Di desa yang dianggap masuk ke area konsesi, dana desa tidak bisa sepenuhnya dipergunakan untuk pembangunan desa. Ini harus menjadi prioritas perhatian pemerintah dan DPR.
Oleh
GUNAWAN
·3 menit baca
Dana desa merupakan perwujudan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Menurut Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (PDTT), dana desa yang digunakan untuk pembangunan meningkat dari Rp 23 triliun (33,84 persen) pada 2022 menjadi Rp 35,95 triliun (52,87 persen) pada 2023 (kompas.id, 22/6/2023).
Arti penting dana desa juga menjadi perhatian DPR sehingga DPR memasukkan peningkatan alokasi dana desa dalam agenda rencana revisi UU Desa (Kompas.id, 23/06/20233), dan Wakil Ketua DPR Abdul Muhaimin Iskandar mengusulkan agar besaran dana desa dinaikkan menjadi Rp 5 miliar per desa (Kompas.com, 18/6/2023).
Evaluasi dana desa tidak cukup hanya dilihat dari peningkatan penggunaan untuk pembangunan desa, tetapi harus juga dilengkapi dengan melihat terhalanginya penggunaan dana desa untuk pembangunan desa di desa yang masuk kawasan konsesi. Dalam pengertian, desa dianggap masuk dalam kawasan perkebunan, kehutanan, dan pertambangan, serta wilayah pesisir yang dikelola badan usaha. Karena wilayah desa dianggap masuk ke area konsesi, dana desa tidak bisa sepenuhnya dipergunakan untuk pembangunan desa, bahkan ada kasus di mana dana desa hanya dipergunakan untuk pemberdayaan.
Hampir mirip dengan kasus di atas, ada juga desa yang banyak bidang tanahnya, termasuk persawahan, masuk di dalam penyitaan negara, yang jika tanah dan sawah tersebut dilelang dan dimiliki pihak di luar desa, juga berpotensi menghalangi pembangunan desa.
Kasus-kasus sebagaimana tersebut di atas harus menjadi perhatian pemerintah pusat, pemerintah desa, dan DPR untuk menjadi prioritas penanganan.
Dua periode RPJMN
Kenapa perlu menjadi prioritas pemerintah dan DPR? Pertama, karena merupakan pekerjaan yang belum selesai dari periode pertama Presiden Jokowi. Di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 disebutkan bahwa salah satu arah kebijakan dan strategi pembangunan desa serta kawasan perdesaan adalah menyiapkan dan melaksanakan kebijakan untuk membebaskan desa dari kantong-kantong hutan dan perkebunan.
Memang pemerintah telah memiliki regulasi terkait redistribusi tanah dan penyelesaian konflik agraria, yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan, dan Perpres No 86/2018 tentang Reforma Agraria. Namun, kedua regulasi tersebut belum mengatur penyelesaian desa yang dianggap masuk konsensi. Meski demikian, ada juga contoh kasus di mana desa oleh pemerintah dilakukan enclave dari kawasan hutan dan konsensi.
Satu arah kebijakan dan strategi pembangunan desa serta kawasan perdesaan adalah menyiapkan dan melaksanakan kebijakan untuk membebaskan desa dari kantong-kantong hutan dan perkebunan.
Kedua, di RPJMN 2020-2024, pemerintah mengagendakan tata ruang desa, batas desa, agropolitan desa, desa tangguh bencana, desa wisata, dan lain-lain yang mempersyarakatkan adanya pembangunan desa, di mana dalam kasus desa di dalam kawasan konsensi terhalangi pelaksanaannya.
Terhalangi pembangunan desa tidak hanya berdampak pada permasalahan infrastruktur, tetapi juga kaitannya dengan penanganan kerawanan pangan dan kemiskinan, pelestarian lingkungan hidup, pengelolaan aset desa, dan lain-lain yang akan berpengaruh dalam pencapaian Rencana Aksi Nasional/Daerah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan tentu saja pencapaian SDGs Desa itu sendiri.
Kepastian hukum
Berdasarkan UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang, tata ruang hanya dibagi dua kawasan, yaitu kawasan kota dan kawasan perdesaan. Adapun yang dimaksud dengan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana tersebut di atas, seharusnya kawasan kehutanan, kawasan perkebunan, kawasan pertanian, dan wilayah perairan pesisir masuk kawasan perdesaan. Jadi, bukan perdesaan yang masuk kawasan konsensi.
Selain itu, pembentukan desa berdasarkan peraturan daerah (perda). Dalam perda telah ditentukan batas wilayah desa yang dilengkapi dengan peta wilayah desa. Batas wilayah desa senantiasa berbatasan dengan desa-desa di sekitarnya, bukan berbatasan dengan konsensi sehingga jika peta antardesa dipertemukan, akan tergambarlah kawasan perdesaan yang justru potensial ada area konsensi masuk di dalamnya.
Oleh karena itu, desa tidak perlu ragu atas wilayahnya, dan seharusnya pemda menegaskan produk hukumnya sendiri, dengan membantu desa menjalankan hak dan kewenangannya. Karena ketika perda pembentukan desa tidak pernah dibatalkan, perda yang mengatur luas dan batas wilayah desa tetap berlaku.
Hal tersebut selaras dengan pendapat Mahkamah Konstitusi terkait dengan asas praduga keabsahan (praesumptio iustae causa/het vermoeden van rechtmatigheid) yang diartikan bahwa tindakan penguasa dianggap sah sesuai dengan aturan hukum sampai ada pembatalannya. Berdasarkan asas ini, semua tindakan penguasa dalam membuat produk hukum harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Untuk membatalkan tindakan tersebut, dapat dilakukan oleh lembaga yang melakukan tindakan itu sendiri ataupun oleh lembaga lain yang diberikan kewenangan berdasarkan aturan hukum (Putusan MK Nomor 45/PUU-XXI/2023).
Maka, bagi pemegang konsensi yang menganggap desa masuk ke arealnya, dan tidak menggugat perda pembentukan desa, dalam kasus konsesi perkebunan, pertambangan, dan pesisir harusnya menunjukkan sertipikat hak atas tanahnya. Dengan bekal peta hak atas tanah tersebut, dapat dilakukan overlay peta areal usaha dan wilayah desa guna melihat apakah memang ada tumpang tindih penguasaan. Tentu saja hal tersebut menuntut keterbukaan informasi.
Dalam kenyataannya, meskipun desa memiliki landasan hukum wilayahnya yang kuat, desa tidak sanggup menyelesaikan permasalahan tersebut sendirian, terbukti berlarut-larutnya masalah ini. Selain perlu ketegasan pemda untuk menegakkan aturan pembentukan desa dan tata ruang/wilayah, diperlukan koordinasi lintas kementerian karena terkait obyek izin usaha dan sertifikat hak atas tanah, termasuk melibatkan Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan jika di lokasi ada terkait aset-aset perusahaan BUMN.
Kementerian Desa PDTT, melalui Direktorat Advokasi dan Kerja Sama Desa dan Perdesaan, menerima pengaduan dan memantau desa-desa yang dianggap masuk dalam kawasan konsensi, dapat memprakarsai kerja sama multipihak dalam rangka penyelesaian permasalahan tersebut. Selain itu, perlu prakarsa desa, melalui kerja sama antardesa memperjelas batas wilayah desa secara fisik.
Gunawan, Penasihat Senior IHCS (Indonesian Human Rights Committee for Social Justice); Dewan Pengawas Yayasan Bina Desa Sadajiwa; Dewan Nasional SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit)