Nasionalisme Industri dalam Perspektif Rantai Nilai Global
Fenomena pandemi Covid-19 yang mengancam keberlanjutan sistem rantai nilai global membuktikan tidak ada satu negara pun di dunia yang bisa hidup sendiri. Negara-negara perlu menjamin keberlanjutan rantai nilai global.
Pandemi Covid-19 mengubah lanskap dunia dalam berbagai hal, termasuk kerja sama global, khususnya ketika setiap negara di dunia dihadapkan pada kepentingan yang lebih besar, yakni mempertahankan kehidupan.
Berbagai bentuk kerja sama dan kesepakatan yang pernah ada pun kemudian dilihat dan dibaca ulang untuk disesuaikan. Beberapa di antaranya mengalami perubahan sangat signifikan. Bahkan berkembang usulan kesepakatan baru bagi negara-negara yang memiliki kepentingan yang sama, termasuk dari sisi kewilayahan.
Sebagian besar negara berusaha sekuat tenaga meningkatkan daya saing industri masing-masing. Kondisi itu kemudian berdampak pada turunnya daya saing industri negara-negara kompetitor sehingga tumbuh paradigma hukum rimba yang jika dibiarkan terus-menerus akan mengakibatkan meningkatnya suhu politik dan ekonomi global. Misalnya ketika kita mengimplementasikan konsep Indonesia 4.0 seiring program pemanfaatan energi terbarukan dan pembangunan efisiensi produksi. Faktanya, upaya ini berdampak pada negara tetangga dan menurunkan daya saing industri mereka di beberapa segi.
Fenomena inilah yang kini sedang marak terjadi dalam peta percaturan global. Kondisi itu diperburuk dengan upaya beberapa negara atau aliansi negara yang terus berusaha menurunkan daya saing kompetitor dengan memberlakukan regulasi dan larangan yang membatasi pasokan dari negara lain. Misalnya, undang-undang deforestasi atau license reduction acts sebagaimana diberlakukan Uni Eropa yang membatasi produk dari negara lain untuk bisa masuk dengan standar kriteria yang sangat ketat.
Baca juga: IPEF, Pedang Berbilah Dua bagi Pengaruh Amerika Serikat
Maka, kesadaran bersama untuk mendorong dunia memiliki iklim industri yang berkelindan secara sehat menjadi salah satu latar belakang diinisiasinya Indo-Pacific Economic Framework (IPEF) for Prosperity. Kerja sama IPEF inilah yang diharapkan bisa memastikan regulasi dan larangan masuk sejumlah negara atau kawasan tidak menjadi halangan bagi negara-negara lain untuk bersaing secara fair.
Melalui IPEF ini, diharapkan rantai pasok global tidak dalam tekanan negara-negara lain, tetap terjaga fair, sehingga iklim usaha tetap sehat di tengah upaya setiap negara meningkatkan daya saing mereka.
IPEF for Prosperity menjadi salah satu kesepakatan kerja sama bidang ekonomi yang teranyar pascapandemi Covid-19. Meski model kesepakatannya tak mengikat, 14 negara di kawasan Asia dan Pasifik yang turut diundang berpartisipasi oleh Amerika Serikat sebagai inisiator menganggap IPEF ini merupakan instrumen yang strategis.
Bagi Indonesia, keterlibatan dalam IPEF menjadi langkah yang baik. Dalam pertemuan UE-ASEAN di Brussels, Belgia, akhir tahun lalu, Presiden Joko Widodo menekankan bahwa UE harus menerapkan fairness (keadilan) dalam sistem rantai nilai global karena tak ada satu negara pun yang boleh secara serakah memberlakukan aturan atau larangan masuk produk dengan sangat ketat secara sepihak.
Apalagi, selama ini negara-negara UE yang telah lebih dulu maju sudah terlampau lama menikmati kemakmuran sebagai negara maju sehingga berupaya membatasi langkah negara lain dengan larangan-larangan dan undang-undang. Ini tindakan yang sangat tidak adil.
Untuk Indonesia, sistem perdagangan global yang tak mengedepankan nilai-nilai keadilan jelas sangat mengganggu, khususnya dari sisi Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia. PMI Indonesia dengan seketika terdampak ketika terjadi konflik antara Rusia dan Ukraina.
