Indonesia, Keketuaan ASEAN, dan Antisipasi Kebakaran Hutan
Sekitar 99 persen kebakaran disebabkan oleh faktor sosial dan alam, disengaja atau tidak disengaja. Indonesia sebagai Ketua ASEAN dapat menginisiasi kerja sama dalam berbagi praktik mitigasi kebakaran hutan.
Musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih kering karena siklus El Nino. Sampai akhir Mei sudah 28.020 hektar lahan terbakar (Kompas, 24/6/23). Bagaimana prospek mitigasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) ketika Indonesia menjadi Ketua ASEAN?
Karhutla dan dampak kabut asap sudah bukan masalah lokal, tetapi internasional. Kanada mengalami kebakaran hebat dengan kabut asap menyebar ke Amerika Serikat.
Kebakaran hutan pada 1997 tidak hanya menyebabkan gagal panen, memperparah krisis ekonomi, dan mendorong Reformasi 1998, tetapi juga suasana tidak nyaman antarnegara ASEAN. Untuk itu, ditandatangani Kesepakatan ASEAN (Agreement on Transboundary Haze Pollution tahun 2002).
Sejak 2014 ada dua periode El Nino dengan kabut asap yang mengganggu harmoni ASEAN, yaitu 2014-2015 dan 2018-2019. Yang menarik, saat El Nino yang bersamaan dengan Asian Games di Jakarta-Palembang, kebakaran hutan jauh menurun, hanya 30 persen dari El Nino lainnya.
Baca juga: El Nino Mulai Tiba, Titik Api Bermunculan
Dari segi hubungan internasional, ada dua aturan terkait karhutla dan kabut asap di Indonesia. Pertama, Kesepakatan ASEAN 2002, yang diratifikasi Indonesia pada 2015.
Sesama negara ASEAN bersepakat saling membantu dalam pencegahan, kesiapsiagaan, dan tanggap darurat bersama, prosedur kerja sama, kerja sama teknis dan juga riset ilmiah terkait kebakaran dan kabut asap.
Kedua, Singapore Transboundary Haze Pollution Act tahun 2014. Hukuman berat dikenakan kepada organisasi yang berbasis di Singapura jika menimbulkan kebakaran, kabut asap, atau polusi di dalam atau luar Singapura.
Sementara dari sisi dalam negeri, ada dua aturan terkait. Pertama, Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 20 Tahun 2020, di mana aturan ”tanggung jawab mutlak (strict liability)” direvisi untuk memperkuat peran penuntut dalam pembuktian adanya kesengajaan membakar.
Kedua, UU Lingkungan Hidup No 32/2009 dan berbagai peraturan kepala daerah yang memperbolehkan kearifan lokal membuka lahan dengan bakar, maksimal 2 hektar untuk tanaman varietas lokal, dengan syarat memakai sekat bakar dan melapor ke kepala desa.
Aturan-aturan tersebut malah membuat hubungan Indonesia dengan Malaysia dan Singapura sering panas terkait kabut asap. Penegak hukum Indonesia sengaja memilih perusahaan yang berbasis di Singapura atau Malaysia untuk diproses meski sebenarnya adalah korban karena kebakaran berasal dari luar yang melompat masuk ke konsesi.
Baca juga: Kebakaran Hutan dan Lahan
Malangnya situasi saling tuduh ini membuat perkebunan kelapa sawit menjadi kambing hitam.
Perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai kejenuhan dalam ekspansi. Pembukaan baru oleh perusahaan hampir mustahil dilakukan sejak 2016 karena adanya moratorium perizinan dan pasar internasional yang menyoroti isu keberlanjutan dan deforestasi. Ekspansi praktis hanya bisa dilakukan masyarakat.
Riset Badan Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai mitigasi kebakaran tahun 2013 menyebutkan karhutla disebabkan oleh iklim dan aktivitas manusia. El Nino memberikan kondisi yang diperlukan, tetapi 99 persen kebakaran disebabkan oleh faktor sosial dan alam, disengaja atau tidak disengaja. Diidentifikasi penyebabnya adalah dari tertinggi, konversi lahan, pertanian, konflik sosial, dan proyek transmigrasi.
