Tantangan peningkatan nilai tambah industri sawit bukan dimulai dari ekspansi lahan, melainkan pada upaya mendorong produktivitas tandan buah sawit. Lompatan produktivitas perlu dukungan teknologi dan inovasi.
Oleh
MAXENSIUS TRI SAMBODO
·2 menit baca
Dalam Tajuk Rencana Kompas, 1 Juli 2023, terkait ”Hulu ke Hilir Kelapa Sawit” tersurat harapan besar agar industri sawit semakin berintegritas. Penulis menilai, kebijakan Uni Eropa yang memberlakukan Undang-Undang Bebas Deforestasi Uni Eropa (EUDR) hendaknya dilihat sebagai peluang untuk secara konsisten melakukan perbaikan ekosistem industri sawit. Hal ini sejalan dengan pandangan Michael E Porter dan Claas van der Linde pada 1995 yang mengatakan produktivitas penggunaan sumber daya, kondisi lingkungan yang lebih baik, dan daya saing, semua bergerak bersama dan tidak ada yang harus dikorbankan.
Masalah di hulu
Konversi hutan menjadi lahan sawit masih menjadi isu yang sensitif baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kepala Sawit bertujuan melakukan moratorium sawit hingga 2021. Seiring berakhirnya moratorium tersebut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) berkomitmen untuk tidak memberikan perizinan baru. Upaya ini dilakukan untuk pencapaian target penurunan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan (forestry and other land uses/FOLU).
Dalam dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC), Indonesia sepakat mengatasi perubahan iklim, dan sektor FOLU memiliki target penurunan emisi paling tinggi dibandingkan dengan sektor lainnya. Hal ini menandakan, upaya penghentian alih fungsi hutan dan rehabilitasi hutan menjadi agenda prioritas demi pencapaian target kesepakatan Paris.
Meski demikian, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, terkait upaya ”pemutihan” terhadap 3,3 juta hektar izin berusaha sawit di kawasan hutan dapat menjadi langkah mundur. Terlebih, jika karut-marutnya perizinan ini melibatkan pejabat negara yang tidak bertanggung jawab.
Undang-Undang Cipta Kerja, Pasal 110a dan 110b, menyebutkan, perusahaan yang sudah telanjur beroperasi dalam kawasan hutan dan memiliki izin berusaha dapat terus berkegiatan asalkan melengkapi semua persyaratan dalam kurun waktu maksimal tiga tahun; dan untuk yang tidak memiliki izin berusaha, tetap dapat melanjutkan kegiatan usaha asalkan membayar denda administratif. Namun, bukan berarti pasal ini ”kebal” dari timbangan normatif yang melihat fakta akan ada atau tidaknya itikad baik perusahaan untuk melaksanakan komitmen perizinan yang telah diterima.
Bagaimanapun, kebijakan ini akan menjadi ”senjata” bagi negara Uni Eropa untuk semakin menekan dan menghambat produk sawit Indonesia.
Kegagalan koordinasi dan lambatnya upaya penyelesaian konflik lahan dan izin yang tidak segera direalisasikan untuk kegiatan ekonomi produktif sebetulnya tidak hanya merugikan negara dan masyarakat, tetapi juga kian menggerus integritas dan memperlemah diplomasi sawit Indonesia di dunia.
Menguatkan ekonomi sirkular
Pada sisi lain, upaya untuk mengaplikasikan ekonomi sirkular dalam mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan sudah banyak dilakukan baik di tingkat petani sawit, perkebunan besar, maupun industri sawit. Studi memperlihatkan upaya memanfaatkan limbah di kebun sawit hingga pabrik kelapa sawit telah berhasil menggantikan peran pupuk kimia. Hal ini berdampak kepada kenaikan keuntungan petani dan perbaikan kualitas tanah.
Demikian halnya dengan integrasi sawit sapi yang juga memberikan dampak positif terhadap keuntungan dan lingkungan. Banyak perusahaan perkebunan telah menggunakan burung hantu sebagai predator alam untuk mengatasi hama tikus, dan terbukti memberikan keuntungan usaha lebih baik.
Rasanya tidak ada limbah sawit yang tidak dapat dimanfaatkan, semua memiliki nilai, bahkan gas metana yang dihasilkan dari limbah cair di pabrik minyak sawit telah dimanfaatkan sebagai sumber energi biogas dan bioCNG. Upaya ini tidak hanya dapat mengurangi penggunaan bahan bakar fosil, tetapi juga membantu membangun kemandirian energi di kawasan pekebunan dan pabrik sawit.
Tantangan saat ini bagaimana meningkatkan literasi hijau, akses teknologi, dan insentif kepada segenap pelaku usaha di industri ini. Bagi petani sawit rakyat penting untuk secara berkelompok memiliki sertifikasi seperti ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Akhirnya, penulis menilai, tantangan peningkatan nilai tambah industri sawit bukan dimulai dari ekspansi lahan, melainkan pada upaya mendorong produktivitas tandan buah sawit (TBS). Saat ini rata-rata produksi (TBS) petani rakyat dan perkebunan besar masing-masing 16,3 ton dan 22 ton per tahun per hektar. Sementara itu, potensi terbaik yang dapat diraih berkisar 30–36 ton per tahun per hektar. Lompatan produktivitas memerlukan dukungan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi.
Akhirnya, dalam upaya penguatan daya saing dan keberlanjutan industri sawit, pemerintah jangan sampai terbawa pada kepentingan pelaku usaha nakal dan mengorbankan pelaku usaha yang telah berusaha baik. Sebagai pemain utama sawit dunia, Indonesia memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga industri ini semakin berintegritas dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.