Oleh karena itu, IPEF kemudian memiliki nilai strategis, terutama dari sisi resiliensi global negara-negara yang lain. IPEF yang diinisiasi Presiden AS Joe Biden dan diluncurkan pada 23 Mei 2022 di Tokyo, Jepang, bagi negara-negara Asia Pasifik merupakan wadah dan momentum menyuarakan kepentingan dalam mencapai empat pilar yang digariskan dalam framework (kerangka kerja) tersebut, yakni perdagangan, ketahanan ekonomi, ekonomi bersih, dan ekonomi adil.
Keterlibatan di IPEF dianggap sangat strategis mengingat setiap pilar itu akan memuat isu bahasan yang menghasilkan kesepakatan sehingga benar-benar perlu dirundingkan dengan saksama. Tercatat ada 27 kluster pembahasan dalam semua pilar IPEF yang dilakukan secara paralel dan terpisah.
Signifikansi sisi nasionalisme sangat penting bagi Indonesia mengingat di kawasan Asia Pasifik, Indonesia salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar.
Bagi Indonesia, IPEF bukan sekadar tentang keikutsertaan dalam forum internasional dan mengikuti agenda negara-negara besar, melainkan lebih dari itu, kepentingan bangsa ini harus terwadahi dan tak ada satu pun yang terlanggar.
Signifikansi sisi nasionalisme sangat penting bagi Indonesia mengingat di kawasan Asia Pasifik, Indonesia salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar. Maka, ketika berbicara tentang isu mempertahankan kehidupan, hal itu menjadi sangat relevan bagi Indonesia.
Di IPEF, Indonesia mengambil peran aktif sejak awal pada semua pilar. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian mengambil peran sebagai chief negotiator Indonesia untuk IPEF. Kemenko Perekonomian juga bertindak sebagai lead negotiator untuk Pilar I, Kementerian Perindustrian untuk Pilar II, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral untuk Pilar III, dan Kementerian Keuangan/Komisi Pemberantasan Korupsi untuk Pilar IV. Total 36 kementerian/lembaga terlibat dalam Tim Perundingan Nasional dan Delegasi RI untuk IPEF.
Bagi Indonesia, IPEF bukan forum untuk bermain-main sehingga pemerintah memiliki concern sangat penuh agar benar-benar mampu menghadirkan tujuan besar IPEF untuk masyarakatnya, yakni tercipta kesejahteraan dari perdagangan yang berdaya saing, terwujud ketahanan ekonomi, tercipta ekonomi bersih, dan tercapai ekonomi yang adil.
Stabilitas regional
Agenda besar IPEF yang menjadi fokus Indonesia salah satunya tentang rantai nilai global setelah pandemi.
Pemerintah menyadari bahwa menjadi bagian dari mata rantai nilai global merupakan peran yang strategis. Di sisi lain, IPEF juga diharapkan memiliki manfaat nyata bagi bisnis, konsumsi, investasi, UMKM, dan pekerja/buruh di Tanah Air.
Sebagai pemegang keketuaan ASEAN tahun ini, misi Indonesia adalah mewujudkan pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan di kawasan. Isu ini penting untuk diangkat di ranah IPEF mengingat ASEAN merupakan ”jantung” Indo-Pasifik atau dengan kata lain memegang peranan sangat sentral.
Dengan kian memanasnya suhu geopolitik dan terfragmentasinya ekonomi secara global, memperdalam dan memperluas integrasi kerja sama melalui IPEF dinilai akan sangat mendukung stabilitas dan kemakmuran kawasan. Namun, dengan catatan, seluruh kepentingan nasional terwadahi secara mutual di dalam kerangka kerja ini.
Karena itu, penting untuk melanjutkan kerja sama-kerja sama dan memastikan sentralitas ASEAN, khususnya dalam merespons situasi global yang sangat dinamis. Kerja sama ekonomi kawasan dalam kerangka kerja yang baru harus memuat setidaknya keinginan membangun kesejahteraan bersama dengan menumbuhkan pasar, membangun ekosistem inovasi, menciptakan pekerjaan yang lebih inklusif, dan mendorong pertumbuhan berkelanjutan.
Baca juga: IPEF Bangun Jaringan Peringatan Dini Disrupsi Rantai Pasok
Fokus IPEF pada ketahanan ekonomi global, daya saing, dan produktivitas tinggi ini seiring dengan tujuan untuk meningkatkan standar hidup masyarakat di kawasan ASEAN. Indonesia sangat berharap keterlibatan dalam IPEF mampu membantu upaya-upaya untuk menarik lebih banyak investasi yang masuk ke kawasan dan mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
Sebagaimana pertemuan IPEF Bali Round, dengan Kadin menjadi tuan rumah beberapa waktu lalu, Indonesia juga mengajak para pembuat kebijakan untuk mewujudkan kelestarian lingkungan dan menyusun regulasi yang kondusif bagi perdagangan dan investasi.
