Di negeri ini, isu soal perubahan iklim belum menjadi isu pokok. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat belum diimbangi prinsip ”eco-cracy” (kedaulatan berbasis lingkungan). Generasi Z, pemilih mayoritas, jadi penentu.
Oleh
BUDIMAN TANUREDJO
·2 menit baca
Dalam sebuah acara di Jakarta, saya mendapat pertanyaan kritis dari seorang rektor. Ia mengkritik tayangan media. Media disebut terlalu banyak memberitakan wira-wira para politisi. Mereka seakan-akan memikirkan nasib bangsa. Nasib rakyat. Nasib kita semua. ”Kelihatannya begitu seru. Tapi, sejarah mengajarkan, setelah itu apa yang didapat rakyat. Percayalah, tidak akan ada perubahan apa-apa di negeri ini. Mengapa media tidak mengajak elite atau politisi itu berpikir soal perubahan iklim yang akan menentukan nasib masa depan Planet Bumi.”
Isu perubahan iklim adalah isu besar di berbagai belahan dunia. Perlawanan terhadap sikap masa bodoh negara atas kerusakan muka bumi itu pula yang melahirkan sosok seperti Greta Thunberg, Person of The Year Times 2019. Amnesty International menganugerahi Tunberg dengan penghargaan, Ambasador of Conscience 2019.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Pada September 2019, Greta tampil berbicara di Konferensi Iklim di PBB di New York.
Ia berpidato: ”Anda telah mencuri impian dan masa kecil saya dengan kata-kata kosong Anda. Kami adalah di awal kepunahan massal, dan yang bisa Anda bicarakan hanyalah uang, dan dongeng tentang pertumbuhan ekonomi abadi. Beraninya kamu!” Gadis Swedia itu sangat concern dengan perubahan iklim. Ia mendirikan gerakan, ”Mogok Sekolah untuk Iklim” yang mampu menggerakkan aksi global.
Boleh jadi isu perubahan iklim senasib dengan isu korupsi, isu kesenjangan sosial, masih menjadi mimpi bagi para politisi atau para elite Indonesia. Mereka masih berkutat pada kredo politik kekuasaan purba. Bagaimana mendapatkan kekuasaan, mengumpulkan kekayaan untuk mempertahankan kekuasaan selama mungkin. Kerja sama politik digalang bukan untuk menjawab permasalahan bangsa, melainkan semata-mata untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Membaca kolom Ahmad Arif di Kompas, 21 Juni 2023, berjudul ”Gugatan Kaum Muda dan Masa Depan Bumi”, saya teringat pada kritik dari rektor tersebut. Perubahan iklim memang menjadi isu besar di kalangan generasi Z yang lahir setelah 1997 hingga 2000-an. Dan, dosa paling besar sehingga bumi makin panas adalah generasi baby boomers yang lahir 1946-1965, dan generasi X (1965-1980) yang menjadi penyumbang emisi terbesar. Generasi baby boomers boleh jadi telah tiada, saat bumi kian panas, dan tidak lagi layak menjadi tempat tinggal. Dan, yang menjadi korban adalah generasi Z dan generasi seterusnya.
Bumi Makin Panas pernah dipakai sebagai judul film tahun 1973 yang disutradarai Ali Shahab. Tapi, itu dalam arti dan konteks yang berbeda. Sedang saat ini, bumi makin panas dalam artinya yang sesungguhnya. Sejak awal Juni 2023, Harian Kompas secara berseri mengangkat isu pemanasan global. Misal pada 5 Juni 2023, harian ini menulis judul, ”Bumi Semakin Panas Ruang Hidup Menyempit”, ”Berau Memanas Kematian Meningkat”. Pada Selasa 6 Juni 2023 masih ada laporan, ”Kenaikan Suhu di Kalimantan Timur Tertinggi”. Bahkan, menurut sebuah laporan, kenaikan suhu permukaan tanah di Berau mencapai 0,95 derajat celsius dalam 16 tahun. Deforestasi yang diikuti penambangan batubara dan urbanisasi ikut memicu kenaikan suhu muka bumi. Tapi siapa yang peduli....
