 tahun. Untuk siap tempur (combat readiness time frame tentu akan lebih lama lagi).
Lebih hemat
Bagi Indonesia, pengadaan pesawat baru akan jauh lebih menghemat dana dibandingkan dengan menerima hibah atau membeli pesawat terbang bekas pakai. Penyebabnya sederhana. Dengan membeli pesawat terbang baru, hal itu akan otomatis sejalan dengan prinsip catchup technology atau mengejar ketertinggalan teknologi.
Kemajuan teknologi pesawat terbang berjalan sangat cepat dan cenderung fantastis. Dengan memperoleh hibah atau membeli pesawat bekas, prinsip mengejar ketertinggalan teknologi menjadi nihil.
Di era abad digital, angkatan perang di seluruh dunia dalam pengelolaannya akan bersandar pada dua hal prinsip, yaitu kemajuan teknologi dan sistem pertahanan total (total defence). Dua hal prinsip yang menuntut cost yang besar. Pada titik inilah penggunaan dana pertahanan yang efisien akan jadi taruhannya.
Bagi Indonesia, pengadaan pesawat baru akan jauh lebih menghemat dana dibandingkan dengan menerima hibah atau membeli pesawat terbang bekas pakai.
Dari pengalaman 18 tahun lalu, dilihat dari tinjauan efisiensi penggunaan dana, jika ditanyakan kepada AU saat itu, jawabannya akan standar. Yakni, bahwa akan jauh lebih baik jika anggaran pengadaan pesawat—baik hibah, bekas, maupun baru—diarahkan untuk pemeliharaan guna menghidupkan armada pesawat terbang yang ada.
Realitasnya, ketika itu, kebutuhan dana pemeliharaan pesawat terbang bagi kesiapan terbang, apalagi kesiapan tempur (Combat Readiness), memang masih menghadapi banyak masalah. Kemungkinan, kondisi seperti itu sudah tidak terjadi lagi sekarang ini.
Ke depan, sudah saatnya kita memikirkan kemandirian dalam industri pesawat terbang militer. Sudah saatnya menyusun rencana strategis jangka panjang dengan penahapan jelas menuju berdikarinya industri persenjataan sebagai bagian dari program industri pertahanan nasional.
Teknologi persenjataan tengah memasuki era dunia siber dengan ciri-ciri penggunaan remote control, drone, artificial intelligence (AI) dan system autonomous. Teknologi canggih yang membutuhkan kemandirian dalam penataan sistem pertahanan keamanan negara yang andal dan total sifatnya.
Juga membutuhkan kemandirian dalam pengelolaan sistem komando dan pengendalian berbasis satelit. Membutuhkan kemandirian dalam penguasaan hardware (perangkat keras) dan software (perangkat lunak) sistem pertahanan nasional.
Dengan demikian, ke depan, proses pengadaan pesawat terbang bagi keperluan pertahanan keamanan negara tak lagi harus selalu mengundang kontroversi.