Indonesia ingin agar para pembuat kebijakan di negara-negara yang terlibat dalam IPEF fokus melepaskan kepentingan ekonomi demi kepentingan yang lebih besar, yakni mendorong transformasi cross border movement, memangkas birokrasi yang terlalu panjang, merampingkan prosedur yang berbelit, dan mengambil langkah menuju sistem dan proses yang efektif dan efisien.
Agenda lain yang juga signifikan ialah mendorong terbangunnya koridor ekonomi ASEAN-IPEF dengan prioritas ke depan, yakni memperkuat peluang investasi nyata, serta potensi besar ASEAN dari sisi sumber daya dan demografi yang didominasi kaum muda (young economy). Indonesia, misalnya, memiliki ekosistem yang sangat mendukung bagi terbangunnya sebuah hub industri global untuk ekosistem kendaraan listrik ramah lingkungan.
Secara umum, Indonesia sangat berharap IPEF mampu melahirkan concrete deliverables yang merupakan aksi-aksi nyata yang bersifat fleksibel dan adaptif, untuk membumikan kesepakatan-kesepakatan yang tertuang, sebagai respons atas perubahan ekonomi yang sangat dinamis.
Prinsip fundamental
Kolaborasi harus menjadi prinsip yang fundamental di IPEF untuk bisa menggerakkan suatu kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan. Terlebih di era disrupsi, termasuk disrupsi pada rantai pasok, perubahan iklim, pandemi yang mengkhawatirkan, dan gejolak geopolitik. Kerja bersama diperlukan untuk menghadapi semua tantangan bersama tersebut.
Indonesia mengharapkan IPEF mampu mendorong penguatan sistem perdagangan dalam kerangka Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), dengan berbasis pada ide-ide baru yang kreatif dan inovatif, guna memperkuat perdagangan antarnegara.
Berbagai kepentingan menjadi isu besar yang membuat banyak kesepakatan dalam IPEF belum seluruhnya final.
Agenda IPEF yang cukup rumit untuk dinegosiasikan antara lain terkait tenaga kerja, lingkungan, pertanian, dan inklusivitas. Selain itu, juga Pilar III, yakni ekonomi bersih (clean economy).
Untuk Pilar II, sudah disepakati dalam pertemuan IPEF pada Pertemuan Tingkat Menteri IPEF di Detroit, Michigan, AS, pada 27 Mei 2023, setelah pertemuan APEC.
Kolaborasi harus menjadi prinsip yang fundamental di IPEF untuk bisa menggerakkan suatu kerja sama ekonomi yang saling menguntungkan.
Adapun Pilar I akan dibicarakan dalam putaran perundingan ke-4 IPEF di Busan, Korea Selatan, pada 9-15 Juli 2023, dan dilanjutkan dengan perundingan ke-5 di Bangkok, Thailand, pada 10-16 September 2023.
Semua negara, termasuk yang terlibat di IPEF, memiliki kepentingan untuk melindungi industri domestiknya sehingga isu nasionalisme industri juga jadi agenda tersendiri yang cukup rumit untuk ditemukan jalan tengahnya.
Terlebih tahun-tahun ini merupakan tahun politik dengan banyak negara disibukkan dengan pemilu. AS akan menggelar pemilu presiden sehingga pada Januari 2024 negara itu akan memiliki presiden terpilih yang baru. Begitu pun beberapa negara lain, seperti Singapura dan Indonesia.
Situasi politik global ini mendorong negara-negara berkonsolidasi untuk mencapai empat pilar yang ingin diwujudkan melalui IPEF dalam rangka menjamin keberlanjutan rantai nilai global. Fenomena pandemi Covid-19 yang mengancam keberlanjutan sistem rantai nilai global membuktikan bahwa tidak ada satu negara pun di dunia yang bisa hidup sendiri.
Terkait vaksin dan masker saat pandemi, serta produk-produk semikonduktor, misalnya, tak ada satu negara pun di dunia yang bisa menyediakannya secara mandiri tanpa bekerja sama dalam sebuah rantai pasok global.
Agus Gumiwang Kartasasmita, Menteri Perindustrian