Alih fungsi lahan
Lembaga penelitian kehutanan CIFOR dalam penelitian tentang karhutla di Riau pada 2013 menemukan bahwa 52 persen dari total area yang terbakar (84.717 hektar) berada di dalam konsesi perusahaan. Namun, 60 persen area yang terbakar di konsesi juga ditempati oleh masyarakat, petani skala kecil-menengah (Gaveau et al, 2014). Masalah ini membuat identifikasi penyebab kebakaran bermasalah. Sisa 48 persen dari total lahan yang terbakar adalah kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan.
Penelitian CIFOR lain menemukan bahwa telah terjadi kelambanan birokrasi, kurangnya anggaran dan prioritas pemerintah daerah, dan bahkan tidak ada kandidat pilkada yang memiliki program pencegahan dan penanggulangan kebakaran (Purnomo et al, 2016). Kebakaran ditujukan untuk investasi pertanian, terkait erat dengan kepemilikan tanah oleh elite lokal, yaitu elite politik, elite bisnis, tokoh masyarakat, dan elite birokrasi.
Berbagai riset menunjukkan bahwa praktik tebas dan bakar masih marak di Indonesia.
Penelitian terbaru dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tentang transformasi lahan sebelum dan sesudah kebakaran hutan juga menemukan hasil yang serupa (Priyo Purnomo, et al, 2019). Pascakebakaran, alih fungsi lahan mayoritas terjadi dari kepemilikan masyarakat menjadi elite lokal, sedangkan transformasi dari konsesi perusahaan menjadi masyarakat dan elite lokal juga ditemukan. Ditemukan bahwa banyak masyarakat lokal menempati lahan open access, konsesi yang tidak dikuasai perusahaan.
Karena pembukaan lahan menggunakan ekskavator sangat mahal, metode umum yang dilakukan adalah tebas dan bakar (slash and burn), baik untuk ditanam, penanda kepemilikan, atau dijual lagi.
Berbagai riset menunjukkan bahwa praktik tebas dan bakar masih marak di Indonesia. Ini terjadi di lahan siapa pun, baik lahan masyarakat, kawasan hutan yang dikuasai kementerian, konsesi perusahaan, bahkan konsesi restorasi ekosistem yang dikelola lembaga swadaya masyarakat, seperti yang menimpa World Wide Fund for Nature (WWF) di Sumatera.
Pertaruhan nama baik Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018 membuat pemerintah pusat dan daerah melakukan mitigasi kebakaran dengan melarang ketat praktik tebas dan bakar.
Almarhum Sutopo Purwo Nugroho, Juru Bicara BNPB waktu itu, bahkan sempat didemo masyarakat lokal karena menyebut masyarakat lokal dilarang membuka lahan dengan tebas dan bakar.
Indonesia perlu mengulang strategi saat itu dengan beberapa cara. Pertama, penguatan kelembagaan pemerintah daerah dan lembaga pusat di daerah, terutama pada empat pusat kebakaran lahan, yaitu Kalimantan Barat dan Tengah, Riau, dan Sumatera Selatan, yang punya lahan gambut besar.
Jika selama ini yang diatur dan diperiksa adalah kesiapan personalia dan sarana prasarana dari pemegang konsesi, akreditasi perlu dilakukan untuk penguasa wilayah terbesar, pemerintah daerah untuk Area Penggunaan Lain, dan wakil kementerian pusat untuk kawasan hutan.
Lihat juga: Membuka Lahan Tanpa Membakar
Kedua, melarang praktik tebas dan bakar tidak akan berhasil, selama pemerintah tidak menawarkan solusi konkret pembukaan lahan tanpa bakar. Pemerintah pusat dan daerah dapat membantu pembukaan lahan dengan penyewaan alat berat murah, dan kredit usaha rakyat sejak pembukaan, penanaman dan jaminan pembelian (offtaker).
Ketiga, sesuai dengan Kesepakatan ASEAN 2002, Indonesia dapat menginisiasi kerja sama dalam berbagi praktik mitigasi kebakaran. Di Malaysia, misalnya, masyarakat yang mau membuka perkebunan dapat mendaftar untuk dibukakan dan ditanamkan oleh lembaga pemerintah FELDA. Selain itu, kepemilikan tanah sudah selesai diregister tanah Malaysia sehingga pemilik lahan tidak berani melakukan tebas dan bakar.
Kita bisa berbagi praktik kelembagaan, pencegahan, kesiapsiagaan, serta riset, dalam kerangka ASEAN.
Semoga Keketuaan Indonesia di ASEAN menjadi berkah bagi segenap warga ASEAN.
Edi Suhardi, Praktisi Keberlanjutan dari InfoSawit