Isu perubahan iklim adalah isu keadilan lintas generasi. Isu pemanasan global juga menjadi keprihatinan Paus Fransiskus dalam ensiklik Laodato Si tahun 2015. Dalam bagian Ensiklik Laodato Si, Paus Fransiskus menulis, ”Perubahan iklim merupakan masalah global dengan dampak buruk untuk lingkungan, masyarakat, ekonomi, perdagangan, dan politik. Ini merupakan salah satu tantangan utama yang dihadapi umat manusia pada zaman kita. Dampak terburuk mungkin akan dirasakan dalam beberapa dekade mendatang oleh negara-negara berkembang. Banyak orang miskin tinggal di wilayah yang paling dipengaruhi oleh pelbagai gejala yang terkait dengan pemanasan bumi, sementara penghidupan mereka sangat bergantung pada cadangan alam dan jasa ekosistem, seperti pertanian, perikanan, dan kehutanan.”
Ramalan soal bencana besar karena perubahan iklim tidak bisa disepelekan begitu saja. Paus Fransiskus menulis, ramalan tentang malapetaka tidak boleh lagi dipandang dengan cibiran atau ironi. ”Kita mungkin akan meninggalkan terlalu banyak puing, padang gurun, dan sampah kepada generasi mendatang. Tingkat konsumsi, limbah, dan kerusakan lingkungan telah melampaui kapasitas Planet Bumi.”
Beruntung, kesadaran baru soal nasib Planet Bumi telah muncul. Gerakan internasional dari generasi Z inilah yang memicu gugatan yang dimotori anak-anak muda berusia 16-22 tahun. Mereka menggugat Pemerintah Negara Bagian Montana, Amerika Serikat. Di negeri ini memang masih adem-ayem. Aktivis lingkungan tak lagi segalak saat Orde Baru.
Teman sejawat saya, seorang wartawan yang kini menjadi aktivis lingkungan, mengirim pesan kepada saya. Ia mengajak agar partai politik, pemuka agama, melakukan pertobatan ekologis untuk menyelamatkan bumi. Dia menyinggung berakhirnya pandemi dan kini menjadi endemi. ”Ke depan, kalau banyak penyakit atau virus baru yang timbul akibat kerusakan bumi, rumah sakit tidak bisa menampung lagi. Hulunya adalah penyehatan bumi, penurunan suhu, pengurangan karbon. Kerusakan bumi itu awal mula pemiskinan manusia dan kemanusiaan,” tulisnya.
Di negeri ini, isu soal perubahan iklim belum menjadi isu pokok. Padahal, indikasi kerusakan bumi Indonesia yang mewujud dengan kerap terjadinya bencana banjir belumlah cukup memunculkan kesadaran baru. Kerusakan bumi yang kian parah diakibatkan karena ketamakan elite untuk terus mengeksploitasi perut bumi. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat belum diimbangi dengan prinsip eco-cracy (kedaulatan berbasis lingkungan).
Ketika elite politik tak mementingkan keselamatan Bumi atau tak punya gagasan atau program aksi memperbaiki kerusakan Bumi, mereka bukanlah sosok atau partai yang layak dipilih. Pesan dari Ahmad Arif dalam esainya di Kompas layak dipikirkan. Generasi Z yang menjadi pemilih mayoritas di Pemilu 2024 akan menjadi penentu arah politik bangsa ini ke depan karena generasi inilah yang akan menjadi penghuni bumi lebih lama lagi. Generasi Z saatnya juga memikirkan rekam jejak calon pemimpin agar tak salah pilih pemimpin. Pemimpin baru harus menghadirkan suasana kegembiraan, bukan malah kecemasan. Menghadirkan semangat penyelamatan bumi, bukan merusak bumi yang malah menghadirkan bumi yang kian panas.