Hari-hari ini kita tengah menyaksikan betapa ketegangan geopolitik dan disrupsi rantai pasok global telah mengubah lanskap tata dunia melalui fenomena ”friend-shoring”.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Reorganisasi rantai pasok global berdasarkan aliansi politik tengah berlangsung. Reorganisasi ini mengubah wajah peta perdagangan global dan berpotensi membalikkan semua kemajuan dalam integrasi ekonomi dunia beberapa dekade terakhir.
Istilah friend-shoring yang pertama diperkenalkan Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen pada April 2022 itu mengacu pada reorganisasi perdagangan dengan mengutamakan perdagangan dengan mitra-mitra dagang yang satu haluan politik.
Yellen mengungkapkan, friend-shoring menjadi pendekatan baru pemerintahan Biden menghadapi ekonomi dunia yang more contentious. Hal itu juga ditujukan untuk mencegah negara-negara yang memiliki posisi kuat dalam penguasaan bahan mentah, teknologi, atau produk penting lain untuk mengacaukan ekonomi AS atau menggunakan pengaruh geopolitik mereka untuk hal yang tidak diinginkan.
Perang dagang AS-China, yang diikuti disrupsi rantai pasok global akibat pandemi Covid-19, dan kian diperburuk perang Rusia-Ukraina yang membuat Barat menjatuhkan sanksi dan kontrol ekspor terhadap Rusia adalah faktor pemicu terjadinya pengalihan perdagangan dan rantai pasok global ini.
China dan Rusia yang berada di bawah tekanan Barat berusaha membangun aliansi sendiri untuk menyaingi Barat.
Meski mungkin menguntungkan Indonesia sebagai negara yang netral di tengah friksi geopolitik global, fenomena regionalisasi berdasarkan aliansi politik bisa merugikan perekonomian dunia secara keseluruhan. Sebuah kajian mengalkulasi, kerugian ekonomi akibat friend-shoring yang harus ditanggung sejumlah negara mencapai 4,7 persen produk domestik bruto (PDB).
Situasi dinamis global yang baru ini menempatkan semua negara dalam dilema. Kebutuhan mengamankan kepentingan domestik menjadi pertimbangan utama dalam mengevaluasi kembali pendekatan mereka terhadap globalisasi.
Banyak negara akhirnya terpaksa ikut memilih opsi regionalisasi dan friend-shoring dalam upaya meminimalkan kemungkinan potensi weaponisation of trade (penggunaan perdagangan sebagai senjata untuk menekan) dan mengamankan akses mereka ke berbagai input vital.
Akan seperti apa wajah tata dunia baru setelah ini? Invasi Rusia ke Ukraina dan meningkatnya tensi dengan China mungkin akan kian memperkuat aliansi Trans-Atlantik, tetapi menjadi tantangan baru bagi negara berkembang ”nonblok”.
Fenomena friend-shoring bukan satu-satunya dinamika yang kita hadapi dewasa ini. Di sektor perdagangan, Indonesia juga dihadapkan pada apa yang oleh Arif Havas Oegroseno (Kompas, 6/6/2023) disebut sebagai imperialisme baru Uni Eropa.
Dengan dalih ”menghentikan deforestasi di luar Uni Eropa”, Uni Eropa menerapkan regulasi sewenang-wenang untuk mencegah masuknya sejumlah komoditas ekspor tropis, termasuk dari Indonesia. Belum lagi kebijakan hilirisasi kita yang juga ditentang sejumlah negara dan membuat kita digugat di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Fenomena friend-shoring ini membuat ekonomi global kian tak pasti dan bisa kian menekan pertumbuhan global.