Kegagalan bukan akhir dari segalanya. Kegagalan adalah bagian dari perjalanan hidup yang darinya kita bisa memetik pelajaran.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Mengalami kegagalan dalam usaha dapat menjadi penyebab kita terpuruk, menyalahkan lingkungan atau menyesali diri sendiri, dan berhenti berusaha. Dari sisi berbeda, kegagalan sebenarnya merupakan suatu pengalaman amat berharga bagi kita sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih baik di masa selanjutnya.
Yang pasti, tampaknya, nyaris semua pelaku wirausaha pernah mengalami kegagalan. Mereka dapat kehilangan modal dalam jumlah sangat besar dan mungkin rusak reputasinya dalam bentuk kehilangan kepercayaan dari jaringan kerja. Apa yang dapat kita lakukan apabila mengalami kegagalan dalam usaha kita?
Belajar
Agar kegagalan dapat menjadi suatu pembelajaran berharga, kita perlu bersikap jujur dan reflektif. Kita perlu menekankan pada diri bahwa kegagalan itu bukan akhir dari segalanya, melainkan merupakan bagian dari perjalanan hidup. Kita perlu menelaah: apa yang menyebabkan kegagalan? Apakah semangat berlebihan yang tidak dibarengi penghitungan keuangan secara teliti? Apakah antusiasme di awal yang tidak dibarengi kegigihan untuk mengeksekusi? Atau terlalu percaya pada orang lain sehingga mudah dibohongi?
Hindari untuk menyalahkan orang lain. Jika bekerja dalam tim, kita dapat bersama-sama mempelajari apa yang sebenarnya terjadi, dan menyepakati perubahan-perubahan yang harus dibuat. Daripada terpuruk menyesali kesalahan, kita dapat mencanangkan pola pikir ”win or learn” seperti diusulkan Ryan Simonetti. Maksudnya, apabila kita belum berhasil, kita melihatnya sebagai momentum untuk terus belajar.
Satu catatan penting: biasanya kita akan lebih mampu menghadirkan kinerja yang baik apabila kita menekuni bidang usaha yang memang telah kita kuasai. Bukan suatu hal yang sama sekali baru dengan sekadar mengikuti tren. Karena itu, kita perlu mempelajari dan menyadari siapa kita. Dalam arti, apa yang telah kita ketahui dan kuasai, apa yang harus banyak diperkuat, dan bagaimana memastikan kekuatan kita untuk jadi tetap relevan hadir di masyarakat.
Teknologi terus berkembang dan berbagai hal baru terus ditemukan. Kita tidak mungkin bertahan lama menjalankan usaha yang tidak memiliki nilai tambah baru. Karena itu, kita perlu menciptakan momentum-momentum baru untuk berkreasi, sekaligus berani mengambil risiko bahwa ada kemungkinan yang dicanangkan gagal atau belum berhasil.
Data memang menjadi sangat penting. Jadi, kita perlu mempelajari konteks usaha di tingkat makro maupun mikro, mempelajari pasar yang ditargetkan, mempelajari kompetitor, dan juga melakukan penghitungan keuangan. Jika tidak menguasai aspek keuangan, kita harus belajar tentang itu, atau bekerja sama dengan ahlinya yang memang dapat dipercaya.
Bagaimanapun, dalam berwirausaha, uang menjadi amat penting. Jadi, selain modal, cermati juga arus kas. Kita perlu uang masuk untuk membayar berbagai pengeluaran, dan mencocokkannya dengan prediksi di awal untuk dapat mengambil keputusan-keputusan berikutnya.
Terkait hal di atas, jadi penting untuk melakukan analisis SWOT juga. Bagaimana analisis kita akan kekuatan-kekuatan, kelemahan-kelemahan, peluang serta ancaman dari usaha kita? Ini akan membantu mengidentifikasi apa yang harus diperbaiki dan dikuatkan, serta strategi apa yang diambil.
Sehat mental
Situasi ekonomi setelah pandemi mereda, meski lebih baik daripada sebelumnya, tampaknya sulit untuk kembali ke masa sebelum pandemi. Beberapa hari terakhir ini kita kembali membaca berita mengenai perusahaan-perusahaan besar nasional dan internasional yang gulung tikar karena tidak mampu bertahan. Gelombang PHK menjadi konsekuensinya.
Dengan keterbatasan pasar kerja, mau tidak mau masyarakat perlu melihat wirausaha sebagai salah satu alternatif penting dalam membangun karier. Di sisi lain, dari sisi makro, kita memang perlu menguatkan kewirausahaan di Indonesia untuk dapat menguatkan perekonomian negara. Indonesia sangat tertinggal dibandingkan dengan, misalnya, Singapura. Perkiraan pelaku wirausaha adalah sekitar 3,5 persen di Indonesia, jika dibandingkan Singapura, yang memiliki kurang lebih 8,6 persen pengusaha dari total penduduknya. Indonesia juga masih tertinggal dibandingkan Thailand dan Malaysia.
Banyak hal perlu disiapkan, yang tidak dapat dibahas dalam kolom ini. Mengingat tulisan ini fokus pada aspek psikologi, kita perlu mendiskusikan berbagai penguatan dari sisi psikologi.
Mengingat membangun wirausaha kental dengan dimensi psikologi, utamanya terkait karakteristik pribadi dan perilaku yang harus dibangun dan dikuatkan pada pelaku, pemerintah dan para pemerhati perlu cermat merancang modul pendidikan/pelatihan. Salah satu yang harus dibahas adalah tentang risiko kegagalan, bagaimana meminimalkannya, bagaimana menghadapinya, dan bagaimana memahaminya sebagai proses pembelajaran.
Pelaku wirausaha perlu mencari dukungan dari keluarga, teman, atau mentor untuk dapat menyesuaikan diri dengan tantangan-tantangan berkecimpung membangun usaha. Ada baiknya orang-orang terdekat sedari awal telah diajak untuk berdiskusi sehingga mengetahui situasinya dan dapat ikut memberikan masukan dan dukungan.
Kegagalan sebenarnya merupakan suatu pengalaman amat berharga bagi kita sehingga dapat mengambil keputusan dengan lebih baik di masa selanjutnya.
Mengingat berwirausaha selalu berhadapan dengan risiko, yang dapat mengurangi risiko, baik risiko keuangan maupun risiko tekanan psikis, adalah menetapkan tujuan-tujuan yang lebih sederhana secara bertahap. Dengan demikian, modal yang perlu disiapkan juga menjadi lebih realistis. Ketika terjadi kegagalan, kejatuhan atau kehilangannya masih dapat diatasi.
Satu hal penting untuk kita adalah mampu menjaga kesehatan dan merawat diri, apa pun bidang kerja atau usaha yang kita tekuni. Meski waktu kerja yang tak menentu dan stres kerja yang besar, kita tetap perlu menjaga keseimbangan, menganggarkan waktu istirahat, serta memiliki mekanisme pribadi untuk menjaga kesehatan mental kita.
Elizabeth Kristi Poerwandari, Pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia